"Saya sebenarnya tidak tahu pasti, jika sampean bertanya hidup ini untuk apa? Agaknya kita bisa diskusi saja. Bagaimana kalau meraba-raba jawaban sampean itu dengan berbagai perspektif. Bisa agama, bisa sosial, bisa ekonomi atau budaya, lalu nanti kita kerucutkan."
Purnomo masih terdiam sambil memutar-mutar gelas berisi kopi panas, mungkin ampasnya biar segera mengendap, maklum kopinya, kopi giras jadi bubuknya kasar.
"Oke, bagaimana kalau dalam perspektif agama?"
"Pertama ada sebuah ungkapan bahwa manusia dan jin, pun seluruh alam raya, diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan. Lantas manusia juga diciptakan dengan ragam potensi dan dinobatkan sebagai pemimpin di muka bumi, paling tidak memimpin keluarga atau diri sendiri."
"Jika demikian, pengabdian yang seperti apa? Kalau memang menjadi pemimpin, lantas menjadi pemimpin yang seperti apa? Andaikan semua manusia menjadi pemimpin, lantas yang dipimpin siapa? Ini akan menjadi hal yang paradoks nantinya."
"Sampean jomblo?"
"Iya benar, lantas apa hubungannya?"
"Berarti kita harus memimpin diri sendiri. Toh tidak ada salahnya menjadi pemimpin yang baik untuk dirinya, mencegah hawa nafsunya, mengekang kemalasan dan lain sebagainya."
"Lantas potensi yang tadi dimaksudkan untuk apa? Percuma dong, kita diberi kepintaran tetapi hanya bermanfaat untuk diri sendiri."
"Tidak ada yang percuma, nah ini berkaitan dengan aspek sosial, Kita ini bergantung kepada manusia yang lain, jadi kita bisa saling melengkapi, karena setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda, tentu beserta kekurangannya. Kan jelas, ketika sampean ngaji dulu, kata pak yai, bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa. Sudah fitrahnya. Tapi kalau salah terus atau lupa terus, ya kebacut."
Krek.... krek... kembali korek dinyalakan, sepuntung rokok diselipkan dibibir, lalu dihisap dalam-dalam....