Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar, Punya Uang Berapa?

3 Oktober 2020   18:19 Diperbarui: 3 Oktober 2020   18:49 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ada kalanya, manusia perlu merenung lebih dalam dan lebih sering lagi untuk menemukan jati diri yang sebenarnya." (Romo Mangunwijaya)

Anak itu duduk bersila tepat di depan ruang pimpinan jurusan yang kabarnya perfeksionis. Lusuh, lasah, dan murung termangun menghiasai wajah sang anak. 

Beberapa waktu lalu memang ada info bahwa ujian akhir semester akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Syaratnya adalah tidak ada nilai mata kuliah yang kurang, tanggungan buku di perpus, dan pastinya harus bayar. 

Kita tahu bahwa uang tidak segalanya, tapi kebalikannya lebih berbahaya. Segala-galanya pasti membutuhkan uang. Ketika kita melakukan transaksi atau kesepakatan, sedikit banyak pasti dibarengi dengan adanya uang yang berperan. Baik penunjang utama ataupun hanya sebatas tambahan. 

Demikian juga dalam pendidikan, tidak hanya kepercayaan, tetapi juga uang. Uang bukan jalan utama. Tetapi perlu diingat bahwa di jalan butuh uang. 

Itulah yang dialami seorang anak dengan badan agak pendek, gemuk dan rambut bergelombang. Wajah yang bulat, mata yang lebar dengan hidung dan pipi yang menindih mulutnya sampai tak kuasa tersenyum pun menyapa teman-temanya yang lalu lalang di depannya. 

"Pendidikan" mematikan rasa kemanusiaan. Benarkah? Ketika apa saja menjadi komoditas maka akan ada hubungan timbal balik dan saling menguntungkan satu sama lain. Jika dikaitkan dengan industri maka pendidikan adalah industri manusia (meminjam istilah Eko Prasetyo).

Kita tahu bahwa setiap orang berhak atas pendidikan. Undang-undang menjamin, tapi belum tentu pemangku kebijakannya. Baik kebijakan di daerah pun di lembaga. 

Kebijakan menuntut atas kebajikan. Kearifan menuntut atas kemanusiaan. Kebersamaan menuntut atas pengertian. Sedangkan pengertian teramu atas pendidikan.

Anak itu tetap lusuh wajahnya. Sambil membolak-balik map berwarna kuning dengan beberapa helai kertas. Lalu datang lelaki gagah dengan kopiah, kemeja, dan celana rapi, ditambah sepatu yang kelihatannya harganya senilai gaji staf di lembaga tersebut.

Ia minta map warna kuning itu, lalu ia kembalikan. Dari tatapan dan gelagatnya ia menolak. "Lengkapi dulu persyaratannya, khususnya bayarnya." Terdengar sayup suara laki-laki itu. 

"Orang Tua saya tidak punya uang lebih. Ladang kami tahun ini tidak panen. Kondisi ekonomi juga gragap-gragap. Mohon peetimbangannya Ustadz!!!" Pintanya. 

Tetapi syarat tetaplah syarat. Tak biasa diganggu gugat. Kecuali ada ini dan itu(bisa anda simpulkan sendiri). Terkadang manusia itu terkekang oleh syarat dan permintaan. Hak dan kewajiban. Tanpa melihat ruang dan kondisi kemanusiaan. Katanya terlalu baik juga tidak baik. Tapi memang, apa-apa yang keterlaluan itu tidak baik. 

Hidup menuju bawono, menuju karta raharja. Bukan semacam kekangan syarat dan rukun. Dan hari ini, mungkin juga berpuluh-puluh bahkan beribu-ribu tahun yang lalu juga terjadi kelas-kelas dalam pandangan materialistik. 

Pintar itu butuh, tapi kaya itu penting. Katanya. Anda sepakat? Saya kira hati nurani kita akan saling berdebat. Dan, agaknya akan berat untuk memilih. Maunya dapat semua. Maunya untung semua. 

Anak itu pulang dengan sepeda bututnya. Tanpa kelegaan dan pintu yang terbuka lebar akan hak dan kewajibannya, yaitu pendidikan. Tapi tenang, belajar itu bisa di mana saja. Tapi kasihan juga, bisa jadi ia akan putus sekolah, tapi pasti ada banyak hikmahnya, jadi santai saja. Tapi.... Ah sudahlah. Semoga kita bermanfaat untuk siapa saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun