Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Harapan yang Hilang

10 Desember 2017   12:08 Diperbarui: 10 Desember 2017   12:59 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pakar iklim Insititut Potsdam, Stefan Rahmstorf juga mengatakan hal yang sama bahwa peningkatan cuaca ekstrim disebabkan oleh naiknya emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

"Jika kondisi cuaca tidak mengalami perubahan dan hanya semakin panas, maka bisa diprediksi turunnya hujan ekstrim. Ini selalu saat terjadi jika massa udara mengalami kejenuhan".

Asian Development Bank mencatat bahwa jika perubahan iklim tidak dikontrol, maka dapat menimbulkan kerugian hingga 6 persen Produk Domestik Bruto Indonesia pada 2050. Saat ini saja PDB Indonesia sekitar US$1 triliun, sehingga 6 persen dari PDB adalah sebesar US$60 miliar. Jumlah yang sangat besar!

Jelas angka ini akan membebani keuangan negara dalam jangka panjang. Apalagi jika nilai kerugian itu tidak hanya dihitung dari kerusakan fisik. Namun juga nilai ekonomi akibat cuaca ekstrem, seperti matinya perekonomian dan merosotnya produktivitas.

Kita dapat melihat contoh yang pernah terjadi di Indonesia pada akhir tahun lalu dimana perubahan iklim yang cukup ekstrem di seluruh wilayah Indonesia membuat produksi garam rakyat pada 2016 anjlok 96 persen dari tahun sebelumnya karena tingginya curah hujan.

Curah hujan yang tinggi membuat poduksi garam di sentra-sentra garam menyusut tajam. Produksi garam rakyat di Cirebon pada 2016 anjlok lebih dari 99 persen menjadi 591 ton dari tahun sebelumnya 435 ribu ton, produksi garam di Sampang juga menyusut tajam lebih dari 98 persen menjadi tujuh ribu ton dari tahun sebelumnya 399 ribu ton.

Kemudian Pati, produksi garamnya pada 2016 turun 98 persen menjadi enam ribu ton dari tahun sebelumnya 382 ton, Indramayu juga anjlok 98 persen menjadi 6 ribu ton dari sebelumnya 317 juta ton, dan Sumenep juga turun 96 persen menjadi 10 ribu ton dari sebelumnya 236 ribu ton.

Dari sinilah kita dapat memahami bagaimana perubahan iklim dan bencana alam mengganggu produksi pangan para petani, tangkapan ikan dan pendapatan nelayan hingga menyusutnya produksi garam nasional. Kita juga dapat menghitung seberapa besar harapan hidup yang hilang akibat produktivitas pangan dan pendapatan nelayan serta petani lenyap akibat bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim. Semua ini berdampak sistemik bagi kehidupan manusia di Bumi.

Eksploitasi Batubara Jadi Sebab?  

Batubara merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Devisa ekspor dari batubara tercatat lebih dari US$ 30 miliar per tahun. Dengan keuntungan yang menggiurkan ini, produksi batubara Indonesia kian meningkat.

Data BP Statistical Review of World Energy per Juni 2016 menyebutkan produksi batu bara Indonesia pada 2015 sebesar 241,08 Mtoe. Produksi batubara ini tumbuh rata-rata 14 persen per tahun dan produksi batubara Indonesia berkontribusi sekitar 6,3 persen dari produksi global.. Angka ini mengalahkan Rusia yang menjadi produsen batu bara terbesar keenam dunia. Begitu juga dengan ekspor, Indonesia masih menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia dengan volume ekspor nasional mencapai 366 juta ton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun