Oleh karena itu, kalau keberadaan UN ini terus dipertahankan, maka bukan hanya akan membuang-buang anggaran ratusan milyar per-tahun, bahkan justru akan memperparah kebobrokan mental di semua kalangan, yaitu: anak pandai menjadi banyak yang tidak percaya diri, anak yang bodoh berusaha melakukan kecurangan dengan berbagai macam cara, guru menjadi berperilaku tercela dan tidak berwibawa, para orang tua di semua profesi banyak yang tergoda untuk melakukan korupsi kecil-kecilan ataupun besar-besaran demi masa depan anak-anaknya, kreativitas tindak kejahatan dalam dunia pendidikan semakin meningkat, jajaran diknas di daerah menjadi munafik, menteri kependidikannya menjadi “buta”, yaitu pura-pura tidak tahu atas kejadian-kejadian buruk akibat dilaksanakannya UN. Artinya dengan diselenggarakannya UN itu, tidak ada manfaatnya sama sekali, kecuali bagi mereka yang kebagian proyeknya. Sebaliknya negara justru mengajari atau melatih anak-anak dari SD, SLTP, SLTA (calon-calon mahasiswa) untuk praktek melakukan perbuatan tercela. Juga membuat banyak para orang tua terpaksa pura-pura jadi orang baik-baik, serta memberi peluang masyarakat (pebisnis) melakukan kreativitas yang buruk demi bisa/tetap mendapatkan keuntungan.
Adapun pihak yang berusaha terus mempertahankannya, yaitu kementerian pendidikan berdalih bahwa UN itu tidak lagi menentukan kelulusan, tetapi hanya untuk pemetaan + dasar penilaian masuk jenjang sekolah yang lebih tinggi. Apakah mereka tidak peduli , bahwa data yang dijadikan bahan pemetaan dan dasar menentukan penerimaan di jenjang sekolah lebih tinggi itu tidak valid, karena:
1. Mereka yang nilainya baik itu karena fasilitas sekolahnya lebih baik, banyak yang ikut bimbel, ada yang beli bocoran soal, ada yang berkat solidaritas antar teman dan guru .
2. Ada sekolah yang pengawasannya ketat karena merasa muridnya banyak yang “pintar-pintar” (banyak yang ikut bimbel), sementara sekolah yang lain pengawasannya sekedarnya saja, bahkan ada yang dibantu gurunya.
3. Kualitas soal jelas tidak sama, ada 5 bahkan bisa sampai 20 macam per-kelas. Belum lagi perbedaan di tingkat wilayah. Kalau untuk soal matematika, masih memungkinkah soal bisa berbeda-beda dikatakan kualitasnya sama, karena untuk pelajaran matematika kita bisa mengubah angka-angkanya saja. Tetapi untuk soal-soal teori (pengetahuan), jelas materinya berbeda. Mereka yang bisa menjawab soal kelompok A belum tentu bisa menjawab soal kelompok yang lainnya. Berarti bisa dipastikan bahwa kualitas soal ujiannnya jelas tidak sama. Lalu bagaimana kemudian kita bisa memetakan kualitas anak didik di berbagai sekolah dan daerah kalau materi ujiannya saja tidak sama ? Juga, bagaimana kita bisa mengatakan si A nilainya lebih baik daripada si B kalau materi ujiannya jelas tidak sama ?
Jadi sebenarnya UN itu, apapun metodenya, tertulis maupun komputer sama-sama hanya menjadi sarana melakukan hal tercela di dunia pendidikan. Karena permasalahannya bukan pada cara ujiannya, tetapi pada efek kejujuran yang justru mendatangkan musibah bagi mereka (siswa dan guru pengawas) yang memperjuangkannya. Apalagi dengan keberadaan fasilitas kependidikan dan tingkat kemampuan siswa yang sangat timpang, ada sekolah favorit dan lebih banyak sekolah yang tidak favorit. Juga ada sekolah di daerah terpencil. Sehingga potensi ketidak-jujuran ini jauh lebih besar, daripada yang benar-benar jujur. Istilahnya sudah tahu sama tahulah ! Di sinilah yang menjadi permasalahan pokoknya !
Di samping itu, hasil UN ini sebenarnya tidak bisa digunakan untuk dasar penerimaan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, karena sifatnya hanya untung-untungan (dapat kelompok soal yang mudah atau yang sulit), serta banyak “manipulasi nilainya”. Kalau hanya sekedar untuk memetakan kemampuan rata-rata siswa saja, jajaran kementerian kependidikan bisa meninjau langsung ke sekolah-sekolah, atau bisa menerima laporan saja kemudian cek lapangan. Apabila gedung sekolahnya tidak memadai atau rusak, buku-buku pelajarannya tidak lengkap, fasilitas mengajarnya minim, maka sudah bisa dipastikan kalau rata-rata kemampuan anak didiknya akan kalah dengan daerah lain yang fasilitasnya sudah baik. Kemudian dana ratusan milyar untuk UN itu bisa langsung dialihkan untuk keperluan memperbaiki fasilitas sekolah yang kurang tersebut. Cara ini cukup sederhana, dan tidak membutuhkan biaya besar, tetapi hasil pemetaan yang diperoleh akan lebih akurat.
Terakhir ada pernyataan baru, UN hanya digunakan sebagai cermin untuk melihat kemampuan diri bagi anak didik. Aduh ! Dasar pertimbangan apalagi ini ?! Ketika saya ceritakan ke anak, spontan dijawab: ” Ya, cermin yang sangat buruk !” Sudah buruk, harganya ratusan milyar lagi.
Semoga masukan pemikiran ini bisa sampai pada Pak Anis Baswedan, dan beliaunya mau atau berani mengambil sikap yang berbeda dengan para pendahulunya !