Andaikan kebijakan-kebijakan yang tidak tepat dan “perilaku buruk” rakyat itu bisa dicegah, tentu anggaran negara yang bisa dimaksimalkan untuk pembangunan infrastruktur akan jauh lebih besar !
Pada sisi lain, pemerintah sendiri “menerapkan biaya tinggi” terhadap berbagai hal yang menunjang kegiatan perekonomian negara kita. Produk-produk yang dikelola BUMN dan sangat dibutuhkan oleh dunia industri, yaitu: BBM, listrik, tarip tol harganya mahal. Belum lagi, tarikan berbagai macam pajak dan pungutan-pungutan liar dalam setiap proses pengiriman logistik dan perizinan, serta biaya periklanan yang mahal. Akibatnya, ongkos produksi dunia industri kita menjadi sangat tinggi sehingga daya saingnya menjadi sangat rendah, dan peluang untuk mendapatkan devisa negara menjadi semakin berkurang. Karena sangat tingginya, sampai-sampai di negara sendiripun, produk industri kita kalah bersaing dengan produk-produk asing. Maka tidak mengherankan, kalau kemudian tersedianya lapangan kerja, adanya penerimaan pajak, dan devisanyapun mengalir ke negara lain.
Jadi sebenarnya yang membuat pemerintahan ini terjebak dalam permasalahan bayar utang dengan gali utang baru, bukanlah karena anggaran kita jumlahnya sedikit kemudian tidak bisa bayar utang, tetapi kebijakan pemerintah yang tidak tepat dan perilaku rakyat yang boros itulah yang menguras keuangan negara dan menghalangi masuknya penerimaan negara yang lebih besar.
Cara memperbaiki Indonesia
Solusi dari permasalahan bangsa ini sebenarnya “cukup sederhana”. Tidak membutuhkan anggaran yang besar sampai ratusan trilyun untuk mulai mengatasinya, yaitu: harus ada keterbukaan dan kebersamaan antara pemerintah, pengusaha, media massa, serta rakyat. Namun untuk bisa mewujudkan hal ini ada syaratnya, yaitu: pemerintah jangan suka bohong dan menyakiti hati rakyat.
Kalau hal tersebut bisa dilakukan, maka efek psikologisnya, para pemegang dolar ini akan berbondong-bondong untuk melepaskan dolarnya, karena khawatir rupiah akan berbalik menguat. Kemudian kondisi ini akan mendorong perbaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar secara bertahap, sehingga barang-barang impor, termasuk bahan baku industri dan barang modal nantinya bisa menurun harganya.
Selanjutnya, kalau hal ini juga didukung oleh harga migas dan listrik yang lebih murah, pajak yang bersaing, birokrasi yang efektif, maka tentunya akan bisa menurunkan harga produk-produk industri, dan meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia, serta akan meningkatkan daya saing industri Indonesia secara global.
Jadi tak harus muluk-muluk membangun infrastruktur di sana-sini dulu, karena justru akan membuat pemerintah dalam posisi yang semakin sulit, sebab impor kebutuhan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran bisa memicu pelemahan nilai tukar rupiah lagi. Bangun saja infrastruktur yang paling penting untuk rakyat, yaitu: kilang minyak/pipanisasi gas dan pembangkit listrik. Lalu optimalkan keberadaan infrastruktur yang sudah ada, serta buat kebijakan yang tepat dan cerdas. Kalau hal-hal tersebut berhasil dilakukan, maka diharapkan penerimaan pajak dan devisapun akan terus bertambah, walaupun negara kita belum memiliki infrastruktur megah seperti di negara-negara maju itu.
Nanti kalau penerimaan negara sudah meningkat, dan pemerintah telah melakukan penghematan terhadap belanja yang tidak produktif, maka selanjutnya tambahan dana yang terkumpul itu harus dimaksimalkan untuk pembangunan infrastruktur. Tentunya, pilihan infrastruktur yang akan dibangun tersebut harus berdasarkan prioritas kepentingan nasional, yaitu harus dimulai dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bukan sekedar bagi-bagi proyek pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan keterpaduan dan kepentingannya secara nasional.
Dengan cara ini, pemerintah diharapkan tidak lagi terbebani oleh utang baru, dan tidak lagi terbebani oleh jumlah utang yang terus membengkak. Juga, para pengusaha merasa mendapat dukungan dari pemerintah walaupun dengan infrastruktur yang masih terbatas, dan seluruh rakyat bisa merasakan kesejahteraan walaupun tidak ada yang ditambah gajinya. Baru, kalau perbaikan kehidupan ini sudah dirasakan oleh banyak pihak, maka pemerintah boleh melakukan defisit anggaran lagi sesuai dengan kemampuan membayar besarnya cicilan utang tersebut.
Apakah ini tidak akan membuat perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia?