"Anjlok", "melonjak", "turun", dan "meroket". Beberapa kata yang lumayan sering menghiasi judul artikel-artikel berita terkait Bitcoin dan mata uang virtual lainnya belakangan ini. Fluktuasi nilai tukarnya berlangsung begitu cepat, tajam, dan ekstrem.
Diberitakan Kompas, Rabu kemarin, nilai tukar Bitcoin sempat menyentuh angka USD 5.900, untuk kemudian kembali meningkat menjadi USD 7.900 atau setara dengan Rp 105 juta hanya dalam beberapa jam. Bagi pemain lama, maupun orang-orang yang mengikuti perkembangannya, manuver yang sedemikian curam dan menanjak sudahlah tidak asing. Pada Desember tahun lalu saja, 1 Bitcoin pernah senilai hampir USD 20 ribu.
Sesuai prinsip trading tentu saja ada potensi di balik dinamisnya pergerakan nilai tukar Bitcoin, untuk kemudian disikapi sesederhana "beli saat murah, jual saat mahal." Itu sebabnya, Bitcoin bukanlah "permainan" untuk semua orang lantaran risiko yang amat besar. Hanya dalam beberapa jam saja, nilai kapital bisa berubah drastis dari ratusan juta menjadi puluhan juta saja. Begitu pula sebaliknya.
Sangat pantas dan wajar bila Bank Indonesia (BI) sampai mengeluarkan maklumat resmi tentang pelarangan transaksi mata uang virtual, 13 Januari 2018.
"Pemilikan virtual currency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual currency serta nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble) serta rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat."
Bukan baru-baru ini saja kok. Sikap BI terhadap mata uang tak kasatmata tersebut sudah disampaikan pada 2014 lalu.
"Masyarakat dihimbau untuk berhati-hati terhadap Bitcoin danvirtual currency lainnya. Segala risiko terkait kepemilikan/penggunaan Bitcoin ditanggung sendiri oleh pemilik/pengguna Bitcoin danvirtual currency lainnya."
Baru berupa imbauan ketika itu, pada saat rata-rata nilai tukar Bitcoin terhadap dolar Amerika Serikat baru mencapai USD 800-an per 1 Bitcoin. Sangat jauh dibandingkan nilai tukar terakhir seperti yang telah disebutkan sebelumnya (USD 5.900-an).
Silakan hitung sendiri, berapa ratus persen kenaikan dan penurunan yang terjadi sampai akhirnya mendarat di titik nilai tukar saat ini.
Selain para trader, fluktuasi nilai tukar Bitcoin juga menjadi perhatian utama para miner (sebutan untuk "penambang serpihan" Bitcoin), dan tentu saja para produsen atau penyedia komponen "penambangannya". Adalah Graphic Processor Unit (GPU) dengan segala komponennya, bukan sekadar Central Processing Unit (CPU) yang lazimnya ada pada komputer-komputer biasa. Dalam hal ini, kualitas kinerja GPU bergantung pada graphic cardatau kartu grafis bertenaga mumpuni.
Terus menerus berkreasi, para penambang berusaha merakit dan menghasilkan GPU andalan masing-masing demi hasil penambangan yang maksimal. Secara otomatis, tingkat permintaan dan penyerapan produk kartu grafis pun ikut terdongkrak. Kelangkaan barang pun seringkali tak terhindarkan. Gejala ini yang tengah diseriusi para produsen.
AMD, salah satunya. Merek yang identik dengan dunia gamingini mengumumkan bahwa mereka menaruh perhatian khusus pada gejolak Bitcoin. Dilansir dari blog Bhinneka.com, kartu grafis kelas atas berseri AMD GPU RX Vega yang dirilis Agustus 2017 lalu langsung ludes dalam waktu singkat. Itu pun terjual dengan harga lebih mahal daripada banderol resmi. Terjadi praktik pemborongan, yang bagaimana pun juga tetap memberi keuntungan bagi brands penghasil produk.
"It's a good part of our business,"Â kata CEO AMD, Lisa Su terhadap indikasi penyerapan GPU secara besar-besaran oleh pasar penambangan Bitcoin dan mata uang terenkripsi sejenisnya. Jauh lebih kencang ketimbang sub sektorgaming, yang seharusnya merupakan sasaran utama produk ini.
Kondisi serupa juga dialami Nvidia. Hanya saja, kompetitor AMD ini tetap memberikan perhatian khusus kepada para gamers. DisampaikanPolygon.com akhir Januari lalu, mereka meminta para pemasarnya (retailers) agar mengelola stok kartu grafis sedemikian rupa, sehingga paragamers tetap mendapatkan komponen yang dibutuhkan, dengan harga yang wajar.
"We have put internal policies in effect to help safeguard our graphics card inventory so that we do not sell all of our inventory to crypto currency miners."
Mengambil contoh Nvidia GeForce GTX 1070 yang dirilis seharga sekitar USD 380 untuk pasaran internasional, kemudian naik harga lebih dari 100 persen menjadi USD 700 karena langka. Di Bhinneka pun, sedang kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H