Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Elite Capture dan Tantangan Program Pemerataan Jokowi

31 Agustus 2017   21:30 Diperbarui: 31 Agustus 2017   22:47 2499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Otonomi daerah merupakan capaian luar biasa pasca Orde Baru yang diharapkan mampu mengatasi kesenjangan antarwilayah di Indonesia, namun sudah 19 tahun berjalan sejak reformasi 1998, otonomi daerah tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Dilihat dari angka kemiskinan, masih terdapat sekitar 10 Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi, yang angkanya diatas tingkat kemiskinan nasional, yaitu 10,64 persen.

Begitu juga apabila dilihat dari gini rasio, masih terdapat sekitar 10 Provinsi dengan angka ketimpangan tertinggi, yang juga angkanya diatas gini rasio nasional sebesar 0,394. Artinya, otonomi daerah belum optimal untuk mengurangi kesenjangan dan kemiskinan di daerah. Bahkan dari sejumlah provinsi yang memiliki angka gini rasio dan tingkat kemiskinan yang tinggi banyak diantaranya justru provinsi yang mendapatkan alokasi anggaran yang relatif besar, baik melalui dana bagi hasil sumber daya alam, dana otonomi khusus, dan dana perimbangan lainnya.

Faktor dominan yang mengakibatkan disfungsinya otonomi daerah antara lain disebabkan karena sejumlah pemerintah daerah dinilai lebih fokus menjalankan kekuasaan politik daripada melakukan upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan. Dengan kata lain, pemerintah daerah memiliki kecenderungan hanya mengejar kekuasaan politik dan memperkaya diri. 

Hal ini dibuktikan dari hasil penelusuran informasi keuangan yang dilakukan oleh PPATK sepanjang 2014, dimana PPATK mendapati 54 rekening gendut milik kepala daerah. Berdasarkan hasil analisisnya, terdapat 26 bupati yang memiliki nilai rekening lebih dari Rp 1 triliun dan 12 gubernur dengan kepemilikan rekening di atas Rp 100 miliar. Tentu jumlah uang itu tidak sesuai dengan gaji yang mereka dapat sebagai kepala daerah, yang di identifikasi sebagai Illicit Enrichment.

Salah satu upaya sejumlah kepala daerah mempertahankan kekuasaan dan mengakumulasi kekayaan yaitu melalui dinasti politik. Data Kementerian Dalam Negeri 2015 menemukan terdapat 61 kepala daerah teridentifikasi membangun dinasti politik, yang berarti sekitar 11 persen dari total daerah yang ada. Dan menguatnya dinasti politik ini berdampak pula pada besarnya potensi korupsi di daerah. Karena adanya dinasti politik dapat menurunkan tingkat akuntabilitas keuangan daerah serta mengebiri mekanisme check and balanced.

Data yang dilansir KPK per 23 Mei 2017 mengungkapkan bahwa dalam sepuluh tahun, sebanyak 46 Bupati/Walikota dan 10 Gubernur terjerat tindak pidana korupsi, dan sebagian besar melakukan praktik korupsi di sektor pengelolaan anggaran dengan modus penyuapan, diikuti sektor pengadaan barang/jasa dan perijinan. Banyaknya modus penyuapan di sektor pengelolaan anggaran ini berkaitan dengan banyaknya alokasi anggaran dari pemerintah pusat dan para pemimpin daerah memiliki kewenangan yang cukup besar terkait penggunaan anggaran.

Hal inilah yang kemudian berpotensi besar memunculkan fenomena "elite capture" dimana para elite melalui kekuasaan/kewenangan (power) serta kekayaan yang mereka miliki mencoba mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan baru untuk memperbesar kekayaan mereka. Fenemona elite capture ini yang kemudian banyak menghambat program pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan di daerah. Dimana anggaran yang diperuntukan untuk program pemerataan dan penanggulangan kemiskinan justru dibajak oleh para elite di daerah.

Dengan kata lain, fenomena elite capture ini mengakibatkan kinerja pembangunan lebih rendah meskipun alokasi dana transfer ke daerah dari pemerintah pusat lebih besar. Bahkan studi Caeyers dan Dercon (2012) menemukan bahwa koneksi politik dan jaringan sosial yang tidak seimbang dalam sebuah daerah ataupun desa membuat distribusi manfaat dari program kemiskinan dan pemerataan ekonomi menjadi tidak efektif dan tidak sesuai target yang direncanakan. 

Temuan Caeyers dan Dercon menunjukan bahwa rumah tangga yang memiliki kaitan erat dengan para pejabat tingkat tinggi memiliki kemungkinan 12% lebih tinggi untuk menerima bantuan program pengentasan kemiskinan dan pemerataan daripada rumah tangga yang tidak menjadi bagian dari jaringan "vertikal" yang kuat tersebut. Bentuk-bentuk penguasaan semacam inilah yang membuat besarnya anggaran untuk pengentasan kemiskinan dan pemerataan namun angka gini rasio dan tingkat kemiskinan tak kunjung turun. Mengakibatkan angka kemiskinan dan kesenjangan semakin tinggi di tengah besarnya dana transfer ke daerah.  

Hal inilah yang memunculkan fenomena kemiskinan dan rasio gini yang parah (diatas angka nasional) justru diderita oleh mereka daerah yang mendapat dana bagi hasil sumber daya alam yang tinggi, daerah yang mendapat dana perimbangan dan dana desa yang tinggi. Untuk itu, masalah ini harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Karena hal inilah yang berpotensi menghambat keinginan pemerintah pusat untuk melakukan pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

Partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran memang sangatlah penting. Namun yang menjadi persoalan, tingkat pendidikan yang masih relatif rendah dan kuatnya spektrum dominasi dinasti politik di beberapa daerah membuat mekanisme pengawasan kemungkinan sangat kecil terjadi. Bahkan para elite di daerah seringkali menutup ruang adanya check and balanced dan transparansi dengan berbagai cara. Maka adanya sebuah mekanisme ataupun sistem yang dapat mengontrol pengelolaan anggaran di daerah sangatlah penting untuk tercapainya pemerataan dan keadilan ekonomi, seperti yang dicita-citakan pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun