Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Harapan yang Hilang

10 Desember 2017   12:08 Diperbarui: 10 Desember 2017   12:59 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banjir itu merendam ribuan hektar sawah milik petani. Salah satunya adalah sawah milik Damiri[1] seorang petani sayur yang berusia 62 tahun asal Sleman, Yogyakarta. Sawah milik Damiri luasnya sekitar 5 x 30 meter, biasanya ditanami kangkung dan bayam. Namun akibat cuaca ekstrem akhir-akhir ini yakni hujan deras selama beberapa hari yang mengakibatkan banjir dan longsor di beberapa wilayah Yogyakarta, membuat sawah dan tanaman sayur milik Damiri gagal panen.

Kepala Dinas Pertanian Daerah Isitimewa Yogyakarta[2] mengatakan, terdapat sekitar 1.000 hektare sawah yang terendam banjir dan gagal panen yang tersebar di lima kecamatan, dengan kondisi paling parah di Kecamatan Panjatan, Kulon Progo.

Bahkan banjir yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini, juga ikut merendam sejumlah sekolah di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Salah satunya adalah SMK 1 Tanjungsari, yang membuat puluhan siswa akhirnya harus mengevakuasi diri dan sejumlah peralatan yang tergenang. Akibat banjir ini, sebanyak 247 siswa terpaksa batal melakukan ujian akhir semester berbasis komputer.

Sudiarto, Kepala SMK 1 Tanjungsari[3] mengatakan, hujan deras yang terjadi sejak beberapa hari terakhir menyebabkan debit air meningkat. Air diketahui meningkat sejak pukul 05.00 WIB. Awalnya, di sekitar jalan raya namun akhirnya meluber masuk ke kompleks sekolah.

Akan tetapi, ternyata banjir tak hanya merugikan petani dan siswa sekolah. Sejumlah nelayan di Tuban[4], Jawa Timur terpaksa berhenti melaut karena cuaca ekstrem dan gelombang tinggi membuat mereka takut diterjang ombak tinggi jika nekat melaut. Para nelayan yang nekat berlayar pun merugi, karena hasil tangkapan ikan sangat minim. Tidak sebanding dengan biaya operasional. Tentu, kerugian ini membuat pendapatan mereka terkuras dan hidup mereka semakin sulit.

Sains Kompas
Sains Kompas
Nelayan di Indonesia mendapat himbauan secara langsung dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk tidak melaut. BMKG[5] menyatakan siklon Cempaka di Laut Selatan Jawa diperkirakan akan menimbulkan hujan sedang hingga lebat disertai angin kencang dengan kecepatan mencapai lebih dari 36 km/jam dan Siklon Dahlia di sebelah Barat Bengkulu akan mengalami peningkatan kekuatan dan terbentuk di 470 kilometer, sehingga angin dan ombak berpotensi cukup tinggi. Gelombang laut dengan ketinggian 2,5 sampai 4 meter diperkirakan akan terjadi di perairan Kepulauan Nias, Samudera Hindia di bagian barat Aceh, hingga Kepulauan Mentawai.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat telah terjadi 2.057 kejadian bencana di Indonesia selama 2017. Bencana selama 2017 ini menelan 282 korban meninggal, 864 orang luka-luka dan 3.209.513 orang mengungsi dan menderita. Kerusakan bangunan meliputi 24.282 unit rumah rusak (4.594 rusak berat, 4.164 rusak sedang dan 15.524 rusak ringan) dan 313.901 unit rumah terendam. Sebanyak 1.611 unit fasilitas publik meliputi 974 unit fasilitas pendidikan, 546 unit fasilitas peribadatan dan 91 fasilitas kesehatan.

Dan serbuan bencana ini menelan kerugian yang tak sedikit. BNPB mencatat setiap tahun negara mengalami kerugian Rp 30 triliun akibat bencana. Menurut data Urban Planning and Disaster Management Bappenas, dalam 10 tahun terakhir kerugian diderita Indonesia akibat bencana alam mencapai Rp 162 triliun. Sedangkan United National Development Project(UNDP) menyebutkan kerugian yang dialami Indonesia akibat bencana alam sebesar Rp 400 triliun.

Laporan Asia Pacific Disaster Report menyebutkan bahwa kawasan Asia-Pasifik, termasuk di dalamnya Indonesia mengalami kerugian berupa 85% dari kematian dan 38% kerugian ekonomi global yang diakibatkan oleh bencana alam dalam 30 tahun terakhir. Sementara itu, Global Assessment Report  memperkirakan bahwa kerugian akibat bencana setiap tahunnya rata-rata mencapai 1% dari PDB, atau setara dengan kerugian yang dialami oleh negara-negara yang mengalami krisis keuangan global pada 1980 dan 1990-an.

Peneliti iklim terkemuka, Mojib Latif mengatakan bencana alam dan cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini bukan sekedar fenomena cuaca biasa. Namun terjadi akibat adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global. Hal ini dapat dijelaskan secara fisika, kata Mojib Latif.

"Pemanasan global kemungkinan besar berdampak pada kenaikan curah hujan. Kadar air di udara tergantung dari suhu. Suhu mengatur seberapa banyak air yang bisa menguap. Air ini terbebaskan saat hujan dan kembali sampai ke tanah. Semakin tinggi suhu, semakin banyak air yang menguap dan semakin besar potensi turunnya hujan deras".

Pakar iklim Insititut Potsdam, Stefan Rahmstorf juga mengatakan hal yang sama bahwa peningkatan cuaca ekstrim disebabkan oleh naiknya emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

"Jika kondisi cuaca tidak mengalami perubahan dan hanya semakin panas, maka bisa diprediksi turunnya hujan ekstrim. Ini selalu saat terjadi jika massa udara mengalami kejenuhan".

Asian Development Bank mencatat bahwa jika perubahan iklim tidak dikontrol, maka dapat menimbulkan kerugian hingga 6 persen Produk Domestik Bruto Indonesia pada 2050. Saat ini saja PDB Indonesia sekitar US$1 triliun, sehingga 6 persen dari PDB adalah sebesar US$60 miliar. Jumlah yang sangat besar!

Jelas angka ini akan membebani keuangan negara dalam jangka panjang. Apalagi jika nilai kerugian itu tidak hanya dihitung dari kerusakan fisik. Namun juga nilai ekonomi akibat cuaca ekstrem, seperti matinya perekonomian dan merosotnya produktivitas.

Kita dapat melihat contoh yang pernah terjadi di Indonesia pada akhir tahun lalu dimana perubahan iklim yang cukup ekstrem di seluruh wilayah Indonesia membuat produksi garam rakyat pada 2016 anjlok 96 persen dari tahun sebelumnya karena tingginya curah hujan.

Curah hujan yang tinggi membuat poduksi garam di sentra-sentra garam menyusut tajam. Produksi garam rakyat di Cirebon pada 2016 anjlok lebih dari 99 persen menjadi 591 ton dari tahun sebelumnya 435 ribu ton, produksi garam di Sampang juga menyusut tajam lebih dari 98 persen menjadi tujuh ribu ton dari tahun sebelumnya 399 ribu ton.

Kemudian Pati, produksi garamnya pada 2016 turun 98 persen menjadi enam ribu ton dari tahun sebelumnya 382 ton, Indramayu juga anjlok 98 persen menjadi 6 ribu ton dari sebelumnya 317 juta ton, dan Sumenep juga turun 96 persen menjadi 10 ribu ton dari sebelumnya 236 ribu ton.

Dari sinilah kita dapat memahami bagaimana perubahan iklim dan bencana alam mengganggu produksi pangan para petani, tangkapan ikan dan pendapatan nelayan hingga menyusutnya produksi garam nasional. Kita juga dapat menghitung seberapa besar harapan hidup yang hilang akibat produktivitas pangan dan pendapatan nelayan serta petani lenyap akibat bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim. Semua ini berdampak sistemik bagi kehidupan manusia di Bumi.

Eksploitasi Batubara Jadi Sebab?  

Batubara merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Devisa ekspor dari batubara tercatat lebih dari US$ 30 miliar per tahun. Dengan keuntungan yang menggiurkan ini, produksi batubara Indonesia kian meningkat.

Data BP Statistical Review of World Energy per Juni 2016 menyebutkan produksi batu bara Indonesia pada 2015 sebesar 241,08 Mtoe. Produksi batubara ini tumbuh rata-rata 14 persen per tahun dan produksi batubara Indonesia berkontribusi sekitar 6,3 persen dari produksi global.. Angka ini mengalahkan Rusia yang menjadi produsen batu bara terbesar keenam dunia. Begitu juga dengan ekspor, Indonesia masih menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia dengan volume ekspor nasional mencapai 366 juta ton.

Dengan keuntungan yang menggiurkan dan konsumsi batubara yang kian meningkat, eksploitasi industri batubara pun kian meluas. Namun meluasnya eksploitasi batubara ini membuat hutan di Indonesia kian rusak. Menurut studi yang dilakukan Greenpeace Indonesia, di Kalimantan Selatan dan Timur, hanya terdapat 400.000 hektar hutan yang tersisa (2007), 323.000 hektar diantaranya berada pada konsesi batubara. Sejak tahun 2000, 85.000 ha di Kalimantan Selatan dan 9.000 ha di Kalimantan Timur hutan hilang karena konsesi batubara.

Mongabay
Mongabay
Berdasarkan analisis mengunakan data tutupan hutan Departemen Kehutanan, total ancaman dari konsesi pertambangan adalah 0,18 juta ha dari konsesi aktif dan 0,81 juta dari konsesi yang direncanakan (0,08 juta status tidak tercatat), dengan total 1,1 juta ha. Di antaranya, 0,94 juta ha terletak di Kalimantan dan 0,13 juta di Sumatra.

Dengan kata lain, eksploitasi batubara salah satu penyebab utama meluasnya deforestasi di negeri ini. Dan hal ini membuat hutan sebagai penyimpan karbon terbesar semakin hilang.

Di lain sisi, konsumsi batubara yang terus meningkat menyumbang emisi karbon yang semakin besar. Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Inggris BP[6] mencatat konsumsi batubara di Indonesia meningkat 15 persen. Dengan lonjakan ini, BP mencatat terjadi peningkatan emisi karbondioksida hingga 5,7 persen.

Data Sign Smart[7] yang didapatkan lewat pengukuran emisi dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi itu mengungkap, pada tahun 2000, emisi karbon dioksida dari batubara masih 444.738 ton, tetapi pada tahun 2013 mencapai 2.290.082 ton. Meningkat pesat.

Angka deforestasi yang tinggi dan konsumsi batubara yang terus meningkat inilah yang menyebabkan semakin tingginya tingkat pemanasan global yang memicu perubahan iklim dan bencana alam. Dan dampak perubahan iklim ini menciptakan butterfly effect yang menimpa siapa saja. Bahkan menyerang mereka yang tidak ikut mengotori alam dan mengubah iklim dunia, seperti nelayan dan petani, mereka ikut terkena dampak.

Dan tentu, kerugian akibat bencana dan cuaca ekstrem tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari hasil eksploitasi batubara. Industri batu bara hanya menyumbang 4 persen dari PDB Indonesia. Kerugiannya menimpa semua orang, hingga mengancam harapan hidup dan masa depan anak-cucu kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun