Ilustrasi Ayah dan Anak | Photo: Yustinus Slamet - Kompasianer Hobi Jepret
Dear Ayah,
Aku rindu padamu. Sungguh, aku sangat merindukanmu.
Aku rindu senyummu yang tulus kepadaku.
Seandainya kau masih di sisiku, aku ingin bermain petak umpet bersamamu, aku ingin bercanda tawa bersamamu, aku ingin menikmati panorama pantai bersamamu, aku ingin kau menyanyikan lagu untukku sebelum ku terlelap, aku ingin kau menggenggam erat jemariku, aku ingin mendekap erat tubuhmu, aku ingin kau menggendongku ketika aku telah lelah untuk mengayunkan kakiku. Seperti dulu, seperti kenangan satu dekade silam, di saat usiaku belum beranjak dewasa.
Ayah,
Aku masih ingat, masih ingat sekali, dan tak kan pernah aku lupakan dari memory benakku.
Kau mengasihiku begitu tulus,
Kau berkorban di saat ajal hampir menjemputku,
Kau menjemputku sepulang sekolah dengan membawa satu payung untukku agar air hujan tak mengenai baju seragamku,
Kau rela tidak tidur semalaman hanya demi merawatku yang tengah terbaring sakit.
Aku melihat raut wajahmu yang lelah, lelah setelah seharian kau mencari nafkah untuk keluarga, namun kau berusaha untuk tak memperlihatkannya di depan putra putrimu.
Kau selalu tersenyum, meskipun aku tak tahu bagaimana suasana hatimu kala itu, mungkin kau menyimpan sejuta kesedihan yang tak seorangpun tahu.
Ayah,
Aku sadar..
Begitu banyak dosa dan kesalahan yang pernah aku perbuat kepadamu, hingga aku pernah membuat air matamu mengalir membasahi kulit pipimu yang renta.
Ayah,
Jujur, aku pernah malu mempunyai ayah sepertimu, yang hanya berpakaian sederhana ketika menjemputku sepulang sekolah, maafkan aku...
Aku pernah malu ketika aku harus menceritakan kepada teman-temanku tentang pekerjaanmu yang tidak sepadan dengan ayah mereka..
Ayah...
Ayah, maafkan aku..
Aku pernah merasa jenuh dan kesal ketika dulu aku harus merawatmu yang tengah terkapar lemah akibat sakit yang tak kunjung sembuh..
Ayah...
Kini aku sadar, bahkan sangat menyadarinya setelah kau tiada,
Dirimu sungguh berharga, kasih sayangmu begitu besar hingga aku tak dapat tuk mengibaratkannya, pengorbananmu tak kan pernah bisa terbalas oleh apapun.
Enam tahun silam,
kau telah di panggil Tuhan yang maha esa, kau meninggalkanku untuk selamanya disaat aku belum sempat membalas semua jasamu, disaat aku belum sempat membuat air matamu menetes karena bahagia.
Aku menyayangi ayah...
Aku sangat menyayangimu, sungguh..
Seandainya aku memiliki mesin waktu, kan ku putar kembali waktu di saat aku dan kau bercanda tawa bersama..
Kan ku ulangi setiap momen terindah saat bersamamu..
Perjuanganmu tak akan pernah aku lupakan..
Ayah,
Air mataku selalu luluh setiap kali aku mengenang semua tentangmu..
Aku ingin kau di sini, memelukku kala ku kedinginan, menghapus air mataku kala aku menangis..
Ayah,
kini aku hanya mampu berdoa pada Tuhan, agar Tuhan memberikan tempat terindah untukmu, agar kau senantiasa bahagia dalam pangkuanNya..
Ayah,
maafkan aku..
Sekali lagi,
maafkan aku..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H