Betapa ingin Kania membongkar kesal hatinya agar suaminya tahu bahwa dia sudah cukup sabar selama ini. Dia mungkin istri yang tidak sempurna. Tapi Kania hanya ingin sedikit dicintai dan dihargai.
Kania mulai merasakan panas yang lembab di matanya. Dibanding teman-teman SMAnya yang mengaku pengangguran - karena mereka ibu rumahtangga-, Kania lebih sejahtera secara finansial. Namun siapakah yang lebih bahagia, dirinya atau mereka?
Akhirnya dia harus menyesali, kemandiriannya telah menjauhkan dirinya dari cinta suami.
Handphonenya bergetar lagi.
"Aku sudah di luar...". Pesan singkat dari Riziq.
Kania beringsut dan mencoba menjernihkan matanya yang berkaca-kaca. Mengenakan kemeja putih, pengusaha travel agent itu menatapnya dengan tanda tanya. Kania memasuki mobil mini van itu dengan diam. Dia masih mengunci mulutnya.
Mobil berjalan pelan. Kania masih bungkam hingga belokan ke jalan besar. Mengapa begitu sulit berterus terang kepada suami sendiri? Kania mengira perkawinan mereka telah dibangun atas kesetaraan, nyatanya... uh tidak!
"Ada masalah di kantor?" akhirnya Riziq memecah kebuntuan itu. Kania menggeleng.
"Lalu apa?" suaminya menuntut penjelasan.
"Apakah Abang keberatan menjemputku?"
"Ti... tidak" ucapnya cepat dan agak gugup.