[caption caption="Data tabel merupakan hasil olahan penulis"]
[/caption]
[caption caption="Keterangan data dalam tabel"]
Apa arti data tersebut ?
Negara-negara yang katanya maju dan sejahtera (makmur) itu, ternyata banyak yang memiliki utang yang besar. Sebagian besar negara menerapkan sistem anggaran defisit, namun untuk neraca pembayarannya ada yang positif dan ada yang negatif. Beberapa negara tercatat memiliki neraca perdagangan yang surplus terhadap Indonesia. Juga memberikan utang kepada Indonesia dan memiliki banyak investasi di Indonesia (di sini). Kemudian jumlah penduduk Indonesia ini termasuk besar, namun cadangan devisanya termasuk sedikit. Sedangkan cadangan devisa dalam jumlah besar dimiliki oleh Cina dan Jepang. Sementara kurs mata uang negara kita terhadap dolar sangatlah lemah.
Setelah memahami data tersebut, kita bisa mengetahui bahwa besarnya utang yang dimiliki oleh negara-negara maju itu, ternyata ke depannya akan bisa membuat kerepotan negara yang bersangkutan, kalau pemerintahan berikutnya tidak bisa menghasilkan masukan devisa yang lebih besar. Beberapa negara dalam tabel tersebut, terbaca berada dalam posisi memiliki potensi bermasalah (-) dan dalam posisi bermasalah (--), terkait dengan pembayaran cicilan utangnya. Namun situasi yang sesungguhnya, yang lebih tahu jelas mereka sendiri, karena saya tidak mendalami “permainan APBN mereka”. Kecuali di negara sendiri, seperti yang kemarin sudah saya bahas di sini .
Artinya, kalau kita sudah mengetahui data-data dan kemungkinan permasalahan yang terjadi pada negara-negara “maju” itu, sebagai pemerintah dan rakyat seharusnya kita tidak perlu minder kalau berhadapan dengan negara-negara maju tersebut, asal kita tidak terjebak utang pada mereka, asal kita tidak mengirim TKW kepada mereka. Biarlah mereka merasa sebagai bangsa yang lebih sejahtera (makmur), biarlah mereka merasa sebagai bangsa yang lebih maju infrastrukturnya, tetapi kita tahu bahwa itu semua bisa terjadi karena mereka memiliki utang yang besar. Bukan karena semata-mata merupakan hasil “kerja kerasnya”. Dan, apabila tiba-tiba terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dunia atau krisis ekonomi, tentu mereka akan “kelabakan” juga. Ini merupakan masalah sangat besar buat mereka, Amerika-pun pernah mengalaminya, Yunani sampai bangkrut, bahkan Jepang kemarin terpaksa melakukan gebrakan bunga bank negatif.
Posisi Indonesia
Sebagai negara yang juga pengutang, utang negara ini sebenarnya relatif kecil dibandingkan mereka, 25% : lebih dari 50%. Namun sayangnya, walaupun jumlah utangnya kecil, tetapi negara kita mengalami kesulitan ketika akan membayar cicilan utang-utangnya. Tercermin dalam tabel: APBN minus dan neraca pembayarannya minus juga. Sementara jumlah cadangan devisa tersebut, menurut BI hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekitar 6 bulan. Itupun dengan persediaan BBM-nya hanya cukup untuk 20 hari. Akibatnya, kalau ada keperluan pengeluaran devisa baru yang mendesak, seringkali pemerintah harus cari utangan baru. Aneh, bukan ? Utangnya relatif sedikit dibandingkan dengan negara lain, tetapi “bingung” setiap tiba waktu membayar cicilan utangnya, sehingga harus cari-cari utang baru.
Artinya telah terjadi kesalahan dalam manajemen keuangan di negara ini, dan telah terjadi kesalahan dalam alokasi peruntukan utang atau anggarannya. Orang mengatakan, alokasi anggaranya lebih banyak digunakan untuk hal–hal yang tidak produktif dibandingkan dengan hal-hal yang produktif.
Oleh karena itu, dengan mengetahui kondisi negara-negara maju yang demikian, dan mengetahui kelemahan serta kelebihan negara kita, pemerintahan Pak Jokowi seharusnya bisa “membaca”, bahwa ini sebenarnya merupakan peluang emas bagi Indonesia untuk berbenah diri. Jangan sebaliknya justru menyerahkan diri menjadi mesin ATM bagi mereka. Apalagi, kalau kita paham bahwa posisi Indonesia itu sangatlah besar artinya buat mereka.
Kalau kita bisa melakukan hal-hal yang hemat, alokasi anggaran yang tepat, dan membuat kebijakan-kebijakan yang cerdas, maka tak perlu konfrontatif, kita bisa memperbaiki negeri ini dengan membenahi apa yang sudah terjadi di dalam negeri sendiri.
Jangan terbalik, mereka yang selalu memahami kesulitan negara kita. Kemudian karena kebodohan kita sendiri, mereka justru bisa memanfaatkan keadaan untuk semakin menekan pemerintah kita, sehingga bisa terus menguntungkan mereka.
Hal-hal tidak produktif apa yang terjadi di negara ini ?
Hal-hal tidak produktif yang membuat ruang fiskal dan utang LN Indonesia bermasalah yaitu:
1) Pemborosan BBM (bukan hanya sekedar subsidi BBM)
Yang menjadi masalah terkait BBM itu sebenarnya bukanlah subsidi BBM-nya saja, tetapi adanya pemborosan BBM. Karena, kalau cuma masalah subsidi BBM yang tidak tepat, itu akan hilang dengan sendirinya ketika orangnya tidak membeli BBM. Atau, ketika harga BBM sedang turun seperti sekarang ini.
Dan, pemborosan BBM yang dimaksudkan adalah pemborosan yang kita lakukan, yaitu ketika sering mengendarai mobil dengan hanya berpenumpang 1-2 orang saja. Karena kalau penumpangnya banyak, maka mobil itu menjadi efektif untuk mengurangi penggunaan BBM. Kalau kita boros BBM, berarti kita ikut berkontribusi dalam memicu pelemahan nilai tukar rupiah. Dengan kata lain, kalau kita boros BBM itu sebenarnya kita sengaja membuat orang lain hidupnya susah. Sayangnya, banyak di antara kita, dan pemerintahpun justru tidak paham akan hal ini.
2) Alokasi gaji pekerja negara yang berlebihan.
Negara itu sebenarnya merupakan perusahaan konglomerasi yang sangat besar. Ibarat sebuah perusahaan, bagaimana kalau modalnya banyak digunakan untuk membayar gaji pekerjanya ? Untuk tahun anggaran APBN-P 2015, dari penerimaan negara sebesar 1761,6 T (belum dikurangi bayar cicilan utang), sebesar 340 T digunakan untuk membayar gaji pekerja negara. Prosentasenya sekitar 19,3%. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi pada perusahaan swasta, kalau alokasi anggarannya (modalnya) dipatok hampir 20% untuk gaji pekerjanya, dimana jumlah pekerjanya selalu bertambah terus dan harus menggaji pensiunannya juga. Maka, bisa dipastikan bahwa perusahaan itu akan menuju kebangkrutannya.
3) Pemborosan belanja kementerian dan lembaga
Pemborosan belanja kementerian dan lembaga negara, jelas hanya memperbesar pengeluaran negara yang tidak penting. Kalau anggarannya kurang, biasanya kemudian solusinya pemerintah akan menambah anggaran negara dengan mengambil kebijakan utang. Contoh belanja negara yang tidak penting itu, misalnya: studi banding (nglencer) para pejabat ke LN maupun di dalam negeri, perjalanan dinas dengan fasilitas wah, rapat di hotel, pembuatan seragam-seragam yang tidak perlu, dll. Itu semua hanya membuat pemborosan yang menjadi beban anggaran pemerintah saja.
4) BI yang sering intervensi pasar
Ketika rupiah melemah terlalu dalam, BI seringkali berusaha menghentikan laju pelemahan nilai tukar rupiah tersebut dengan melakukan intervensi pasar, yaitu: menggelontorkan dolar. Walaupun seringkali upaya intervensi itu ternyata gagal, terbukti rupiahnya terus “mberosot” tidak mau dikendalikan. Namun BI tak juga “putus asa” , dan sering melakukan hal yang sama. Padahal cadangan devisa negara yang ada, jumlahnya sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan rutinnya. Akibatnya, pemerintah menambah utang LN lagi.
5) Pembangunan infrastruktur yang gagal/mangkrak
Pembangunan infrastruktur yang gagal/mangkrak, hanya membuat dana yang dikeluarkan pemerintah menjadi sia-sia. Kalau misalnya pemerintah menganut sistem APBN berimbang, maka resikonya hanya uangnya hilang. Tetapi karena pemerintah menerapkan sistem APBN defisit dengan utang, maka setiap anggaran negara yang terbuang sia-sia akan menambah beban negara. Contohnya: pembangunan gedung OR di Hambalang.
[caption caption="antaranews.com"]
6) Pembangunan infrastruktur yang salah prioritas
Pembangunan infrastruktur yang salah prioritas tidak mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi nasional di sini, bukan sekedar ekonomi nasional bisa tumbuh. Tetapi pertumbuhan ekonomi yang mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah secara serempak sehingga bisa terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Contohnya: pembangunan kilang minyak dan pipanisasi gas yang diabaikan, dan yang lebih banyak dibangun yaitu jalan tol dan gedung perkantoran yang megah di berbagai daerah. Hal ini jelas akan menghambat pertumbuhan perekonomian nasional secara merata, sebab migas yang sangat dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia dan akan bisa menggerakkan perekonomian di berbagai daerah, justru pembangunan infrastrukturnya tidak diprioritaskan. Akibatnya harga migas yang merupakan kebutuhan mendasar dari industri menjadi mahal. Bahkan di beberapa wilayah seringkali sulit untuk mendapatkannya.
Sementara, kalau kurangnya jalan dalam arti kemacetan, masih bisa diatasi dengan berbagai kebijakan yang tidak membutuhkan anggaran banyak, misalnya dengan memperbanyak angkutan umum dan mengurangi penggunaan mobil pribadi di jalan raya. Namun kalau belum ada jalannya, memang harus mendapat prioritas untuk dibangun. Sedangkan untuk pembangunan gedung perkantoran, sudah pasti bisa ditunda dulu. Kecuali kalau gedungnya mau roboh. Biarkanlah gedung perkantoran yang ada itu menjadi representasi kesejahteraan rakyat di daerahnya.
7) Korupsi, suap, dan mark-up anggaran
Korupsi, suap, dan mark-up anggaran tentu menjadi masalah bagi APBN kita berikutnya. Karena dengan adanya korupsi, suap, dan mark-up anggaran akan membuat kualitas pembangunan infrastruktur yang dilakukan menjadi tidak sesuai dengan besteknya, dan kualitas pembangunan SDM tidak sesuai dengan target kompetensinya. Akibatnya, kerusakan infrastruktur menjadi lebih sering terjadi dan kualitas SDM kita jauh dari yang diharapkan. Hal ini, tentunya akan menjadi beban anggaran berikutnya. Sementara karena kualitas SDM-nya tidak mumpuni, maka pemasukan negara menjadi tidak bisa maksimal.
Pada sisi lain, kalau kebiasaan korupsi, suap, dan mark-up anggaran ini terus berlanjut, maka akan memicu kerusakan moral anak bangsa yang jauh lebih luas. Yang lebih menyedihkan lagi, akan melahirkan anak-anak bangsa yang munafik. Sehingga ongkos perbaikan bangsa ini, akan jauh lebih mahal lagi.
8) Rakyat yang konsumtif
Kalau kondisi bangsa sudah sejahtera, rakyat mau berperilaku konsumtif, boleh-boleh saja asal juga jangan berlebihan. Tetapi kalau kondisi kesejahteraan rakyat masih terjadi kesenjangan sosial yang luar biasa, maka kegiatan konsumtif sekelompok kalangan itu akan memicu kecemburuan sesama anak bangsa yang berada dalam posisi tidak beruntung, dan bahkan akan memicu terjadinya tindak kejahatan yang semakin parah. Sebaliknya kalau berubah produktif, ini akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat, dan mengurangi pertumbuhan ekonomi negara. Karena itu pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin membantu dunia industri untuk bisa meningkatkan ekspor produk-produknya. Kalau tidak, maka sisi produktifnya akan diisi oleh investor asing, dan yang untung akan bangsa lain. Sementara bangsa kita hanya akan mendapat keuntungan pertumbuhan ekonomi semu, dan suatu saat pertumbuhan ekonomi semu ini akan berbalik menghancurkan perekonomian kita.
9) Kegiatan yang memboroskan devisa negara
Selama ini memang banyak rakyat yang tidak paham akan apa itu cadangan devisa negara. Pemerintahpun tidak pernah mencerdaskan rakyatnya akan hal ini, atau bahkan pemerintahpun tidak paham akan hal ini. Terbukti yang dianggap mengganggu pertumbuhan ekonomi di negara kita adalah subsidi BBM. Karena itu subsidi BBM harus dicabut, dan rakyat silahkan beli semaunya kalau pakai uangnya sendiri. Padahal yang salah itu bukan subsidinya, tetapi pemborosan BBM yang membuat pemerintah harus menambah pembelian BBM impor dengan menggunakan devisa negara. Sebab penggunaan devisa negara yang berlebihan, akan mengurangi jumlah cadangan devisa yang dimiliki oleh negara. Dampaknya, hal ini bisa mengganggu stabilitas nilai tukar rupiah kita. Sementara pemberian subsidi BBM yang tepat, justru akan bisa meningkatkan daya saing produk industri negara kita di tingkat global.
Bentuk pemborosan devisa yang lain, yaitu banyak perilaku dari para pejabat dan warga negara yang senang ataupun bangga kalau bisa “membuang-buang” devisa, misalnya: sering makan-makan di restoran asing, beli barang-barang luar negeri walaupun sebenarnya di negeri ini sudah banyak produk-produk yang berkualitas. Sering berwisata ke luar negeri, walaupun di negeri ini belum banyak tempat wisata yang dikunjunginya. “Terpaksa” sekolah di luar negeri dan berobat di luar negeri karena menilai kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan di negeri sendiri tidak baik. Akibatnya, cadangan devisa yang dimiliki oleh negara kita semakin berkurang, dan saat ini jumlahnya sangat pas-pasan. Jadi sudah penerimaan devisa negara kita sedikit, tetapi rakyat dan pejabatnya banyak mengeluarkan devisa.
10) Bantuan sosial yang terus-menerus
Bantuan sosial tidak sama dengan jaminan sosial. Jaminan sosial memang merupakan kewajiban pemerintah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan mendasar rakyat. Namun bantuan sosial dengan sasaran “masyarakat miskin” tidak boleh dilakukan terus-menerus. Karena yang dibutuhkan rakyat miskin adalah tersedianya lapangan kerja yang memadai, bukan bantuan sosial yang terus-menerus. Bantuan sosial yang demikian hanya akan membuat rakyat kehilangan harga dirinya. Sementara anggarannya sebenarnya bisa digunakan untuk meningkatkan daya saing industri kita sehingga bisa memperluas lapangan kerja baru. Jadi pemerintah jangan bangga, kalau jumlah penerima bantuan sosial tersebut dari tahun ke tahun bertambah meningkat. Karena itu menunjukkan bahwa pemerintah gagal menjalankan kewajibannya untuk bisa membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya.
11) Kerusakan lingkungan dan laju pertambahan penduduk yang terabaikan
Terjadinya kerusakan lingkungan yang tidak segera diperbaiki, serta laju perkembangan penduduk yang tidak dikendalikan, akan menjadi bumerang di kemudian hari. Karena biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampaknya, yaitu terjadinya bencana alam maupun terjadinya ledakan penduduk itu, akan jauh lebih besar dari biaya awal yang harus dikeluarkan pemerintah ketika lebih memilih segera memperbaiki lingkungan yang rusak, atau segera mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yang tergolong pesat ini.
12) Pemilu yang berkali-kali
Pemilu merupakan sarana untuk menemukan sosok pemimpin bangsa yang berkualitas. Karena Indonesia merupakan negara kesatuan, sebenarnya tidak perlu adanya Pilkada di berbagai daerah yang membutuhkang anggaran sangat besar . Tahun 2015 kemarin untuk biaya pilkada serentak (tahap I ada 269 dari 537 daerah propinsi, kota dan kabupaten) itu membutuhkan anggaran Rp 7,1 tilyun.
Padahal dalam konsep negara kesatuan itu, kepemimpinan dari jajaran nasional sampai jajaran daerah haruslah sepemikiran dan kompak. Kalau pengalaman di masa lalu terjadi penyelewengan kekuasaan, maka seharusnya penyelewengan itulah yang dicegah. Bukan justru memutus rantai kekompakan koordinasi antara pimpinan pusat dengan pimpinan daerah tersebut. Caranya setiap daerah punya atau diberi target yang jelas. Kalau pimpinan daerah tersebut 2 kali gagal mencapai targetnya, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau diganti dengan pimpinan yang baru.
**
Itulah berbagai hal yang bersifat tidak produktif, namun banyak dilakukan oleh jajaran pemerintah dan rakyat Indonesia. Akibatnya, anggaran negara menjadi terkuras dan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur menjadi sangat terbatas. Juga, devisa negara yang sudah diperoleh dengan susah payah, kemudian harus keluar kembali untuk hal-hal yang tidak penting. Akhirnya negara kita selalu mengalami kesulitan keuangan, dan mencari solusinya yang termudah yaitu diselesaikan dengan utang. Tak peduli ini akan menjadi beban bagi generasi berikutnya.
Andaikan kebijakan-kebijakan yang tidak tepat dan “perilaku buruk” rakyat itu bisa dicegah, tentu anggaran negara yang bisa dimaksimalkan untuk pembangunan infrastruktur akan jauh lebih besar !
Pada sisi lain, pemerintah sendiri “menerapkan biaya tinggi” terhadap berbagai hal yang menunjang kegiatan perekonomian negara kita. Produk-produk yang dikelola BUMN dan sangat dibutuhkan oleh dunia industri, yaitu: BBM, listrik, tarip tol harganya mahal. Belum lagi, tarikan berbagai macam pajak dan pungutan-pungutan liar dalam setiap proses pengiriman logistik dan perizinan, serta biaya periklanan yang mahal. Akibatnya, ongkos produksi dunia industri kita menjadi sangat tinggi sehingga daya saingnya menjadi sangat rendah, dan peluang untuk mendapatkan devisa negara menjadi semakin berkurang. Karena sangat tingginya, sampai-sampai di negara sendiripun, produk industri kita kalah bersaing dengan produk-produk asing. Maka tidak mengherankan, kalau kemudian tersedianya lapangan kerja, adanya penerimaan pajak, dan devisanyapun mengalir ke negara lain.
Jadi sebenarnya yang membuat pemerintahan ini terjebak dalam permasalahan bayar utang dengan gali utang baru, bukanlah karena anggaran kita jumlahnya sedikit kemudian tidak bisa bayar utang, tetapi kebijakan pemerintah yang tidak tepat dan perilaku rakyat yang boros itulah yang menguras keuangan negara dan menghalangi masuknya penerimaan negara yang lebih besar.
Cara memperbaiki Indonesia
Solusi dari permasalahan bangsa ini sebenarnya “cukup sederhana”. Tidak membutuhkan anggaran yang besar sampai ratusan trilyun untuk mulai mengatasinya, yaitu: harus ada keterbukaan dan kebersamaan antara pemerintah, pengusaha, media massa, serta rakyat. Namun untuk bisa mewujudkan hal ini ada syaratnya, yaitu: pemerintah jangan suka bohong dan menyakiti hati rakyat.
Kalau hal tersebut bisa dilakukan, maka efek psikologisnya, para pemegang dolar ini akan berbondong-bondong untuk melepaskan dolarnya, karena khawatir rupiah akan berbalik menguat. Kemudian kondisi ini akan mendorong perbaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar secara bertahap, sehingga barang-barang impor, termasuk bahan baku industri dan barang modal nantinya bisa menurun harganya.
Selanjutnya, kalau hal ini juga didukung oleh harga migas dan listrik yang lebih murah, pajak yang bersaing, birokrasi yang efektif, maka tentunya akan bisa menurunkan harga produk-produk industri, dan meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia, serta akan meningkatkan daya saing industri Indonesia secara global.
Jadi tak harus muluk-muluk membangun infrastruktur di sana-sini dulu, karena justru akan membuat pemerintah dalam posisi yang semakin sulit, sebab impor kebutuhan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran bisa memicu pelemahan nilai tukar rupiah lagi. Bangun saja infrastruktur yang paling penting untuk rakyat, yaitu: kilang minyak/pipanisasi gas dan pembangkit listrik. Lalu optimalkan keberadaan infrastruktur yang sudah ada, serta buat kebijakan yang tepat dan cerdas. Kalau hal-hal tersebut berhasil dilakukan, maka diharapkan penerimaan pajak dan devisapun akan terus bertambah, walaupun negara kita belum memiliki infrastruktur megah seperti di negara-negara maju itu.
Nanti kalau penerimaan negara sudah meningkat, dan pemerintah telah melakukan penghematan terhadap belanja yang tidak produktif, maka selanjutnya tambahan dana yang terkumpul itu harus dimaksimalkan untuk pembangunan infrastruktur. Tentunya, pilihan infrastruktur yang akan dibangun tersebut harus berdasarkan prioritas kepentingan nasional, yaitu harus dimulai dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bukan sekedar bagi-bagi proyek pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan keterpaduan dan kepentingannya secara nasional.
Dengan cara ini, pemerintah diharapkan tidak lagi terbebani oleh utang baru, dan tidak lagi terbebani oleh jumlah utang yang terus membengkak. Juga, para pengusaha merasa mendapat dukungan dari pemerintah walaupun dengan infrastruktur yang masih terbatas, dan seluruh rakyat bisa merasakan kesejahteraan walaupun tidak ada yang ditambah gajinya. Baru, kalau perbaikan kehidupan ini sudah dirasakan oleh banyak pihak, maka pemerintah boleh melakukan defisit anggaran lagi sesuai dengan kemampuan membayar besarnya cicilan utang tersebut.
Apakah ini tidak akan membuat perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Dengan konsep pembangunan sebagaimana telah dijelaskan tersebut, mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan. Saya katakan mungkin, karena hal ini memang butuh gerakan bersama antar berbagai komponen bangsa. Kalau responnya lambat, maka perjalanannya juga akan lambat. Tetapi kalau responya cepat, maka prosesnya juga akan lebih cepat.
Daripada pertumbuhan ekonomi terlihat lebih tinggi, tetapi yang menikmati hasilnya justru bangsa lain. Kita bayar banyak utang, yang untung bangsa lain. Padahal mereka, dananya juga sama-sama berasal dari utang. Kita jual barang komoditas, berarti mengeksploitasi SDA, dan yang untung juga bangsa lain. Sementara rakyat Indonesia terkena getahnya, karena harus merasakan berkali-kali terjadinya bencana alam akibat dari kerusakan lingkungan tersebut. Kita obral investasi portofolio kepada asing, yang lebih untung juga bangsa lain. Mereka bisa keluar masuk seenaknya sehingga bisa membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar menjadi tidak stabil. Dimana ketidak-stabilan ini akan mengganggu perkembangan perekonomian negara kita dan membuat rakyat Indonesia akan sering menghadapi kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup. Lalu, buat apa pertumbuhan ekonomi terlihat lebih tinggi, kalau ternyata pertumbuhannya lebih banyak menyejahterakan bangsa lain, kalau pertumbuhannya menjadi sumber bencana bagi rakyat Indonesia, kalau pertumbuhannya hanya semu dan sewaktu-waktu bisa terperosok lagi ?
Karena itu, kalau Pak Jokowi benar-benar menghendaki bangsa Indonesia ini bisa sejahtera, seharusnya perbaikan itu diawali dari melakukan perubahan gaya hidup semua pejabat dan jajarannya, serta gaya hidup seluruh rakyat Indonesia. Baru kemudian melakukan pembangunan infrastruktur secara bertahap berdasarkan prioritasnya. Sehingga, nantinya antara kesejahteraan rakyat dan pembangunan infrastruktur itu bisa seiring sejalan. Bukan pembangunan infrastruktur yang menyenangkan mereka yang berkantong tebal, tetapi menyusahkan rakyat kecil.
Demikianlah, seharusnya bola salju pembangunan ini kita gerakkan secara perlahan-lahan tetapi pasti. Langkah awalnya, semua pihak memang harus berhemat dengan rupiah dan devisa yang dimilikinya, agar nilai tukar rupiah bisa semakin menguat. Bukan penguatan rupiah yang terjadi karena besarnya arus modal asing yang masuk sebagaimana yang diberitakan akhir-akhir ini. Juga pemerintah harus terus melakukan efisiensi di berbagai bidang, agar ruang fiskal dan cadangan devisanya semakin besar. Kalau semua ini berhasil dilaksanakan, maka nantinya pemerintah akan bisa membayar utangnya dengan cadangan devisa yang dimiliki, tanpa harus mencari-cari utangan baru lagi. Pemerintah juga bisa menambah alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur yang vital, dan bisa menambah anggaran untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Atau, kita akan tetap memilih untuk menjadi mesin ATM bangsa lain ?
Salam sejahtera untuk kita semua !
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk
https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_foreign-exchange_reserves
http://www.tradingeconomics.com/
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/02/14/njqux0-ini-postur-apbn-perubahan-2015
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/balance-of-trade-with-trade-partner-country?negara=411
http://www.rri.co.id/post/berita/159945/ekonomi/fitra_apbn_p_2015_pemerintah_jokowi_jk_untungkan_investor_asing.html
http://news.liputan6.com/read/2215484/kpu-resmikan-pelaksanaan-pilkada-serentak-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H