Mohon tunggu...
azmi syahputra
azmi syahputra Mohon Tunggu... Dosen - universitas trisakti jakarta

ayah, suami, gurunya mahasiswa, dan manusia biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Profesi Advokat dan Hak Imunitas |Advokat

20 Januari 2018   01:12 Diperbarui: 17 September 2021   14:18 4435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dr Azmi Syahputra

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Prolog

Profesi hukum adalah bagian dari proses peradilan yang melibatkan berbagai profesi yaitu hakim, jaksa, advokat dan polisi. Dalam sistem peradilan, masing-masing profesi tersebut menjalankan fungsinya sehingga sistem berjalan. Mengacu kepada UUD 1945 maka masing masing profesi tersebut menjalankan kekuasaannya secara merdeka yaitu tidak boleh ada campur tangan dari luar. Sebagai satu sistem yaitu sistem peradilan, barang tentu kemerdekaan tersebut adalah kemerdekaan dalam ikatan sistem yang memiliki satu tujuan bersama. Dengan demikian masing masing profesi adalah merdeka dan sekaligus bekerja bersama sama untuk satu tujuan.[1]

Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, profesi advokat/ pengacara/ memasuki babak baru dalam ranah penegakan hukum di Indonesia. Sebuah profesi 'officium nobile' ini tidak lagi menjadi bagian pelengkap dalam penegakan hukum di Indonesia, melainkan menjadi catur wangsa penegakan hukum, polisi, jaksa, hakim, advokat., bahkan Undang undang menyebutkan advokat berstatus sebagai penegak hukum.

Perubahan-perubahan mendasar dilakukan, mulai dari sistem perekrutan, keorganisasian, penegakan kode etik hingga pengangkatan. Semua itu jelas ditujukan untuk berkeinginan membangun sebuah profesionalitas profesi advokat yang lebih terstruktur, terhormat  dan berwibawa.

Advokat kini juga memiliki peran strategis dalam penegakan hukum, khususnya dalam lingkup peradilan kepada masyarakat pencari keadilan. Harapan besar ditumpukan kepada advokat-advokat untuk membuka akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan buta hukum di tengah-tengah peradilan Indonesia yang masih belum menghadirkan sebuah peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah.

Dilain sisi masih ada fenomena tiada berakhir dan diketahui terhadap potret jalannya peradilan di Indonesia, baik di tingkat pertama hingga terakhir, masih saja didapati praktek-jual beli perkara yang menjadi bagian pelaku mafia peradilan (organized crime)yang di sini diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan atau kewenangan, yang secara langsung menciptakan peradilan yang tidak adil, lambat, rumit dan mahal yang dilatarbelakangi oleh uang (jual beli putusan) dan kekuasaan (tekanan penguasa)

Adapun bentuk bentuk praktek atau pola-pola korupsi yang terjadi dalam sistem peradilan pidana adalah: dalam tahap penyelidikan dapat berupa permintaan uang jasa oleh polisi kepada korban maupun pelapor, penggelapan perkara, negosiasi perkara berkait dengan pasal yang disangkakan berkait dengan berita acara dan barang bukti (semakin ringan hukuman maka semakin mahal tawaran yang diberikan penyidik), pemerasan oleh polisi, termasuk jual beli ruang tahanan, di kejaksaaan dapat terjadi pemerasan oleh jaksa dan caranya memperpanjang proses penyidik dan  modus yang lainnya  melalui  surat klarifikasi  bukan surat panggilan karena jaksa tidak menyebutkan dalam panggilan tersebut seseorang berkapasitas sebagai saski atau terdakwa, negoisiasi kasus, pelepasan tersangka melalui penghentian penyidikan dengan dalih tidak cukupnya bukti, penggelapan perkara, pengurangan tuntutan dalam pola ini biasanya jaksa melibatkan tersangka atau keluarga dan advokat yang mendampinginya selama pemeriksaan dan pada fase di persidangan dapat berupa permintaan uang jasa, penentuan majelis hakim, sidang yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, negosiasi putusan (biasanya akan ada orang yang ditugaskan secara khusus atau pengacara akan menghubungi hakim atau orang tertentu yang memegang perkara selanjutnya negosiasi.[2]

Praktik peradilan yang tidak memuaskan masyarakat telah lama dirasakan bertentangan dengan prinsip peradilan setidaknya ada beberapa faktor melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat terhadap proses peradilan selama ini, antara lain "para pengacara yang tidak selalu secara profesional bertindak demi klien yang mempercayakan  perkara  kepadanya dan melaksanakan tugas pengacara untuk menegakkan hukum dan keadilan",[3] dan para pencari keadilan sendiri tidak melihat proses pengadilan itu sebagai suatu cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun. Beberapa faktor tersebut kemudian menurunkan kinerja pengadilan, kepercayaan publik terhadap pengadilan dan profesi hukum secara keseluruhan.[4]

Secara umum praktik ini dikenal dengan praktik adanya mafia peradilan. Mafia peradilan (judicial  corruption) adalah untuk menggambarkan fenomena buruknya peradilan dan mental aparatur penegak hukum, yang dapat diartikan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, terorganisir yang dilakukan oleh penegak hukum tertentu untuk mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM yakni hak atas keadilan. Sehingga alih-alih memproduksi keadilan, lembaga peradilan justru lebih sering menjadi ladang subur praktek-praktek ketidakadilan, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun