Sekali-sekali dia melihat ke kaca spion, mengamati jalan yang amat ramai menjelang waktu sholat Jumat. Mereka tengah melalui pusat keramaian kota kecil ini, sebuah sekolah tengah menghamburkan siswanya sementara deretan para penjemput tak sabar membunyikan klason di jalan yang tak cukup lapang itu.
Akhirnya mobil mini van itu memasuki jalan kecil menuju rumah mereka. Kania turun dan membuka pagar istananya yang berwarna kuning gading. Suaminya menjejali langkahnya, terburu-buru mengambil kunci dari kantung jeans-nya. Ia membukakan pintu untuk Kania. "Tadi aku rapat di kantor asosiasi. Bertemu dengan teman-teman lamaku. Maaf, aku menyebutmu awak di sms itu. Tadinya aku kira tidak apa-apa. Tidak suka ya...?"
Kania menjatuhkan tasnya di kursi empuk itu. Lega. Benar, tadi dia tidak suka dipanggil awak oleh suaminya, tapi kini mendengar suaminya menjelaskan hal tersebut dengan agak menyesal, kok rasanya 'awak' menjadi tidak terlalu tidak sopan?
"Tidak apa-apa. Cuma jangan sering-sering."
Suaminya tertawa. "Kenapa?"
"Abang tidak sopan padaku. Jangan perlakukan aku seperti kepada orang lain!"
Suaminya tersenyum, mencium kepalanya dan buru-buru menuju kamar mandi untuk berwudu'. Dari masjid terdengar Gharin masjid menyeru para laki-laki untuk datang. Kania tersenyum memandangi punggung suaminya. Sayup gemercik air wudu'jatuh di lantai kamar mandi.
Sabar dan toleransi telah menolong mereka keluar dari banyak masalah. Perkawinan mereka tidak sempurna. Namun suaminya juga tidak buruk-buruk amat. Dia ternyata cukup peduli pada perasaannya. (silakan intip tulisan lainnya di : www.ardaulay.blogspot.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H