Mohon tunggu...
Bang Bams
Bang Bams Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tidak semua Tulisan itu Benar & Tidak semua Kebenaran itu harus Dituliskan, tapi Kejujuran lebih baik daripada Keguguran. (Ngaco)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perkenalkan Saya adalah Pemulung!

26 Mei 2011   19:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

gambar By anak tebidah

Embun menari-nari diatas dedaunan. Suara lambaian angin terdengar begitu santun. Fajar merkah indah di sebelah timur, mewarnai keindahan alam di pagi hari. Sebuah kenikmatan yang tak tergambarkan. Akan tetapi, banyak yang belum saya mengerti sebagai manusia. Akankah selamanya akan seperti ini? Merenungi sebuah kekuatan diluar diriku yang sangat sulit untuk menerimanya. Permasalahan demi permasalahan terus berputar di kepala yang kecil ini, persis seperti bola es yang kian lama berputar semakin besar. Atau pun mirip dengan hipotesa nebula yang menyatakan kejadian alam melalui perputaran bola besar dan akhirnya meledak. Kehidupan yang aku jalani begitu keras, terkadang aku merasa lelah untuk menjalani dan bersembunyi di balik rumah dengan dinding-dinding beranyam bilah bambu. Tertidur dengan selimut ala kadarnya dan ranjang seadanya.

Saya bukanlah orang yang menikmati hari demi hari dengan sekedar duduk dikursi empuk, dengan ruangan ber- AC. Akan tetapi saya mempunyai profesi yang selalu saya banggakan. Benar-benar saya banggakan! Profesi yang jarang dilirik oleh orang-orang, bahkan dicita-citakan pun tidak. Sampah-sampah kota akrab dengan kehidupan yang saya lalui. Itulah profesi yang saya andalkan, dan saya tidak kecewa. Mencuri buanlah sifat saya, perbuatan semacam itu sangat bertolak belakang dengan pemikiran, hati dan tabiat saya. Oh.., saya Markotok bin Ucup. Badan saya mrengkil, tetapi itulah yang membuat saya mempunyai banyak teman, mereka selalu setia mendengar kisah demi kisah dari mulutku yang kotor. Entah duka lara ataupun bahagia merdeka. Terkadang kalau kepenatan menghantui, sekedar kencan dengan wanita yang bersedia dikencani sudahlah cukup.

Teman-teman seprofesiku banyak dan mereka sudah saya anggap sebagai saudara, mereka begitu menyayangi seorang hina ini. Karena saya tercipta dengan kebutaan kasih sayang orang tua. Wajarlah saya berkelut dengan tempat keras seperti ini. Saya dibesarkan diantara tumpukan-tumpukan kardus bekas, bau sampah yang menyengat, lalat dn segala hal yang nyerempet persis didaerah kumuh. Ya, ditempat inilah, kompleks perumahan serba seadanya, surga dunia diantara surga-surga dilangit.

Otot yang membesar, tetapi perut buncit akibat kurang makan. Legam hitam warna kulit yang melekat menutupi tulang ditubuh saya. Tapi ada yang lebih hitam dibandingkan diriku bahkan aspal, Dudung namanya. Tubuhnya kecil, hitam, lebih kekar dari aku, padahal seumuran. Tapi jangan keliru menilainya, dia jauh lebi baik dalam urusan persahabatan, kekeluargaannya luar biasa, dan kenyataan dia orang baik tidak bisa saya tolak. Kecuali kalau saya lebih buruk dari dia, yang hanya bisa memandang seseorang dari sisi buruknya saja.

Saudara-saudara yang saya miliki datang dari pelosok-pelosok, mereka tidur dimanapun mereka ingin. Tak peduli tempat sampah, tak peduli kuburan. Tanah-tanah lapang yang terbengkalai tanpa tuan pun menjadi tempat singgah yang cukup nyaman bagi saudara-saudara jauh. Mereka berjuang demi kebersihan, dalam ajaran agama diajarkan untuk mencintai kebersihan. Dan saudara-saudara yang saya kenal itu melakukannya. Tidak hanya sekedar di mulut. Hidup sebagai pemulung sangat mulia. Menolong orang dengan menghindarkan mereka dari kebusukan diri mereka sendiri. Walaupun terkadang profesi ini menghantarkan kami pada tuduhan pencurian.

Esok hari yang indah, matahari mulai mencuatkan semburat sinar di atas bukit, cahayanya menyeruak dari balik dia bersembunyi. Menawarkan semangat yang membeku kedinginan dan kisut akibat penghinaan. Panasnya membakar jiwa-jiwa pemberani. Secara perlahan-lahan tapi pasti merasuk dalam tulang yang dapat membuatnya terbakar. Gubuk-gubuk kecil dan anggun yang kami miliki menerima kecahayaan itu dengan girang. Dan gedoran-gedoran kegirangan menggoyahkan tubuh kami. Mata mulai membelalak lebar-lebar, tubuh yang letih terasa nikmat dan bugar setelah terbangun. Megambil air sekedar membasahi muka agar lebih segar. Saat itu saya teringat celotehan konyol pria berpakaian rapi itu, "bau busuk yang keluar dari tubuh kalian tak mungkin dapat berubah kecuali kalian mencucinya dengan air wangi, yang wanginya tak mungkin hilang hingga tujuh turunan."

Saya tidak terlalu memusingkan perkataan perih itu. Perkataan pria itu hanyalah tong kosong. Kemudian suatu hari berlalu, ternyata saya bertemu lagi denga pria rapi itu, melintas denagn mobil BMW terbarunya. Rambutnya tersisir mengkilat dan begitu juga sepatunya tak kalah dari rambutnya. Di ujung jalan di daerah perkantoran yang ramai dan sebusuk-busuknya tempat itu, ia membuang puntung rokok dan plastik dari jendela mobilnya. Wer.., tanpa rasa berdosa dan penyesalan sedikitpun. Kemudian saya hampiri orang tersebut dan dia menunjukkan wibawanya. Dia berkata " orang besar itu bebas. Kalau orang kecillah yang pantas di beri pelajaran. Mau buang sampah disembarang tempat atau meludahimu, itu bebas." Sepertinya saya benar-benar diremehkan, di buang dalam tempat-tempat yang bernama comberan. Padahal kami tak pernah tahu, kesalahan apa yang pernah kami perbuat kepada mereka. Mereka adalah kaum yang mengenakan dasi untuk melakukan kejahatan yang apik, memakai setelan rapi, jas menempel erat pada tubuh gagah mereka, dan juga bau parfum yang menyejukkan tercium walaupun dari jarak seribu kilo. " Namun, hati mereka lebih bau daripada badan kami. Bahkan lebih busuk dari sampah yang paling busuk diduniaini, "tutur hatiku yang mulai gosong memikirkan ejekkan pria itu.

Berulangkali saya mencoba untuk memaafkannya, tetapi tak pernah bisa. Kejadian itu ku putar-putar seribu bahkan lebih di dalam otak yang kecil ini. Ketika saya mengingatnya, saat itu pulalah saya segera melupakan kejadian itu. Kami tetap memunguti sampah dijalan, di tempat yang mengadakan acara besar dan seluruh lorong-lorong yang terdapat sampah. Termasuk sampah yang ada dalam hati si pria yang ingin segera saya perlakukan dia dengan cara yang sama. Mengejeknya dengan sebutan keraknya sampah. Karena hatinyalah yang sebenarnya harus segera di bersihkan. Memandang seseorang karena pekerjaannya, bukan pada makna dari pekerjaannya. Semua pekerjaan itu penting termasuk memungut.

Negara ini penuh sampah, termasuk orang-orang yang sedang menikmati kursi empuknya digedung megah, tempat para bayi bertarung memperjuangkan suara pribadinya, mengatasnamakan rakyat seperti kami. Ini dunia sampah, dan kami hanyalah pemulung yang sekedar membersihkan sampah. Apakah itu keliru? Jika ada kebenaran yang menyatakan pekerjaan ini rendah, mana buktinya?

Percuma saja sebutan mereka terhadap saya, kami yang seoarang pemulung. Kami tidak sehina mereka. Dan kalian tahu kan, siapa mereka? Namun kami tidak mengangap kami yang terbaik, hanya saja memiliki sisi yang lain, di balik tampang kami yang seram, baju compang camping, busuk dan tak karuan. Benarkan? Bukan bermaksud untuk membela diri, hanya menyombongkan diri, sekedarnya. Kalau kami tidak sombong, tidak kaya, sering di hina, lantas apa yang kami punya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun