Redenominasi akhir-akhir ini bergaung lagi. Apa itu redenominasi? Redenominasi adalah mencetak uang baru dengan penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi ini tidak akan mengurangi nilai mata uang tersebut. Contohnya: mata uang Rp 50.000 dikurangi 3 nolnya menjadi Rp 50, mata uang Rp 100.000 dikurangi 3 nolnya menjadi Rp 100. Nilai mata uang baru Rp 50 dan Rp 100, nilainya sama dengan Rp 50.000 dan Rp 100.000 yang selama ini ada. Jadi nilai uangnya sama sekali tidak berkurang karena akan disertai dengan pengurangan 3 nol juga pada harga barang-barang dan jasa yang ada. Ada contoh negara yang sudah melakukan redenominasi dan dianggap sukses, yaitu Turki yang dilaksanakan pada tahun 2005, dengan mengurangi 6 nolnya, yaitu: 1 juta uang lira lama menjadi 1 lira uang baru baru.
Banyak yang mengatakan bahwa upaya itu harus segera dilakukan karena nilai tukar rupiah ini sudah sangat merosot. Di kalangan dunia usaha pun ada yang sudah mulai menerapkan hal ini, misalnya dalam tulisan harga produk barang/jasa sudah dikaburkan angka 3 nol di belakangnya, atau dalam perdagangan sehari-hari ada yang mengucapkan nominal Rp 1.000.000 dengan seribu.
Tujuan dilakukannya redenominasi itu, menurut mereka untuk meningkatkan kepercayaan internasional terhadap mata uang rupiah sehingga mata uang rupiah tidak dicap sebagai uang sampah dan banyak orang mau menyimpan uang rupiah.
Manfaat Redenominasi
Dijelaskan oleh banyak pihak bahwa kalau kita mau melakukan redenominasi mata uang rupiah, akan diperoleh manfaat sbb.:
- Mata uang rupiah tidak lagi dicap sebagai uang sampah;
- Diharapkan orang mau menyimpan uangnya dalam bentuk rupiah;
- Memudahkan penyusunan anggaran negara, atau memudahkan laporan keuangan perusahaan karena tidak dipusingkan dengan penulisan angka 3 nol di belakangnya.
- Negara tidak terus memperbanyak uang Rp 100.000
Namun, pelaksanaan redenominasi ini tidak bisa sewaktu-waktu. Karena, kalau kondisinya tidak mendukung, justru bisa menimbulkan permasalahan baru, yaitu bisa menyebabkan terjadinya inflasi. Untuk itu pelaksanaan redenominasi ini membutuhkan persyaratan tertentu, yaitu:
- situasi perekonomian dalam negeri dan global relatif stabil
- situasi politik dalam negeri yang kondusif
- didukung oleh semua pihak
Selanjutnya diperkirakan, bahwa proses redenominasi ini akan berlangsung 4 sampai 7 tahun. Hanya saja, dari berbagai informasi yang ada itu, ada juga yang belum terekspos di media massa, yaitu berapa anggaran yang dibutuhkan untuk melakukan redenominasi ini?
Apakah redenominasi maksudnya cuma sekedar itu?
Ketika pemikiran tentang redenominasi ini mencuat lagi, saya coba merenung tentang hal ini. Teringat sekitar tahun 2011, kami kalau beli kebutuhan beras yang kualitasnya cukup, bisa dilakukan dengan SMS saja. Waktu itu harganya sekitar Rp 38.000 - Rp 40.000 per 5 kg. Tetapi menjelang lebaran kemarin, saya harus mengeluarkan uang Rp 51.000 – Rp 53.000 per 5 kg dan sampai sekarang tak pernah mau beranjak turun lagi. Saya teringat juga, ketika sekitar 2 tahun yang lalu masih membeli pepaya dengan ukuran sedang per-buahnya saat itu masih Rp 10.000 sekarang saya harus membelinya di atas Rp 17.500. Pisang ambon 1 lirang Rp 15.000 sekarang saya harus membayarnya Rp 25.000 dll. Sehingga saya pun sekarang jadi jarang membeli buah lagi. Apa arti semua ini? Uang sebesar Rp 50.000 yang dahulu bisa dibelanjakan banyak barang, sekarang menjadi tidak banyak lagi.
Bagi mereka yang pekerja kantoran, mungkin tidak bermasalah karena mereka biasanya ada penyesuaian gaji. Tapi bagi orang-orang kecil, bisanya hanya menjerit dalam hati, atau menunggu belas kasihan orang lain. Mereka tak mampu berkata-kata lagi, selain pasrah. Termasuk saya, rasanya sedih sekali kalau memikirkan keadaan ini. Padahal semua tahu bagaimana berlimpahnya kekayaan negara Indonesia itu.
Lalu, apa yang saya peroleh dari hasil perenungan itu? Pikiran saya jadi bertanya-tanya, “Kalau demikian halnya, bagaimana kalau setelah redenominasi, kemudian rupiah melemah dan melemah lagi terhadap dolar? Sebagaimana dulu sebelum 1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar masih Rp 2000-an kemudian terus bergerak naik menjadi Rp 9.000-an, dan sekarang menjadi Rp 13.000-an? Sehingga kita yang tergolong senior ini, tentu mengenal uang rupiah baru, dengan nilai nominal tertinggi yang terus berkembang dari Rp 20.000 muncul Rp 50.000 dan sekarang Rp 100.000? Dengan demikian, kalau nanti ada redenominasi mata uang rupiah menjadi Rp 1 sampai Rp 100 untuk menggantikan mata uang Rp 1.000, sampai Rp 100.000, maka nantinya kalau rupiah terus melemah, bisa juga muncul mata uang Rp 125 Rp 150, dst. Artinya kondisinya, juga akan sama saja. Padahal, untuk melakukan redenominasi ini, negara harus mengeluarkan biaya yang sangat besar.
Sehingga yang terpikir oleh saya berikutnya, kenapa kita tidak melakukan “redenominasi secara alami” saja? Yaitu, membuat harga-harga turun sehingga mata uang rupiah yang kecil-kecil ini memiliki nilai beli lagi. Sekarang uang terkecil yang masih laku untuk perhitungan jual-beli yaitu Rp 100. Kalau pemerintah mau melakukan “redenominasi secara alami”, berarti pemerintah harus mengupayakan kondisi sehingga uang Rp 50 berlaku lagi, kemudian Rp 25, Rp 10, dst. Kalau hal ini bisa dilakukan, maka pemerintah tidak perlu melakukan cetak uang rupiah baru, tetapi nantinya akan mencetak uang sebagaimana biasanya untuk menambah mata uang nominal kecil yang dibutuhkan. Dengan demikian secara bertahap bisa membuat mata uang Rp 100.000 dan Rp 50.000 menjadi jarang digunakan dan lama-lama tidak akan terbit lagi. Begitu seterusnya.
Artinya, itu sebenarnya negara melakukan penarikan pelan-pelan terhadap mata uang rupiah dengan nilai nominal besar, yang manfaatnya akan mengurangi jumlah uang yang beredar.
Apakah itu bukan berarti deflasi?
Deflasi adalah menurunnya harga barang-barang. Penyebabnya banyak sekali: jumlah barang berlebihan, jumlah uang yang beredar berkurang, nilai tukar rupiah menguat, harga BBM turun, pengangguran bertambah, ada pemotongan gaji secara massal, bunga bank turun, dll. Berarti “redenominasi alami “ tersebut mirip dengan kondisi deflasi, yaitu berkurangnya jumlah uang yang beredar. Untuk itu pelaksanaannya tidak boleh dibiarkan terjadi dengan sendirinya, tetapi harus dikendalikan atau direncanakan dengan baik oleh BI/pemerintah. Karena deflasi yang tidak terkendali, akan bisa menjadi masalah baru. Dampaknya bisa membuat dunia industri gagal bayar utang, dan rentetannya kemudian pada permasalahan ekonomi dan pengangguran. (Dampak deflasi dan inflasi yang tak terkendali akan sama saja).
Dengan dilakukannya kebijakan “redenominasi secara alami” atau deflasi ini, diharapkan terjadi pergeseran dalam membelanjakan uang, dan mereka tidak boros lagi. Ini akan bisa membuat perubahan fundamental terhadap perekonomian Indonesia. Seiring dengan ini, pemerintah harus kerja cerdas mendorong ekspor dengan berbagai cara sehingga industri kreatif mampu bersaing secara global.
Jadi, Presiden Jokowi harus mampu berpikir komprehensif, bisa bertindak cerdas, bisa mengoordinasikan semua bidang yang ada dan harus memegang kendali pelaksanaannya. Tidak bisa ini hanya dianggap sebagai urusan BI dan Menteri Keuangan.
Sedangkan kalau redenominasi oleh BI, perilaku masyarakatnya tidak akan terjadi perubahan konsumsi sehingga tidak berefek pada perubahan fundamental ekonomi. Karena itu gejolak ekonomi seperti saat ini masih akan terus menghantui, dan kemungkinan rupiah merosot lagi masih tetap besar. Kalau demikian, untuk apa pemerintah/BI melakukan redenominasi? Padahal biaya untuk melakukan redenominasi sangat besar. Ini artinya pemerintah/BI hanya akan menambah masalah baru saja.
Namun ketika saya coba menyampaikan gagasan perbaikan ekonomi Indonesia dengan konsep deflasi di sini, saya diperingatkan oleh pembaca, bahwa ada contoh negara yang sudah sekian lama mengalami deflasi dan sampai sekarang perekonomiannya sulit untuk bangkit lagi, yaitu Jepang.
Dan saya jawab respons pembaca tersebut, bahwa deflasi ini akan berbeda dengan negara Jepang. Jepang itu negara maju yang perkembangan ekonominya saat ini sangat ditentukan oleh ekspornya, karena yang di dalam negeri sudah berkembang secara maksimal. Karena itu, kalau ingin mengulang keberhasilan sebelumnya, pasti sulit sekali. Sebab kuncinya pada kondisi global, yang persaingannya semakin ketat. Sedangkan Indonesia, potensi perekonomian yang di dalam negeri belum tergarap secara maksimal, bahkan salah arah. Karena itu bila dilakukan deflasi secara terkendali, hasilnya diharapkan akan berbeda dengan Jepang.
Persamaan
Kedua konsep tersebut sama-sama berdampak pada kenaikan nilai beli uang karena harga barang-barang dikondisikan bisa menurun.
Perbedaan
- Yang redenominasi oleh BI akan disertai dengan mencetak uang baru, yaitu nilai nominal Rp 1 sampai Rp 100, sedangkan yang alami tidak.
- Yang redenominasi oleh BI terjadi potongan nilai uang cukup besar secara sekaligus dan ini kasat mata, sedangkan yang alami potongan nilainya sedikit-sedikit dan bertahap secara alami serta tidak kasat mata.
- Yang redenominasi BI, harga barang turun karena mengikuti adanya uang baru, sedangkan yang redenominasi alami (deflasi) karena ada stimulan dari pemerintah.
- Yang redenominasi oleh BI terjadi potongan nilai uang cukup besar secara sekaligus dan ini kasat mata, sedangkan yang alami potongan nilainya sedikit-sedikit dan bertahap secara alami serta tidak kasat mata.
Untung rugi
Perbandingan untung rugi pelaksanaan redenominasi oleh BI /pemerintah dengan “redenominasi alami” yang coba saya sampaikan.
Untungnya redenominasi oleh BI
- Bagi BI sepertinya lebih mudah/praktis karena terlihat jelas ada uang baru dan uang lama
Ruginya Redenominasi oleh BI
- Ada 2 jenis mata uang rupiah sehingga bisa membingungkan masyarakat
- Keluar biaya mencetak uang baru
- Ada efek psikologis yang lebih besar karena ada 2 jenis mata uang
- Manfaatnya kurang karena tidak berpengaruh pada fundamental ekonomi
Untungnya “Redenominasi alami”
- Mata uangnya tetap satu jenis sehingga efek psikologisnya bisa dikurangi
- Pemerintah tidak mengeluarkan biaya cetak uang baru
- BI bisa menarik kelebihan jumlah uang beredar sehingga akan mendorong deflasi
- Manfaatnya lebih besar karena fundamental ekonomi juga ada perbaikan, yaitu akan terjadi pergeseran konsumsi masyarakat ke produk-produk pokok.
Ruginya Redenominasi alami
- Bagi BI, tak ada proyek pembuatan uang baru
- Industri kreatif akan berkurang konsumennya, dan ini yang harus dicarikan solusi oleh pemerintah.
Prediksi Manfaat Redenominasi oleh BI Masih Dipertanyakan?
Benarkah kalau dilakukan redenominasi oleh BI akan diperoleh manfaat sebagaimana dikemukakan oleh berbagai pihak tersebut? Mohon direnungkan hal berikut ini.
- 1. Tentang kerumitan penulisan keuangan yang berkurang
Dengan penghilangan 3 nol, penulisan keuangan menjadi lebih sederhana. Benarkah demikian? Menurut saya: tidak. Karena permasalahannya hanya akan bergeser saja. Kalau sebelumnya, kita dipusingkan dengan penulisan 3 angka nolnya. Maka setelah redenominasi yang dilakukan BI/pemerintah, kita akan disibukkan dengan penulisan angka dengan melibatkan tanda koma dan angka nol di depannya. Kalau tidak, berarti harga kebutuhan hidup di negara ini akan menjadi sangat mahal.
- 2. Anggapan sebagai uang sampah hilang
Tentang anggapan sebagai uang sampah akan menjadi hilang. Ini juga perlu diklarifikasikan. Karena yang menjadikannya “uang sampah” atau “uang pilihan” itu bukan banyaknya tulisan angka nol. Tetapi berapa banyak jumlah lembaran uang yang harus dibawanya, kalau dia harus membawa uang tersebut. Mau menggunakan uang seratus ribuan atau sepuluh ribuan hasil redenominasi, kalau jumlahnya sama banyaknya berarti keduanya sama-sama dicap sebagai “uang sampah”.
- 3. Tidak perlu mencetak uang Rp 100.000 terus
Tentang dampak terus mencetak uang baru Rp 100.000-an, ini juga akan berlaku sama walaupun sudah diganti dengan Rp 100-an. Kalau permasalahan fundamental ekonomi di negara ini tidak ada perbaikan, maka “cetak uang lagi” tetap bisa terjadi terus, tetapi ganti mencetak uang baru Rp 100 atau bahkan meningkat ada Rp 110, Rp 125, dst.
- 4. Orang tidak mau pegang rupiah
Tentang, orang tidak mau pegang rupiah karena saat ini nilainya merosot terus. Walaupun nanti sudah dihilangkan 3 nolnya, orang tetap akan tidak mau pegang rupiah, kalau nilai uang hasil redenominasi tersebut juga merosot terus. Sebab merosot atau tidaknya nilai mata uang itu, tidak terkait dengan tulisan yang tertera pada mata uangnya, tetapi tergantung pada ketahanan fundamental perekonomian negara, ketika menghadapi gejolak situasi global.
Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa yang dibutuhkan Indonesia saat ini, bukanlah redenominasi mata uang rupiah oleh BI. Tetapi, yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah “redenominasi alami” yang bisa mendorong terjadinya deflasi dan berdampak pada perbaikan fundamental perekonomian Indonesia.
Kalau tadi dicontohkan ada negara Jepang yang “gagal” dalam memperbaiki perekonomiannya dengan cara deflasi. Kita tidak perlu pesimis, karena posisi Indonesia tidaklah sama dengan Jepang. Kalau pertumbuhan ekonomi Jepang sampai saat ini tidak bisa kembali seperti sebelumnya, atau menjadi lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara berkembang, itu memang sudah sewajarnya. Karena mereka hanya bisa bergerak di level internasional yang persaingannya luar biasa. Nanti kalau Indonesia sudah optimal dalam mengelola perekonomian dalam negeri, maka juga akan mengalami hal yang sama. Demikian juga nantinya untuk India dan Cina.
Maka itu, beruntunglah bagi Indonesia yang utangnya cuma sedikit, yaitu sekitar 27% PDB. Sehingga seandainya negara ini tidak digerogoti oleh korupsi, maka pemerintah tidak akan kesulitan untuk membayar cicilan utang tersebut. Ini berbeda dengan negara-negara maju yang utangnya terlanjur menggunung. Mereka jadi “kalang kabut” kalau tiba saatnya membayar cicilan utang, karena pemasukan negara dari ekspornya terus berkurang seiring dengan semakin ketatnya persaingan global. Masih ingat bagaimana AS harus kesulitan untuk membayar utangnya yang lebih dari 104% PDB-nya? Atau negara-negara maju, yang sekarang ini jumlah cadangan devisanya mulai turun?
Jadi para pejabat pemerintahan Indonesia dan staf ahlinya, seharusnya paham akan hal ini. Jangan lewatkan kesempatan emas ini, dengan menyodorkan negara kita terus menjadi “makanan empuk “ negara-negara maju tersebut. Mestinya pemikiran-pemikiran seperti ini yang harus didahulukan, sebelum kita sibuk dengan urusan membangun infrastruktur yang memang juga kita butuhkan sebagai penunjangnya.
Nanti kalau fundamental ekonomi Indonesia sudah benar-benar baik, kemudian nilai nominal mata uang rupiah ternyata masih “menyulitkan”, baru kita berpikir menerapkan redenominasi seperti yang direncanakan oleh BI/pemerintah terebut. Inilah yang disebut memperbaiki perekonomian Indonesia secara mendasar!
Referensi:
Apa Kabar Redenominasi Rupiah? Ini Jawaban BI
Rencana Rp 1.000 Jadi Rp 1, Masih Lanjut atau Tidak?
Lebih Baik Desain Uang Baru atau Redenominasi Rupiah?
Pecahan Terkecil Rupiah dan Perlunya Redenominasi Rupiah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H