Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bal-Balan

25 April 2021   13:12 Diperbarui: 25 April 2021   21:29 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Entah dari mana istilah rakyat kecil itu selalu ditindas? jikapun benar adanya, paling tidak kita menyisihkan satu ruang dalam diri kita yaitu ruang kemanusiaan, tanpa melihat kasta dan jabatan apapun yang membeda-bedakannya."

Suara burung kutilang saling bersautan, dengan angin yang hilir mudik dari atas bukit menuju lembah. Di lembah itulah para penduduk bercocok tanam dan memanen hasil tani mereka.

Sambil mencangkul bongkahan tanah yang kering, hujan sudah lama tak turun, Marhawi, tiba-tiba pandangannya kabur, penglihatannya memutih, gagang cangkul yang digenggamnya mulai terasa sangat berat, tenggorokannya kelu, dadanya sesak, seakan jantungnya akan segera berhenti berdenyut. Sekian detik kemudian, ia seperti terlelap dan tubuhnya terhuyung ke tanah.

Seketika itu, penduduk lain yang melihatnya menjerit dan berduyun-duyun mendatanginya. Digoyang-goyangkan tubuh Marhawi, namun tak ada tanda ia menimpali, didudukkan, namun segera nggloyor, tubuhnya lemas lunglai, ia pingsan, dari dalam perutnya terdengar suara gerutu, seakan-akan ususnya meronta, dan hilir mudik angin memasuki usus besarnya.

Ia diantar pulang oleh beberapa orang. Rumahnya tidak jauh dari tempatnya mencangkul. Sekitar satu kilo tepat berada di selatan lembah yang dipenuhi dengan pohon jati dan pinus. Keluarganya kaget, Ngat: istrinya, sambil menggendong anaknya yang baru berusia satu tahun menangis mendekap Marhawi. "Kan, aku sudah bilang, kalau sakit jangan ke lembah dulu pak..., tapi kamu ndablek." Katanya, sambil mengusap airmatanya yang sudah membentuk anak sungai di kedua pipinya.

Di dipan yang sudah reot dan menyatu dengan ruang tamu yang berdiding anyaman bambu, Marhawi tergeletak lemas di atasnya. Sesekali hembusan angin menyelinap dari lobang-lobang dinding bambunya. Beberapa menit kemudian, setelah air dipaksa masuk ke dalam mulutnya, Marhawi lamat-lamat menggerakkan tangannya dan membuka matanya.

Dari kejauhan, "Pak Mantri datang, pak mantri datang." Seketika beberapa orang yang ada di dalam rumah tabing itu keluar dan sebagian menyingkir dari dipan reot itu. diambilnya alat untuk mengecek darah, satu suntikan, alat untuk mengecek detak jantung, dan beberapa botol kecil berisi obat-obatan.

"Perutnya kosong, asam lambungnya naik, seharusnya tadi makan dulu sebelum kerja." Nasihat pak mantri sambil mengambil kapas yang basah dengan alkohol lalu diusap-usapkan ke bokong Marhawi. Jarum suntik menembus kulit bokongnya, wajahnya mengernyit, meringis sambil nggeget giginya.

"Obat itu diminum dua kali sehari, tapi makan dulu, efeknya nanti sampeyan akan terasa ngantuk." sambil menyodorkan beberapa kapsul dibungkus plastik kecil.

"Ini beberapa kelapa dan satu dompol singkong pak Mantri" Kata Ngat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun