Mohon tunggu...
Dian Prameswari
Dian Prameswari Mohon Tunggu... lainnya -

In any real man a child is hidden that wants to play (Nietzsche)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyoalkan Permasalahan "Same Sex Marriage" di Australia

10 November 2017   16:06 Diperbarui: 10 November 2017   16:39 1564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
now I pronounce you husband and wife (wrong! not gender neutral)

Ser, dilafalkan sair/ser yang biasanya dipakai di Latin America.

Selain itu mungkin akan ada lagi kata dan wacana lain yang harus ditinggalkan karena tak sesuai lagi dengan era same sex marriage. Umpamanya kata penis dan vagina, karena dua kata tersebut jelas akan mengacu pada jenis kelamin and thus gender (secara orang normal sekarang) maka sebaiknya tidak dipakai. Ada yg menyarankan agar kata tsb diganti dengan kata "erectile-tissue" yang mengacu pada fungsi alat kelamin  tanpa harus mengarah ke jenis kelamin and thus gender. 

Bayangkan anak kecil harus menggunakan kata tsb daripada menggunakan kata willie atau fanny. Tahu apa anak tiga tahun umpamanya tentang ereksi, paling mereka tahu tissue itupun mungkin terbatas pada toilet tissue. Akan makin sulit bagi orang tua menjelaskan bila si anak mulai tanya ini itu ketika sang anak memasuki genital stage. 

4. Konsekuensi terhadap civil liberties

Bila undang undang perkawinan dirubah, maka dampak negatif terhadap berbagai bentuk kebebasan akan sangat terasa. Freedoms akan terpancung dan gampang terjerat hukum. Konsekuensi dari same sex marriage sudah terbukti di negara negara yang sudah melegalkan same sex marriage. Dampak negative yang nyata telah dialami oleh mereka yang berbisnis sebagai bakers, florists, photographers dsb.

Contoh yang paling memilukan terjadi pada Barronelle Stutzman, seorang florist di Washington State yg sudah lama menyediakan jasa karangan bunga bagi Robert Ingersoll, seorang client dan juga teman yang sudah hampir sedasa warsa dan tak pernah ada masalah. Sampai suatu hari Robert memesan karangan bunga untuk wedding nya dengan seorang kekasih prianya. 

Mrs. Stutzman  menyilahkan duduk si Robert dan menerangkan padanya bahwa dia tak bisa menyediakan karangan bunga untuk same sex wedding karena hal itu bertentangan dengan ajaran agamanya. Robert tak bisa menerima penolakan tersebut dan melaporkannya pada yang berwajib. Sampai sekarang Mrs. Stutzman masih harus menghadapi keputusan pengadilan. Sebegitu dahsyatnya seorang teman baik bisa berubah sikap dalam sekejab jadi litigious karena ada perbedaan pendapat tentang perkawinan.

Contoh diatas adalah dampak negative yang nyata terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama.

Di Hobart, Archbishop Julian Porteous dibidik dengan Anti-Discrimination Act 1998 (Tas) setelah dia menyebarkan booklet "Don't Mess With Marriage". Sebuah panduan buat umat Katolik mengenai perkawinan. Booklets tsb sebenarnya untuk internal umat dia, tapi ada yang tak setuju dan mengajukan complaint sehingga sang Archbishop harus berurusan dengan yang berwajib. 

Meski akhirnya si complainant menarik kembali perihal "keberatannya" hal ini sudah menunjukkan bahwa ketika same sex marriage belum disahkan pun mereka mereka yang setuju dengan same sex marriage sudah menggunakan hukum anti diskriminasi untuk memberangus mereka yang mengajarkan bahwa perkawinan (secara agama) adalah antara pria dan wanita. Bisa dibayangkan bagaimana nanti bila same sex marriage disahkan.

Apa hasilnya dari postal voting tersebut? Bila YES campagners lebih unggul dan same sex marriage disahkan menurut undang undang, selain kekhawatiran yang terurai diatas, akan adakah dampaknya terhadap LGBT Indonesia karena kita begitu berdekatan secara geografis, dan passionate secara people to people level. Lima hari lagi  kita tahu hasil dai postal voting tsb dan mungkin akan saya sambung dengan tulisan yang condong ke YES untuk perkawinan sejenis. Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun