Mohon tunggu...
Rizal Amri
Rizal Amri Mohon Tunggu... -

Pengamat barang kerajinan dan rajin mengamati peristiwa politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polri "Mencincang", Jokowi "Memikul"

13 Juli 2015   13:35 Diperbarui: 13 Juli 2015   13:35 2595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menetapkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki dan komisioner KY, Taufiqurrahman Sahuri sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik Sarpin Rizaldi. Sarpin melaporkan keduanya ke Bareskrim lantaran mengomentari putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, yang mengabulkan gugatan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

Sebelumnya, Sarpin memutuskan bahwa penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan tidak sesuai dengan peraturan dan sejumlah hal, seperti Budi Gunawan bukan pejabat negara atau aparatur negara dan KPK tidak bisa membuktikan unsur kerugian negara. Putusan Sarpin itu lalu dikomentari Marzuki dan Taufiq, mereka menilai putusan itu merusak tatanan hukum karena melenceng dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan melanggar etika hukum. Pernyataan Marzuki dan Taufiq didukung oleh hasil sidang pleno KY yang dihadiri tujuh komisioner. KY memutus Hakim Sarpin Rizaldi terbukti bertindak di luar batas etik dan pedoman perilaku hakim saat memimpin sidang praperadilan yang dimohonkan Budi Gunawan. Sarpin akhirnya direkomendasikan untuk diganjar dengan hukuman enam bulan non-palu. Salah satu alasan yang mendasari keputusan KY, Sarpin dianggap tidak teliti saat mengutip keterangan ahli sebagai pertimbangan mengambil keputusan. "Yang disampaikan ahli bertentangan dengan apa yang dimuat Sarpin dalam putusannya," ujar komisioner KY Imam Anshori Saleh.

Sebagai tindaklanjut penetapan tersangka terhadap Taufiq dan Marzuki, Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso memastikan keduanya akan segera diperiksa. "Akan diperiksa sebagai tersangka kasus penghinaan dan pencemaran nama baik," kata Budi Waseso.

Menanggapi statusnya itu, Taufiq mengaku heran dan membantah tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik. Menurut dia, apa yang ia sampaikan hanya terkait putusan dalam kapasitasnya sebagai anggota KY, bukan pernyataan secara pribadi.
"Apa yang saya sampaikan ke media waktu itu dalam kapasitas sebagai anggota KY, bukan sebagai pribadi," ucap Taufiq.

Taufiq mempertanyakan legal standing Sarpin terhadap hakim KY yang menilai hasil putusannya saat memimpin praperadilan.
"Tidak ada dasar hukumnya. Kalau seperti itu, semua hakim KY yang menyidang bisa kena," kata Taufiq.

Penetapan tersangka terhadap anggota KY tersebut memperoleh tanggapan miring dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Pasalnya, keputusan Mabes Polri menetapkan kedua anggota KY sebagai tersangka, dianggap berlebihan dan sebuah bentuk kriminalisasi.
“Kita sangat menyesalkan tindakan kepolisian yang dengan mudahnya menetapkan dua Komisioner KY menjadi tersangka atas laporan Hakim Sarpin,” ujar Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Victor Santoso Tandiasa.

Menurut dia, sebuah putusan pengadilan bukanlah milik hakim karena ketika hakim memutus perkara dalam persidangan, putusan tersebut sudah menjadi konsumsi publik. Sehingga, putusan tersebut dapat dikomentari, dieksaminasi, atau dijadikan bahan penelitian karya tulis, dan kepentingan lainnya.
“Apa yang dilakukan dua komisioner KY hal yang lazim/normal ketika Komisioner KY memberikan tanggapan sebagai informan kepada media massa yang menanyakan putusan Hakim Sarpin yang dianggap sebagian kalangan sebagai putusan kontroversi. Konstitusi, Pasal 28F UUD 1945 menjamin hal ini,” kata Victor.

Selain itu, menurut Victor Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 telah menjamin kebebasan berpendapat bagi semua warga negara tanpa terkecuali.
“Kita bisa melihat di media sosial ada berapa juta komentar baik yang mendukung hakim Sarpin maupun mengkritik, bahkan yang mencaci-maki juga banyak.”

Dia menilai kejadian ini berbahaya dan sudah melanggar cita-cita negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Jika mengomentari putusan pengadilan sama dengan menghina/mencemarkan nama baik hakim yang memutus, ini sangat berbahaya dan mengancam nilai demokrasi di Indonesia,” imbuhnya.

Secara terpisah, Direktur YLBHI Bahrain menilai kasus ini lebih pada persoalan politik balas budi. Sebab, Hakim Sarpin pernah mengabulkan permohonan praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan yang kini menjadi menjabat Wakil Kepala Polri. “Ini seperti balas budi, jadi siapa yang ‘menghantam’ Sarpin akan ‘dihantam’ duluan sama Bareskrim. Kalaupun Polri bantah, tetap tidak bisa karena ini sudah satu rangkaian praktik kriminalisasi sebagaimana ketika perseteruan KPK dan Polri,” kata dia.

Bahrain juga sependapat, berbahaya tindakan Polri yang menetapkan tersangka dua Komisioner KY. Hal itu akan menghambat proses demokrasi yang tengah berjalan saat ini. “Ini sepertinya proses hukum tergantung selera kekuasaan, ini berbahaya,” ujar Bahrain.

Hal senada disampaikan Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar yang menilai penetapan tersangka yang dilakukan pasca keputusan kode etik KY terhadap hakim Sarpin, sebagai bentuk kriminalisasi dan balas budi. “Sulit untuk tidak mengatakan kriminalisasi dua Komisioner KY ini bentuk balas budi Kepolisian terhadap Sarpin,” kata Erwin.

Dugaan kriminalisasi terhadap anggota KY ini menguatkan ingatan publik dan akan dikaitkan dengan kejadian yang menimpa lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, Polri telah menetapkan dua pimpinan KPK yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana. Banyak kalangan menilai, penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK tersebut sebagai tindakan kriminalisasi. Pasalnya, mereka dijerat untuk kasus yang boleh dibilang "ecek-ecek" dan kejadiannya sudah cukup lama, bahkan hampir kadaluasrsa.

Gara-gara dugaan "kriminalisasi" KPK dan cara Presiden Jokowi menangani kisruh KPK-Polri itu, publik memberi persepsi negatif pada kinerja pemerintah. Berdasarkan hasil survei oleh SMRC, sebanyak 38 persen bekas pemilih Jokowi di Pilpres, menyatakan kondisi hukum Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 32 persen. Masalah hukum ternyata paling menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Padahal di bidang ekonomi kinerja pemerintah juga kurang memuaskan, sekitar 31,5 persen warga menyatakan kondisi ekonomi sekarang lebih buruk daripada tahun lalu, sementara yang menyatakan lebih baik hanya 24 persen. Untuk bidang politik ternyata juga bernasib sama, hasil survei menunjukkan 37,5 persen warga menganggap kondisi politik Indonesia buruk, sementara yang menyatakan baik hanya 21,6 persen.

Sementara itu untuk periode yang sama, jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY, citra Jokowi saat ini jauh tertinggal. Bila saat ini hanya 40,7 persen warga yang menyatakan puas dengan kinerja Jokowi, dalam periode yang sama, lima tahun lalu, terdapat 70 persen warga menyatakan puas dengan kinerja SBY. Hal itu diungkap Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan saat diskusi Evaluasi Publik Nasional Satu Tahun Pemerintahan Jokowi di kantor SMRC, Jakarta, pada Kamis (9/7/2015).

Adapun menurut hasil survei LSI pada Februari yang lalu, publik yang puas atas kinerja Presiden Jokowi masih sekitar 61,6 persen. Jika dibandingkan dengan data hasil survey SMRC, maka dalam kurun waktu 5 bulan kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi menurun cukup drastis.
Sementara itu, hasil survey LSI bulan Februari mencatat kepuasan publik terhadap kinerja awal periode pemerintahan SBY, konsisten di angka 70 persen.

Djayadi menjelaskan, pemerintahan Jokowi harus sadar bahwa masyarakat cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahannya, terutama di di bidang hukum, ekonomi dan politik. Adanya anggapan publik bahwa KY mengalami kriminalisasi sebagaimana KPK, tentu semakin menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi. Walhasil rakyat akan semakin pesimis dan apatis terhadap berbagai agenda penegakkan hukum yang dulu pernah disorakkan di era kampanye Jokowi-JK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun