Jadi yang membuat rupiah terus melemah, yaitu adanya kegiatan yang dibiayai dengan hutang luar negeri, termasuk pembangunan infrastruktur. Penjualan SUN untuk intervensi BI, jumlah mobil yang membengkak karena adanya pembelian secara kredit, simpanan dolar para pejabat, naiknya harga BBM yang berpengaruh pada menurunnya daya saing industri sehingga industri kita kalah walaupun hanya di pasar sendiri, investasi asing portofolio yang berlebihan, dll. Karena itu kalau Pak Jokowi benar-benar mau memperbaiki nilai tukar rupiah, paradigma berpikirnya harus diubah terlebih dahulu. Bukan hanya marah-marah kepada para menteri karena adanya kasus bongkar muat di pelabuhan yang prosesnya begitu lama. Perubahan paradigma berpikir tersebut, sbb.:
1. Memperbaiki ekonomi Indonesia harus diawali dari meningkatkan nilai tukar rupiah, bukan hanya menjaga kestabilan nilai tukarnya saja. Karena itu fokus kerja pemeritah saat ini adalah meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar USA agar nantinya akan terjadi efek mulitplier penurunan harga, meningkatkan daya beli rakyat, memperluas lapangan kerja bagi rakyat, meningkatkan penerimaan negara, dll. Jadi jangan mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa melakukan peningkatan nilai tukar rupiah kalau tidak membangun infrastruktur baru, sebab itu hanya menunjukkan kualitas pejabat yang malas berpikir, padahal yang cara lain yang bisa dilakukan masih banyak dan ini harus dipelopori dari para pejabat yang mengeluarkan simpanan dolarnya.
2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak lagi dilakukan dengan meningkatkan gaji pekerja negara tetapi dilakukan dengan cara menurunkan harga sehingga beban negara tidak bertambah dan semua rakyat akan merasakan peningkatan kesejahteraan tersebut.
3. Membangun infrastruktur tidak lagi dilakukan dengan hutang luar negeri, tetapi dengan menggalakkan potensi dalam negeri agar ke depannya tidak membuat rupiah semakin melemah. Kalau belum mampu membangun yang “megah”, perbaiki saja yang sudah ada. Pasti ini sudah bisa sedikit memperbaiki perekonomian kita.
4. Kalau rakyat belum mampu membeli mobil karena memang belum sejahtera, jangan didorong dengan hutang karena dampaknya negara harus menambah BBM impor dan membuat kemacetan. Hal ini juga akan menyusahkan dunia industri lainnya, karena meningkatnya impor BBM berarti akan menambah pelemahan nilai tukar rupiah. Kalau pemerintah ingin melindungi industri otomotif, berarti daya saing industrinya yang harus mampu menembus pasar ekspor. Bila perlu pemerintah tidak memungut pajak dari usaha ini, yang penting tidak terjadi PHK terhadap pekerjanya dan negara dapat devisanya.
5. Kalau terjadi kelesuan kredit perbankan karena mahalnya DP kredit mobil/kendaraan bermotor maka kreditnya harus dialihkan ke kredit usaha lainnya bukan justru mengurangi DP kredit kendaraan bermotor agar rakyat ramai-ramai kredit mobil lagi. Bukankah para UMKM lebih membutuhkan kredit ini ? Atau bisa juga dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur ?
6. Rakyat jangan “dibodohi “ dengan istilah alih subsidi untuk pembangunan infrastruktur, tetapi sebenarnya yang terjadi adalah alih hutang untuk pembangunan infrastruktur. Karena subsidi BBM yang 300 T trilyun itu terjadi ketika minyak harganya USD 105 per barel. Sedang sekarang hanya sekitar USD 60-an per barel. Perubahan pemahaman ini akan membuat rakyat lebih paham akan posisi negaranya dan tidak salah dalam mendukung sebuah kebijakan.
Kesimpulan
Pemerintah tidak boleh sekedar menenangkan masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang baik-baik saja, sebab rakyat sekarang sudah banyak yang pintar dan tidak bisa “dibodohi” lagi. Mereka bisa mencari dan membaca data sendiri. Kalau rupiahnya dibiarkan melemah terus, maka seluruh sendi kehidupan bangsa ini akan terancam, yaitu: rakyat susah karena semua harga barang dan jasa mahal, industri melambat bahkan macet sehingga bisa terjadi PHK, perbankkan susah karena penyaluran kredit berkurang dan bisa bermasalah, hutang negara bertambah banyak, cadangan devisa negara terkuras oleh kebutuhan intervensi oleh BI, sementara penerimaan negara dari pajak berkurang dan belanja negara membengkak. Para eksportir yang selama ini dikatakan akan mendapat keuntungan besar itu pun realitanya tidak semuanya untung, karena bahan baku industrinya ternyata banyak yang berasal dari impor. Karena itu yang pasti untung hanyalah pihak asing, yang nantinya akan “dikejar-kejar” pemerintah agar mau memberi hutang lagi demi menutupi kesulitan yang terjadi.
Sebagai anak bangsa yang yang peduli pada nasib negeri ini, rasanya tak rela melihat semua ini terjadi. Karena saat inilah momentum perubahan itu seharusnya sudah terjadi. Namun karena kebijakan-kebijakan fundamental yang dipilih presiden tidak tepat, akibatnya membuat harapan indah itu menjadi berantakan kembali. Hal ini sebenarnya juga bukanlah kesalahan para menteri, tetapi salahnya tim pemikir kepresidenan yang tidak bisa memberi masukan yang tepat. Sehingga kalau tergesa-gesa dilakukan perombakan kabinet maka dikhawatirkan tidak akan menyelesaikan persoalan, justru akan membuat presiden semakin “terpojok”.