Sudah berulang kali kita mendengar ungkapan bahwa gelombang shifting sedang terjadi di pelbagai sektor sepanjang dua tahun terakhir. Termasuk terhadap perubahan pola belanja masyarakat, yang disebut-sebut bergeser dari cara konvensional di toko-toko fisik, ke transaksi elektronik di toko-toko online.
"Ekonomi dunia sekarang berada pada transformasi bisnis yang radikal. Di kurva ekonomi, tidak lagi moving along to curve, tapi ke shifting (pergeseran). Yang membuat shifting adalah teknologi, sehingga mengubah proses bisnis yang terjadi saat ini," tutur Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah dalam satu artikel berita online, September tahun lalu.
Didukung hasil sejumlah riset berskala global, pernyataan di atas pun kian diamini banyak pihak. Hingga akhirnya sempat memunculkan asumsi bahwa perdagangan elektronik atau e-commerce berpotensi mematikan ekonomi konvensional. Ditandai dengan sepinya pusat-pusat perbelanjaan di berbagai kota, maupun ditutupnya beberapa department store setelah belasan tahun beroperasi.
Baca tulisan terkait:Â Satu Lagi Pusat Perbelanjaan akan Tutup, Salah Siapa?
Benarkah toko online merupakan "musuh" pasar konvensional, apa pun jenis komoditas yang dipasarkannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita gunakan perspektif yang berbeda.
Baik toko online maupun toko tradisional tentu punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap kelompok konsumen pun memiliki pertimbangan-pertimbangan berbeda sebelum memutuskan untuk berbelanja di mana.
Misalnya, ketersediaan produk, harga dan promosi yang diberikan, kualitas layanan dan pengalaman berbelanja, lokasi, ketersediaan waktu, dan sebagainya. Semakin banyak yang bisa dipenuhi, memperbesar peluang interaksi dan terjadinya penjualan.
Dengan demikian, sudah semestinya semua pemasar menjalankan strategi bisnis yang ideal, serta terus berinovasi demi mengakomodasi sebanyak-banyaknya preferensi atau selera belanja calon konsumennya. Tak pandang bulu, berlaku pada toko online maupun toko offline.
Inilah satu landasan Bhinneka dalam membuka, dan terus menambah Bhinneka Store atau toko-toko offline di berbagai kawasan.
Yang terbaru, Bhinneka Store dibuka di Cibinong City Mall (CCM), Cibinong, Kabupaten Bogor. Toko ketujuh setelah gerai Mangga Dua Mall, Gunung Sahari, Ratu Plaza, Cibubur Junction, dan Poins Square Lebak Bulus, serta satu Bhinneka Store Surabaya. Menyusul nantinya, Bhinneka Store juga akan hadir di daerah-daerah lain.
Contoh, Bhinneka memiliki Service Center sendiri yang berlokasi di Jalan Gunung Sahari 73C, Jakarta Pusat. Dalam aspek ini, Bhinneka Store juga berfungsi sebagai drop point atau lokasi penitipan barang yang memerlukan penanganan tanpa membedakan apakah dibeli langsung dari laman www.bhinneka.com, atau dari toko.
"Kita tentu menghadirkan konsep seamless shopping di gerai CCM ini, seperti di semua Bhinneka Store lainnya. Para pengunjung bisa berbelanja dibantu staf kami, maupun dilakukan secara mandiri menggunakan unit yang tersedia. Juga bisa memanfaatkan promo-promonya yang berlaku di website maupun khusus di toko," kata Tulus Ciptadi, Head of Commercial Bhinneka dalam siaran pers grand opening Bhinneka Store CCM, 19 Mei lalu.
Alih-alih saling bersaing, toko online dan toko offline malah mendukung keberadaan satu sama lain.
Inikah wajah masa depan retail di Indonesia? Tampaknya bukan sesuatu yang mustahil, atau terlampau sukar untuk dibayangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H