“Kalau sudah kena penyakit, rumah bisa terjual” ungkapan itu bukan omongan kosong. Karena biaya pengobatan seseorang kalau sudah terkena penyakit yang parah itu bisa sampai ratusan juta. Akibatnya, suatu keluarga yang sebelumnya hidupnya sudah sejahtera, tiba-tiba bisa jatuh miskin. Karena itu demi melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, sejak 2014 negara berusaha meringankan beban semua rakyatnya, apabila sewaktu-waktu perlu mendapatanan pengobatan atas penyakitnya, melalui sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang berbasis gotong royong secara nasional dengan membayar sejumlah iuran yang relatif murah. Penyelenggaraannya diserahkan dalam suatu badan yang dinamakan BPJS Kesehatan atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Konsep Jaminan Kesehatan Nasional yang Saat Ini sedang Berjalan
Konsep jaminan kesehatan nasional yang saat ini sedang berjalan dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: pelayanan jaminan kesehatan kelas I, kelas II, dan kelas III. Sebelum 1 April 2016 iuran gotong- royong tersebut, besarnya bervariasi tergantung yang bersangkutan masuk dalam golongan mana. Pembagiannya sbb.:
- Rakyat pekerja mandiri harus membayar sendiri dengan ketentuan:
- Kelas I sebesar Rp 59.500 (1 keluarga 5 orang = 297.500 + 12.500 = 310.000/bulan)
- Kelas II sebesar Rp 42.500 (1 keluarga 5 orang = 212.500 + 12.500 = 225.000/bulan)
- Kelas III sebesar Rp 25.500 (1 keluarga 5 orang = 127.500 + 12.500 = 140.000/bulan)
- Pekerja perusahaan membayar 5% gaji (1% gaji dibayar peserta, dan yang 4% dibayar perusahaannya)
- Pekerja negara membayar 5% gaji (2% gaji dibayar peserta dan 3% dibayar oleh negara)
- Mereka yang tergolong miskin ada 86,4 juta dibayari negara setiap bulannya sebesar Rp 19.225/orang
- dll
Dengan sistem pelayanan kesehatannya, dilakukan secara bertahap yang harus dimulai dari Fasilitas Kesehatan Primer, kemudian pelayanan kesehatan di Rumah Sakit rujukan Tipe B atau C, baru kalau belum teratasi kemudian di RSU rujukan. Namun apabila terjadi kondisi darurat, bisa langsung ke rumah sakit manapun.
Penerapan Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional di Lapangan
Dengan konsep jaminan kesehatan nasional tersebut, realita pelayanan kesehatan terhadap para peserta BPJS yang terjadi di lapangan, baik yang saya alami sendiri dan saya saksikan sendiri, maupun yang diceritakan sesama peserta BPJS, sering terjadi hal-hal sbb.:
- Ketika sedang mendapatkan pelayanan pengobatan di Puskesmas, beberapa kali saya mendengar pasien ditanya ikut mandiri atau jamkesmas atau PNS.
- Pengobatan di Faskes Primer kurang optimal, penyebabnya a.l.: pasiennya banyak sehingga pemeriksaan tidak optimal; ketika pasien datang lagi karena belum sembuh, dokternya mengeluh bahwa jatah obatnya dikurangi; dokternya ada yang kualitasnya meragukan.
- Beberapa kali ditolak perawatan di RS rujukan dengan dalih kamar penuh. Padahal itu belum tentu penuh, sepertinya itu hanya sebagai modus operasi menggiring pasien untuk bayar sebagai pasien umum.
- Ketika mau masuk UGD harus menunggu lama, padahal oleh dokter di Faskes Primer sudah dinyatakan harus masuk UGD.
- Walaupun di rumah sudah pingsan beberapa kalipun masih dikatakan belum perlu perawatan rumah sakit, tetapi ketika pilih bayar umum langsung ditempatkan di UGD.
- Ketika mau rawat inap di rumah sakit dipersulit dan diarahkan untuk pelayanan umum (bayar sendiri lagi), terutama bagi mereka yang berasal dari luar kota dengan cara dilempar sana-sini sehingga yang bersangkutan akhirnya menyerah. Padahal ternyata yang dari luar kota itu ternyata cukup disuruh lapor ke BPJS setempat saja. Tidak harus kembali ke kota asalnya.
- Standar pelayanan kesehatan rawat inap antara peserta BPJS dan yang bayar sendiri tidak sama, walaupun kelasnya sama: baik dari sisi pelayanan dokter, obatnya, lamanya rawat inap.
- Ketikamenjalani rawat inap, obat yang diresepkan dokter habis, sehingga harus beli obat lainnya yang sejenis.
- Pasien lebih cepat pulang (walaupun sebenarnya keluarga justru senang karena tidak capai harus menunggu di rumah sakit), tetapi kondisi itu ternyata bisa menjadi peluang untuk korupsi obat yang berlebih ( obat infus, dll), karena sisanya tidak dikembalikan ke apotik.
- Setelah pulang dari rumah sakit, diminta kontrol dokter disuruh datang jam 9, tetapi dokternya baru datang jam 11.30 dengan alasan dokternya masih rapat.
- Beberapa kali ketemu pasien berobat di rumah sakit, ketika saya tanya kenapa tidak pakai BPJS, jawabnya: ndaftarnya antri panjang, kalau berobat pakai BPJS nggak cepat sembuh sehingga harus bolak-balik malas, yang mengejutkan lagi ada yang mengatakan dilarang oleh dokternya ?!.
Jadi penerapan sistem gotong- royong dalam Jaminan Kesehatan Nasional yang sudah berjalan ini, di samping ada pihak-pihak yang merasa terbantu, ternyata juga membawa dampak buruk pada pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan ini. Dampak buruknya, yaitu:
- Ada perbedaan pelayanan kesehatan terhadap peserta BPJS yang membayar secara mandiri, dibayari negara, dibayar oleh peserta + negara. Juga dengan pelayanan kesehatan yang pasiennya membayar langsung. Apalagi ketika dalam kondisi rawat inap, jelas dirasakan pelayanannya berbeda, walaupun kelasnya sama.
- Terjadi kecemburuan sosial di masyarakat yang diekspresikan dalam bentuk percakapan, misal: “enak PNS dibayari negara” (walaupun tidak dibayar 100%); atau negara ini juga menjamin kesehatan orang yang suka mabuk-mabukan, merokok, dll.
- Punya kartu BPJS tetapi masih bayar pelayanan pengobatan ataupun rawat inap secara umum. Hal ini terjadi karena kecewa dengan pelayanan pengobatan di Faskes Primer yang sering harus berulang, ataupun terpaksa dilakukan demi menjaga agar si sakit segera mendapat pelayanan rumah sakit.
- BPJS terancam bangkrut sehingga kemudian sejak 1 April 2016 Pemerintah menaikkan iuran peserta BPJS, kecuali yang mandiri kelas III sbb:
- Rakyat pekerja mandiri harus membayar sendiri dengan ketentuan:
- Kelas I sebesar Rp 80.000 (1 keluarga 5 orang = 400.000 + 12.500 = 412.500/keluarga)
- Kelas II sebesar Rp 51.000 (1 keluarga 5 orang = 255.000 + 12.500 = 267.500/keluarga)
- Kelas III sebesar Rp 25.500 (1 keluarga 5 orang = 127.500 +12.500 = 140.000/keluarga)
- Pekerja formal swasta membayar 5% gaji (1% gaji oleh peserta, dan yang 4% oleh perusahaannya
- Pekerja negara membayar 5% dari gaji ( 2% gaji oleh peserta, dan yang 3% dibayar oleh negara
- Pekerja BUMN/BUMD membayar 5% dari gaji (1% oleh peserta dan 4% dibayar perusahaan)
- Orang tua dan mertua pekerja penerima upah, anak ke-4 dst dari pekerja penerima upah membayar 1% dari gaji. Contoh: kalau ybs. merupakan pegawai golongan III dengan gaji 3 juta, maka untuk orang tua dan mertuanya ini akan mendapat jaminan fasilitas kesehatan kelas I, hanya dengan membayar 1% gaji yaitu sebesar Rp 30.000 per bulan.
- Mereka yang tergolong miskin ada 86,4 juta dibayari negara setiap bulan sebesar Rp 23.000/orang untuk fasilitas pelayanan kelas III.
- Aturan yang baru, peserta BPJS kelas III, bisa pindah kelas dengan tambahan pembayaran.
- Dll.
- Rakyat pekerja mandiri harus membayar sendiri dengan ketentuan:
Dari penjelasan tersebut bisa diketahui bahwa negara (BPJS) menyediakan jaminan pelayanan kesehatan kepada warga negaranya dalam tiga kelompok, yaitu: ada yang kelas I, kelas II, dan kelas III. Kemudian negara memberikan jaminan pelayanan kepada warga negaranya juga dengan cara yang berbeda-beda, yaitu: untuk pekerja negara diberikan jaminan pelayanan kesehatan dengan fasilitas kelas I – III dengan iuran sebagian besar ditanggung oleh pemerintah, untuk rakyat yang dianggap miskin dibayari pemerintah untuk fasilitas kelas III, untuk karyawan perusahaan sebagian besar disuruh membayari perusahaannya. Sedangkan rakyat lainnya yang bekerja secara mandiri dipersilahkan membayar sendiri-sendiri. Kalau tidak mau/tidak mampu membayar iurannya, silahkan akibatnya ditanggung sendiri !
Kalau sistem gotong-royongnya demikian, berarti terkesan bahwa orang-orang pekerja swasta (kecuali yang miskin) sepertinya hanya “diperalat negara” untuk menanggung biaya kesehatan orang miskin dan pekerja negara beserta keluarganya. Terbukti mereka harus membayar iurannya jauh lebih mahal dibandingkan dengan besarnya iuran yang harus ditanggung oleh pekerja negara. Sementara tanggung jawab jaminan pelayanan kesehatan yang baik belum dilaksanakan.
Karena itu konsep jaminan kesehatan nasional yang saat ini berjalan terasa tidak adil, sehingga harus diperbaiki dengan konsep yang lebih bijaksana sehingga bisa menekan terjadinya kegiatan pelayanan kesehatan yang sering mengecewakan peserta BPJS.
Merancang Konsep Gotong Royong yang Ideal dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional