Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Petani Tak Muda Lagi

8 Mei 2019   08:19 Diperbarui: 8 Mei 2019   08:35 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.suluhtani.com 

Temuan KPPU mengungkapkan di setiap daerah umumnya ada 5 perusahaan yang menguasai lebih dari 70 persen distribusi beras. Mereka selama ini memiliki penggilingan besar dan menjadi pemasok beras utama ke Jakarta. Dan kerja kartel tak bisa dilepaskan dari peran tengkulak sebagai bagian dari rantai distribusi komoditas. 

Tengkulak memberikan jaminan bantuan finansial, dan jaminan kemudahan pemasaran kepada petani. Sehingga para tengkulak lah yang menentukan harga panen di tingkat petani. Maka tercipta relasi ketergantungan antara petani dan tengkulak. 

Hubungan patron-klien antara petani dan tengkulak inilah yang menjadi penyebab rendahnya pendapatan petani dan menjerat petani ke dalam pusaran kemiskinan. Akumulasi keuntungan terbesar hanya dinikmati oleh mereka; para tengkulak dan pemain kartel.

Kedua, yakni soal akses akan lahan pertanian. Berdasarkan data BPS Tahun 2016, penurunan terhadap luas penggunaan lahan pertanian di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun sebesar 1.92 persen. 

Dengan jumlah 39.587.740 Ha pada tahun 2012 menurun setiap tahunnya menjadi 36.764.318 Ha pada tahun 2016. Begitu juga dengan data Ditjen Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian mencatat, laju konversi lahan pertanian produktif ke non produktif sekitar 100.000 ha per tahun. Dari angka ini, 80 persen diantaranya terjadi di Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi padi.

Dan rontoknya lahan pertanian tak lepas dari adanya ketimpangan kepemilikan lahan yang terjadi akhir-akhir ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. 

Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya lahan. Luas penguasaan lahan petani pun semakin berkurang dari 0,22 ha pada 2012, diperkirakan menjadi 0,18 ha pada 2050 menurut prediksi BPS. 

Maka sejalan dengan itu, saat ini 77,0 persen petani di Pulau Jawa merupakan petani gurem dengan lahan kurang dari 0,5 hektar dengan luasan per keluarga tani 0,2 sampai 0,3 hektar. Bahkan data Badan Pusat Statistik 2013 menyatakan sejak 2003-2013 jumlah petani gurem yang kehilangan lahannya sebesar 53,75 persen. Selama periode 2003-2013 sebanyak 5,1 juta keluarga tani terpaksa meninggalkan lahan mereka dan sebagian besar menjadi penyusun masyarakat miskin kota.

Sulitnya akan akses lahan pertanian juga membuat biaya produksi pertanian, terutama padi kian mahal. Biaya produksi padi Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan beberapa negara produsen padi Asia lainnya, yakni biaya produksi padi Indonesia mencapai Rp 4.079 per kilogram (kg). Dan penyebab utama mahalnya biaya produksi padi di Indonesia ialah persoalan akan akses lahan pertanian.

 Sewa tanah pertanian di Indonesia menyumbang biaya produksi sebesar Rp 1.719 per kg. Di lain sisi, pendapatan petani tak kunjung meningkat.

Dengan kondisi semacam ini maka generasi muda tak berminat untuk bergelut di sektor pertanian. Maka tak heran, sebanyak 52.000 pemuda lebih memilih meninggalkan desa dan mencari penghidupan di perkotaan (Kementerian Pemuda dan Olahraga, 2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun