[caption caption="disdik.riau.go.id"][/caption]Saya dulu termasuk pihak yang mendukung Ujian Nasional (UN) dengan pertimbangan: kalau tidak ada UN lalu bagaimana kita bisa mengetahui kualitas/prestasi anak didik ? Diserahkan kepada pihak sekolah sama juga bohong, karena sekolah pasti akan mempertahankan citranya. Kalau ada yang tidak lulus, maka reputasi sekolah yang bersangkutan juga akan jelek. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa siswa-siswa di sekolah swasta yang terancam tidak lulus, biasanya kemudian berusaha mendekati jajaran kepala sekolah dengan berbagai macam cara agar bisa lulus. Akibatnya wibawa guru sekolah di mata anak didiknya menjadi tidak berwibawa, karena sering “ditelikung” oleh kepala sekolahnya.
Namun setelah sekian lama terlaksana kegiatan UN, semakin baikkah citra dunia pendidikan kita ? Ternyata tidak ! Realitanya justru semakin parah, kerusakan moral tidak hanya terjadi di lingkup sekolah tertentu saja, tetapi justru “mengglobal”. Akhirnya saya menyerah, karena kalau saya tetap mendukung berarti saya juga berkontribusi membuat kerusakan mental bangsa ini semakin parah. Sekarang saya harus mengatakan yang sebaliknya, yaitu “hapus UN kalau ingin menyelamatkan moral bangsa Indonesia”. Dasar pertimbangannya sbb.:
Dari sisi anak didik
1. UN justru membuat siswa yang berusaha jujur (tidak beli bocoran soal atau kunci jawaban) menjadi korban, karena nilai mereka biasanya tidak sebaik dibanding mereka yang beli bocoran, dan yang tidak beli bocoran soal ini kemudian diejek oleh teman-temannya. Realitanya nilai mereka biasanya memang lebih jelek. Sementara kalau lapor justru dimarahi oleh gurunya karena bisa menjatuhkan reputasi sekolah. Padahal nilai UN juga menjadi dasar penilaian untuk penerimaan di jenjang sekolah yang lebih tinggi.
2. UN membuat anak yang tidak bodohpun banyak yang ikut membeli bocoran soal/kunci jawaban, dengan alasan untuk jaga-jaga kalau soalnya sulit, dia bisa menjawab sesuai dengan yang dikehendaki.
3. UN memunculkan rasa solidaritas siswa yang salah, karena mereka merasa senasib seperjuangan, maka merasa perlu saling membantu dengan berbagai cara agar tidak dapat nilai jelek.
4. UN membuat anak didik menjadi korban, karena demi mengejar nilai hasil ujian yang baik, mereka banyak yang mesti sekolah 2 kali, yaitu sekolah reguler dan paket bimbingan belajar setahun. Sementara yang orang tuanya memiliki ekonomi pas-pasan hanya bisa pasrah ketika mendapati guru sekolahnya yang tidak bisa mengajar dengan baik.
5. UN membuat kreativitas anak didik yang salah, misal ketika harga kunci jawaban itu dirasa sangat mahal Rp 2.000.000 maka mereka mengkordinasi teman-temannya sehingga harganya menjadi sangat terjangkau, misalnya urunan menjadi Rp 80.000-an.
Dari sisi guru
1. UN membuat guru-guru yang baik menjadi “salah tingkah”: diam merasa bersalah, lapor justru mendapat masalah.
2. UN juga membuat guru-guru memiliki rasa solidaritas yang salah, yaitu demi menjaga citra guru ybs, demi menjaga citra sekolah, dan citra diknas, kemudian mereka sepakat membiarkan muridnya “bekerjasama” dalam mengerjakan soal, bahkan ada yang membantu dengan berbagai macam cara: memberi kunci jawaban atau mengisi jawaban kosong.
3. Karena banyak siswanya yang ikut bimbingan belajar, guru yang tidak bisa mengajar dengan baik merasa terbantu, dan siswa yang tidak ikut les kalau sering bertanya justru dicap sebagai anak-anak yang bodoh, padahal sebenarnya ternyata guru yang bersangkutanlah yang tidak bisa mengajar dengan baik. Akhirnya anak-anak yang tidak ikut les ini, bisanya hanya berharap kemurahan hati mereka yang ikut les untuk mau mengajarinya.
4. UN membuat wibawa guru rusak di mata anak didik, karena mereka tahu kalau hasil ujian sekolahnya nanti pasti disulap dapat nilai bagus-bagus. “Manipulasi” nilai ini dilakukan untuk mengantisipasi kalau anak didiknya jatuh di ujian nasional sehingga banyak anak didik santai-santai saja walaupun mau ujian sekolah.
Dari sisi orang tua
1. UN membuat kantong orang tua menjadi terkuras sehingga mendorong mereka untuk korupsi (kecil-kecilan sampai yang kakap), agar mereka bisa membayar uang bimbel untuk anaknya yang biayanya jutaan. Hal ini dilakukan, juga sebagai investasi bagi mereka agar anaknya nanti bisa di terima di sekolah favorit.
2. UN membuat orang tua yang tidak mampu mengikutkan anaknya les (termasuk saya) menjadi sedih juga, karena ibaratnya kita membiarkan anak-anak berjuang meraih masa depannya dengan bekal seadanya, sementara anak-anak yang lain bekalnya banyak sekali.
Dari sisi pebisnis
1. UN membuat bimbingan belajar laris-manis, walaupun mereka terkadang hanya melaksanakan secara asal-asalan, karena pesertanya sudah stres di sekolah karena banyak mengerjakan tugas-tugas sekolah.
2. UN membuat kreativitas tindak kejahatan semakin canggih, apapun bentuknya: tertulis maupun berbasis komputer. Apalagi di era sekarang yang bisa dikatakan semua orang sudah memiliki HP yang canggih. Bentuk bocorannya bisa berupa bocoran soal atau bocoran paket kunci jawaban.
Dari sisi pejabat
1. UN membuat pejabat di jajaran diknas atau kepala daerah menjadi munafik karena tidak berani menerima kenyataan bahwa kualitas anak didik di kotanya sangat buruk.
2. UN membuat menteri pendidikan takut kehilangan proyek besar tahunan, dan biasanya hanya mengatakan: UN berjalan dengan lancar, para siswa jangan beli bocoran, guru jangan memberi jawaban kepada siswa, tolak beli bocoran, yang berani lapor hebat, tanpa peduli bahwa apa yang di katakannya itu sesuatu yang percuma saja. Karena di negeri ini, anak didik dan guru-guru yang berani jujur bisa mendapatkan malapetaka. Hampir mustahil mereka mau mencelakakan diri sendiri. Kalaupun ada beberapa anak yang berani melaporkan tindak kecurangan di suatu kota, itu tidak sebanding dengan kerusakan moral massal yang telah dan akan terjadi lagi dalam setiap tahunnya.
Oleh karena itu, kalau keberadaan UN ini terus dipertahankan, maka bukan hanya akan membuang-buang anggaran ratusan milyar per-tahun, bahkan justru akan memperparah kebobrokan mental di semua kalangan, yaitu: anak pandai menjadi banyak yang tidak percaya diri, anak yang bodoh berusaha melakukan kecurangan dengan berbagai macam cara, guru menjadi berperilaku tercela dan tidak berwibawa, para orang tua di semua profesi banyak yang tergoda untuk melakukan korupsi kecil-kecilan ataupun besar-besaran demi masa depan anak-anaknya, kreativitas tindak kejahatan dalam dunia pendidikan semakin meningkat, jajaran diknas di daerah menjadi munafik, menteri kependidikannya menjadi “buta”, yaitu pura-pura tidak tahu atas kejadian-kejadian buruk akibat dilaksanakannya UN. Artinya dengan diselenggarakannya UN itu, tidak ada manfaatnya sama sekali, kecuali bagi mereka yang kebagian proyeknya. Sebaliknya negara justru mengajari atau melatih anak-anak dari SD, SLTP, SLTA (calon-calon mahasiswa) untuk praktek melakukan perbuatan tercela. Juga membuat banyak para orang tua terpaksa pura-pura jadi orang baik-baik, serta memberi peluang masyarakat (pebisnis) melakukan kreativitas yang buruk demi bisa/tetap mendapatkan keuntungan.
Adapun pihak yang berusaha terus mempertahankannya, yaitu kementerian pendidikan berdalih bahwa UN itu tidak lagi menentukan kelulusan, tetapi hanya untuk pemetaan + dasar penilaian masuk jenjang sekolah yang lebih tinggi. Apakah mereka tidak peduli , bahwa data yang dijadikan bahan pemetaan dan dasar menentukan penerimaan di jenjang sekolah lebih tinggi itu tidak valid, karena:
1. Mereka yang nilainya baik itu karena fasilitas sekolahnya lebih baik, banyak yang ikut bimbel, ada yang beli bocoran soal, ada yang berkat solidaritas antar teman dan guru .
2. Ada sekolah yang pengawasannya ketat karena merasa muridnya banyak yang “pintar-pintar” (banyak yang ikut bimbel), sementara sekolah yang lain pengawasannya sekedarnya saja, bahkan ada yang dibantu gurunya.
3. Kualitas soal jelas tidak sama, ada 5 bahkan bisa sampai 20 macam per-kelas. Belum lagi perbedaan di tingkat wilayah. Kalau untuk soal matematika, masih memungkinkah soal bisa berbeda-beda dikatakan kualitasnya sama, karena untuk pelajaran matematika kita bisa mengubah angka-angkanya saja. Tetapi untuk soal-soal teori (pengetahuan), jelas materinya berbeda. Mereka yang bisa menjawab soal kelompok A belum tentu bisa menjawab soal kelompok yang lainnya. Berarti bisa dipastikan bahwa kualitas soal ujiannnya jelas tidak sama. Lalu bagaimana kemudian kita bisa memetakan kualitas anak didik di berbagai sekolah dan daerah kalau materi ujiannya saja tidak sama ? Juga, bagaimana kita bisa mengatakan si A nilainya lebih baik daripada si B kalau materi ujiannya jelas tidak sama ?
Jadi sebenarnya UN itu, apapun metodenya, tertulis maupun komputer sama-sama hanya menjadi sarana melakukan hal tercela di dunia pendidikan. Karena permasalahannya bukan pada cara ujiannya, tetapi pada efek kejujuran yang justru mendatangkan musibah bagi mereka (siswa dan guru pengawas) yang memperjuangkannya. Apalagi dengan keberadaan fasilitas kependidikan dan tingkat kemampuan siswa yang sangat timpang, ada sekolah favorit dan lebih banyak sekolah yang tidak favorit. Juga ada sekolah di daerah terpencil. Sehingga potensi ketidak-jujuran ini jauh lebih besar, daripada yang benar-benar jujur. Istilahnya sudah tahu sama tahulah ! Di sinilah yang menjadi permasalahan pokoknya !
Di samping itu, hasil UN ini sebenarnya tidak bisa digunakan untuk dasar penerimaan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, karena sifatnya hanya untung-untungan (dapat kelompok soal yang mudah atau yang sulit), serta banyak “manipulasi nilainya”. Kalau hanya sekedar untuk memetakan kemampuan rata-rata siswa saja, jajaran kementerian kependidikan bisa meninjau langsung ke sekolah-sekolah, atau bisa menerima laporan saja kemudian cek lapangan. Apabila gedung sekolahnya tidak memadai atau rusak, buku-buku pelajarannya tidak lengkap, fasilitas mengajarnya minim, maka sudah bisa dipastikan kalau rata-rata kemampuan anak didiknya akan kalah dengan daerah lain yang fasilitasnya sudah baik. Kemudian dana ratusan milyar untuk UN itu bisa langsung dialihkan untuk keperluan memperbaiki fasilitas sekolah yang kurang tersebut. Cara ini cukup sederhana, dan tidak membutuhkan biaya besar, tetapi hasil pemetaan yang diperoleh akan lebih akurat.
Terakhir ada pernyataan baru, UN hanya digunakan sebagai cermin untuk melihat kemampuan diri bagi anak didik. Aduh ! Dasar pertimbangan apalagi ini ?! Ketika saya ceritakan ke anak, spontan dijawab: ” Ya, cermin yang sangat buruk !” Sudah buruk, harganya ratusan milyar lagi.
Semoga masukan pemikiran ini bisa sampai pada Pak Anis Baswedan, dan beliaunya mau atau berani mengambil sikap yang berbeda dengan para pendahulunya !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI