Mohon tunggu...
Yuli Riswati (Arista Devi)
Yuli Riswati (Arista Devi) Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Purple Lover. I am not perfect but I am unique.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisruh Koreksi Data Paspor BMI dan Kunjungan Diplomasi Dua Menteri di Hong Kong

20 Juni 2016   10:26 Diperbarui: 20 Juni 2016   10:52 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sehubungan dengan  koreksi data paspor Buruh Migran Indonesia (BMI) yang kisruh dan sudah sampai pada tingkat meresahkan berbagai pihak,  Jokowi mengirimkan dua menteri untuk melakukan kunjungan diplomasi ke Hong Kong. Dua menteri tersebut adalah Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Dalam kunjungannya, selain bertemu dengan perwakilan otoritas setempat, Retno dan Yasona juga bertemu dengan puluhan BMI yang merupakan perwakilan dari kelompok/organisasi BMI yang ada di Hong Kong (16/6). 

Empat Langkah Strategis

Dalam keterangan pers yang bisa dibaca di media online juga di website resmi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, pertemuan yang diadakan oleh dua menteri guna mengatasi permasalahan yang muncul terkait penerapan SIMKIM di Hong Kong telah menghasilkan 4 langkah strategis.

Pertama, Menlu dan Menkumham sudah bertemu dengan Acting Chief Executive Otoritas Hong Kong untuk menjelaskan mengenai SIMKIM dan mengajukan MoU dan usulan amnesti untuk BMI yang mengalami pengubahan data paspor agar tidak dikriminalisasi.

Kedua, pemerintah Indonesia akan melakukan percepatan proses pembuatan paspor WNI di HK dengan mengirimkan Tim Perbantuan Teknis dari Kemlu dan Imigrasi  serta tambahan peralatan pembuatan paspor.

Ketiga, pemerintah Indonesia akan menyederhanakan proses pembuatan dan perpanjangan paspor sehingga WNI di HK cukup datang sekali ke KJRI HK.

Keempat, KJRI HK akan melakukan inovasi teknologi dalam rangka memudahkan pelayanan pembuatan dan perpanjangan paspor.

Melangkah Sebelum Tahu Arah

Penerapan paspor biometrik bagi Warga Negara Indonesia di luar negeri dengan menggunakan Sistem Manejemen Informasi Keimigrasian (SIMKIM) sebenarnya sudah mulai diberlakukan di Hong Kong sejak awal Januari tahun 2015 lalu. Setelah sebelumnya dipraktikkan terlebih dahulu di KBRI Malaysia, Singapura dan Thailand pada tahun 2013.

Namun karena tidak adanya sosialisasi yang jelas dan transparasi terkait penerapan peraturan baru dari pihak pemerintah, masalah koreksi dan pembenahan data paspor baru menjadi perhatian di kalangan BMI sejak muncul berita dipenjaranya Slamet Riani dan Susiani. BMI yang menyadari data paspornya tidak sama dengan data asli mulai panik dan cemas. Disusul lagi dengan adanya berita deportasi langsung atau pemberikan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) oleh KJRI Hong Kong terhadap BMI yang setelah pemeriksaan baru diketahui memiliki identitas palsu.

Hal seperti tersebut di atas tidak akan terjadi atau bisa diminimalisasi serta semestinya sudah memiliki solusi jauh-jauh hari untuk mengatasinya jika setiap sebelum menerapkan peraturan baru, pemerintah juga mencari tahu dan mengkaji peraturan otoritas setempat di mana peraturan akan diberlakukan. Hong Kong bukan Malaysia, Singapura atau Thailand dan tentunya memiliki peraturan berbeda. Hong Kong belum mengadopsi UU Trafficking, jadi siapapun yang memasuki wilayah otoritasnya dengan data palsu dianggap pelanggaran hukum. Apalagi seperti yang diakui sendiri oleh Menlu,  penerapan SIMKIM ini memang rentan masalah di wilayah yang menjadi tempat mayoritas WNI berdomisili, seperti misalnya yang terjadi di Malaysia. Nah, kalau sudah tahu begitu, semestinya di HK masalahnya sudah bisa diantisipasi kan?

Sayangnya masalah malah ada karena pemerintah yang sengaja melangkah sebelum tahu arah. Asal memutuskan dan menetapkan peraturan, urusan resiko ya nanti saja, kalau sudah muncul korban baru deh kelabakan. Itu pun kalau masih bisa ngeles dan tidak ada tekanan gerakan progressive atau tuntutan dari pembela para korban, ya abaikan saja. 

Langkah Pertama yang Tertinggal

SIMKIM merupakan bagian dari praktik usaha pemerintah untuk menerapkan SIN atau single identity number guna memenuhi dan menyesuaikan paspor warga negaranya agar sesuai dengan sistem dan kemananan paspor internasional yang ditentukan berdasarkan standar ICAO (Internasional Civil Aviation Organization).

Hal ini sangat membanggakan, dan patut didukung serta butuh kerjasama oleh semua pihak, baik instansi pemerintah dan non pemerintah juga semua WNI. Tetapi sebagaimana hal baru lainnya yang penting dan tidak mudah tentunya membutuhkan proses dan harus dikerjakan selangkah demi selangkah, dimulai dari yang paling memungkinkan. Dalam hal ini tentunya mesti dimulai dari dalam negeri.

Keputusan dan penerapan SIN yang kemudian melahirkan SIMKIM adalah keputusan pemerintah Indonesia. Dan
untuk memastikan hal warga negaranya memiliki SIN yang sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah mesti melakukan pendataan ulang penduduk serta koreksi data besar-besaran. Sebab seperti kita ketahui bersama nomor induk kependudukan (NIK), nomor yang menjadi pengenal seseorang ketika melakukan transaksi kependudukan, baik aktivitas yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan maupun kegiatan yang menyangkut pelayanan umum masih belum terintegrasi dengan baik. SIN yang idealnya tunggal dan menjadi rujukan utama terhadap identitas WNI seperti SIM, BPKB, NPWP, PASPORT dan dokumen kependudukan lainnya di Indonesia sendiri masih belum selesai diperbaiki atau mengalami perombakan, malah akhir-akhir ini tidak lagi terdengar gaungnya, terkesan sedang dibekukan.

Lalu pertanyaannya jika langkah perbaikan dan koreksi data di dalam negeri terkesan masih dibekukan atau sengaja ditunda, mengapa yang di luar negeri justru terkesan terlalu dipaksakan? Misalnya untuk di wilayah Hong Kong sendiri tidak bisakah ditunda sampai benar-benar ada kesepakatan tertulis berupa MoU atau minimal kunjungan diplomasi dua menteri menghadirkan solusi nyata (misalnya keputusan amnesty) bukan sekadar janji atau harapan semata?

Jika BMI ditanya tentunya mereka lebih memilih dilindungi pemerintah agar tak terjebak atau terancam masalah bahkan dikriminalisasi negara lain daripada harus merepotkan dan harus ditolong pemerintah karena sudah terkena masalah. Meski kenyataannya ditolong atau dilindungi toh masalahnya sebenarnya juga bersumber dari sistem pemerintahan negeri sendiri.

Apapun Langkahnya, Waspadai  Resikonya.

Pihak KJRI HK melalui Chalief Akbar selaku Konjen sudah mengakui adanya masalah kurangnya tenaga staf yang menangani urusan paspor yang mengharuskan pembatasan quota pelayanan, adanya penumpukan data di KJRI dan proses pembuatan paspor yang menjadi lebih lama. Kemudian Chalief juga menyebutkan rencana percepatan dan penyederhanaan proses pembuatan dan perpanjangan paspor dengan mengirimkan paspor baru ke alamat pemohon melalui pos tercatat dan juga pelayanan booking paspor via telpon hotline khusus dan aplikasi lainnya.

Apapun langkah yang diambil pemerintah saya percaya semua demi kebaikan bersama tapi bukan lantas kita boleh lupa untuk minilik ulang atau mengabaikan resiko dari langkah perbaikan tersebut. Semisal tentang fakta kerap terjadinya keteledoran atau ketidaksengajaan petugas dalam memasukkan data paspor yang berupa kesalahan ketik data, misalnya nama Mariyam menjadi Maria atau Wonosobo menjadi Wonotolo. Kesalahan bisa jadi hanya satu huruf atau satu angka tapi tentunya akibatnya berbahaya, bisa dianggap pemalsuan data.

Cek dan pengecekan ulang ketika pengambilan paspor baru sangat penting untuk mencegah terjadinya hal yang tidak dinginkan. Jika selama ini pengambilan langsung di konter imigrasi KJRI HK, yang pengecekan dilakukan bersama oleh petugas juga pemohon paspor saja masih ditemukan banyak masalah, misalnya ketika BMI menemukan kesalahan ketik dan langsung ditanyakan saja tidak mendapatkan tanggapan yang memuaskan. Lalu bagaimana jika pada paspor baru yang dikirimkan kemudian hari melalui jasa pos tersebut ternyata juga memiliki kesalahan? Tentunya BMI harus membawa paspor barunya dan datang ke KJRI atau bisa juga mengirimkan balik melalui pos, tetap repot dan butuh waktu kan? Belum lagi urusan dengan majikan atau si pemilik alamat yang belum tentu suka alamatnya digunakan oleh pekerjanya untuk surat menyurat. Sudahkah masalah yang nyata dan sekecil ini dipikirkan?

Kemudian tentang rencana membuka layanan telpon khusus, bukannya pesimis atau sinis jika saya menganggapnya bukan solusi. Sebab saya menilainya dengan menilik kembali pelayanan hotline KJRI HK selama ini yang jauh dari kata memadai. Jika untuk pelayanan pengaduan yang bersifat urgent saja tidak nyata, apalagi untuk urusan paspor?  Atau mungkinkah hal penting dan tidak penting sudah bukan menjadi kebutuhan dan hanya menjadi sebentuk pencitraan? Maksudnya bisa jadi pelayanan telpon khusus urusan paspor di KJRI HK akan maksimal karena berhubungan dengan kepentingan pencitraan terhadap pemerintah pusat bukan benar-benar untuk kepentingan BMI seperti pelayanan pengaduan kasus yang dialami BMI.

Dan point pentingnya lagi, sebelum ada kepastian tentang kesepakatan dengan Pemerintah HK menyoal para korban koreksi data yang berada di penjara ataupun yang masih menjadi tahanan kota, SIMKIM masih merupakan ancaman besar bagi BMI HK yang memiliki paspor dengan data berbeda, kesalahan data atau data yang sengaja dipalsukan.

Solusi meminta atau memberi kesempatan  BMI yang memiliki data paspor yang perlu dibenahi menyelesaikan kontrak kerjanya dan  pulang ke tanah air ketika berakhir kontrak kerjanya untuk  membenahi data paspornya di Indonesia seperti yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM adalah sama saja dengan menunggu waktu deportasi atau pemaksaan BMI agar keluar dari HK dengan resiko tidak bisa kembali bekerja di HK meski yang bersangkutan masih menginginkannya. Pemaksaan berkedok bantuan. 

Terlepas dari semua langkah yang mesti ditelaah lagi, sepertinya ada point yang perlu digarisbawahi bersama yakni sistem dan kinerja pemerintah, untuk di Hong Kong tentunya fokus pada kinerja KJRI HK. Selain faktor teknis, faktor SDM yang mencakup kharakter (rasa empati) dan pelayanan kerja (optimalisasi disiplin jam kerja dan profesionslitas) dari staf KJRI juga perlu diperbaiki. Terutama bagaimana cara melayani dengan hati dan hati-hati sehingga segala permasalahan (bukan hanya masalah koreksi data paspor) yang semestinya diselesaikan bersama baik oleh KJRI juga BMI tidak menimbulkan atau menambah masalah baru. 

Hong Kong, Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun