Dalam kunjungan kerjanya ke Subang, Jokowi di tengah perjalanannya menuju sodetan Tarum Timur, Desa Kiara Sari, Compreng, sempat meminta pengawalnya untuk membagi-bagikan amplop putih berisi uang. Jokowi membagi-bagikan amplop kepada para pak tani dan bu tani yang sedang berada di sawah mereka. Iring-iringan rombongan presiden sempat berhenti beberapa kali untuk memberikan amplop kepada warga setempat. Hal serupa beliau lakukan pula saat berkunjung ke lokasi lainnya, yakni lokasi pembangunan Jalan Tol Cikampek Palimanan di Kampung Cilameri, Desa Cisaga, Cibogo, Subang.
Tentu tidak ada yang salah dengan "kedermawanan" seorang Presiden, khususnya jika dana tersebut berasal dari kantong pribadi. Namun jika sumber dana tersebut dari kas negara, tentu akan muncul beberapa permasalahan.
Pertama, Kementerian Dalam Negeri sedang getol-getolnya melakukan pengawasan terhadap dana bantuan sosial (bansos) dalam APBD daerah. Karena dana tersebut diduga sering dijadikan Kepala Daerah sebagai amunisi untuk merawat konstituen agar terpilih kembali pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) berikutnya.
Kebiasaan Presiden tersebut kurang lebih serupa dengan tabiat kepala daerah “nakal” tersebut. Beliau bisa pula dituding tengah menebar investasi agar bisa terpilih kembali pada pilpres berikutnya. Walhasil akan kontradiktif dengan semangat Kemendagri dalam menertibkan penggunaan uang Negara di daerah, karena pucuk pimpinan negara memberi contoh sebaliknya.
Kedua, bisa timbul kecemburuan sosial karena pembagian uang dan sembako oleh Presiden tidak merata ke seluruh rakyat yang membutuhkan. Bahkan sangat mungkin salah sasaran, berhubung pelaksanaannya dilakukan secara spontan tanpa pendataan yang cermat.
Ketiga, terjadi dobel anggaran. Di sisi lain pemerintah sudah menerbitkan empat kartu perlindungan sosial untuk rakyat miskin yaitu Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera. Semestinya semua bantuan cukup disalurkan melalui sistim tersebut sehingga relatif lebih tepat sasaran.
Keempat, seorang Presiden tidak selayaknya memberlakukan rakyatnya ibarat peminta-minta. Mentalitas rakyat harus dibangun untuk mau bekerja keras mendapatkan kebutuhannya, kecuali mereka yang memang ada uzur. Untuk itu, pemerintah sebaiknya lebih fokus memberikan lapangan kerja. Memberi kail, bukan ikannya, semestinya menjadi bagian dari revolusi mental.
Kelima, sebagaimana diungkap Djayadi (SMRC), pemerintahan Jokowi harus sadar bahwa masyarakat cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahannya. Di bidang ekonomi, sekitar 31,5 persen warga menyatakan kondisi ekonomi sekarang lebih buruk daripada tahun lalu, sementara yang menyatakan lebih baik hanya 24 persen. Untuk bidang politik, Djayadi menyebutkan, hasil survei menunjukkan 37,5 persen warga menganggap kondisi politik Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 21,6 persen. Sedangkan dalam hal hukum lebih buruk lagi, 38 persen warga menyatakan kondisi hukum Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 32 persen. Maka, tidak ada pilihan lain bagi Jokowi kecuali segera menggenjot kinerja pemerintahannya, terutama di bidang ekonomi. Mengingat beberapa indikator ekonomi sudah mengkhawatirkan, menurut pengamat politik Muhammad Huda, Jokowi harus mengubah gaya kepemimpinannya dan merombak tim ekonomi untuk mengantisipasi krisis yang bisa melanda Indonesia.
“Model blusukan bagi-bagi Kartu Sakti itu tidak perlu lagi. Jokowi harus fokus menangani krisis,” papar Huda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H