Pertemuan Jokowi dengan SBY di Bali berlangsung lancar seperti yang direncanakan. Inilah perjumpaan pertama kedua pemimpin tersebut pasca keputusan MK menyangkut sengketa Pilpres. Selain alasan normatif, yakni demi kemashlahatan bangsa ke depan, kedua pemimpin, baik Jokowi maupun SBY bisa jadi memaknai dan memiliki kepentingan lain yang berbeda mengenai pertemuan tersebut.
Bagaimana SBY memandang pertemuan tersebut, bisa dilihat dari posisi politiknya terhadap Jokowi. Demikian pula kepentingan beliau, tentu tidak terlepas dari pra kondisi yang mengiringi pertemuan tersebut. Kedua hal tersebut antara lain:
1. Hubungan kurang harmonis Mega dan SBY selama 10 tahun terakhir
2. PDI-P yang beroposisi cukup keras selama 10 tahun terhadap pemerintahan SBY
3. Jokowi bukanlah presiden penerus pilihan SBY
4. Jusuf Kalla yang hingga kini masih terus menyerang kebijakan pemerintahan SBY
5. Jokowi dan para pendukungnya yang akhir-akhir ini cukup intensif "meneror" SBY untuk menaikkan BBM
6. Pernyataan-pernyataan negatif dari kubu Jokowi yang membuat berang SBY, yang teranyar tudingan bahwa SBY merecoki pemerintahan Jokowi
Pilihan tempat pertemuan di Bali dan di sela-sela agenda SBY yang lain, mengisyaratkan suasana bathin SBY.
Skenario Jokowi "mengejar" SBY ke Bali, memberi pesan bahwa bukan SBY yang butuh tapi Jokowi. Jokowi hanya dijatah waktu yang cukup singkat, satu-dua jam saja, dan bukan pada "prime time", untuk mengukuhkan posisi SBY sebagai orang yang dibutuhkan, bukan sebaliknya. Pertemuan tersebut sekalipun tertutup akan tetapi sengaja dibiarkan untuk diekspos media secara luas, menimbulkan kesan kuat bahwa yang lebih utama adalah momen pertemuannya, bukan substansi pembicaraannya.
Sekalipun SBY menyampaikan bahwa dia akan lebih banyak mendengar apa yang akan disampaikan Jokowi, tak bisa dipungkiri jika SBY sebenarnya lebih mendominasi pertemuan. Jokowi boleh dikata hanya mengkuti "gendang" yang ingin dimainkan SBY, sejak dari "setting" acara pertemuan hingga konferensi pers usai pertemuan. Tidak ada hal penting dan khusus yang disampaikan Jokowi pada konferensi pers, kecuali mengulangi apa yang sudah disampaikan SBY, dengan bahasa yang sedikit berbeda. Itupun SBY yang "menjatah" waktu untuk Jokowi berbicara, bukan protokoler kepresidenan.
Secara keseluruhan SBY sukses mendulang manfaat maksimum dari pertemuan tersebut.
1. Pujian yang luas atas sikap kenegarawanan SBY
2. Menepis tudingan yang menyebut SBY ingin merecoki pemerintahan Jokowi. Untuk itu SBY menyatakan akan lebih banyak mendengar apa yang disampaikan Jokowi. Hal itu diperkuat dengan kesan, Jokowi yang butuh bertemu, bukan SBY.
3. SBY pemimpin bijak yang berbeda dengan presiden sebelumnya, wabil khusus Megawati. Pernyataan SBY bahwa dia punya kewajiban moral membantu presiden berikutnya, lalu diikuti dengan pertemuan di Bali, tentu boleh diklaim sebagai sebuah tradisi baru yang baik, sebagaimana beberapa kali beliau ungkapkan dan diamini Jokowi. Dalam hal ini SBY tentu berhak untuk dicatat dalam tinta emas sejarah.
Sementara itu Jokowi memilki hajat yang lebih besar, pertemuan dengan SBY akan menentukan roda pemerintahannya ke depan. Kunci sukses 100 hari Jokowi boleh dibilang ada di tangan SBY. Sederhananya, hanya ada dua hal penting saja yang dibutuhkan dan ingin disampaikan Jokowi pada SBY. Pertama, Partai Demokrat mau berkoalisi ke dalam pemerintahannya. Mengingat saat ini partai koalisi pendukung Jokowi hanya memiliki 36,9% suara di DPR, hal ini tentu akan menyulitkan pemerintahannya. Kedua, agar SBY mau membantunya berbagi beban politik untuk menaikkan BBM sekarang ini, sebelum beliau dilantik.
Sayangnya kedua hal pokok yang ingin disampaikan Jokowi tersebut tidak dalam momen yang tepat, mengingat pra kondisi yang kurang mendukung seperti yang disebutkan di atas. Berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi yang didominasi PDIP belum tentu akan membuat PD "happy", secara chemistry selama ini mereka jelas tidak "klop".
Bukan tipikal SBY membuat spekulasi, berkoalisi dengan PDIP yang belum tentu baik bagi partainya, namun dibarter dengan kebijakan tidak populis yang akan menghancurkan reputasi SBY di akhir masa baktinya. Lagi pula tidak lazim presiden yang mau lengser membuat kebijakan yang sangat strategis seperti menaikkan harga BBM. Jika Jokowi gagal mengelola dampak politiknya, tetap saja akan dianggap "dosa" SBY, bahkan Partai Demokrat.
Sementara itu kelangkaan BBM akhir-akhir, mungkin dipandang SBY bukan semata-mata kesalahannya, pembatasan jumlah BBM subsidi adalah kesepakatan dengan DPR, dan PDIP ada di dalamnya. Kemudian hambatan kebijakan menaikkan harga BBM selama ini justru datang dari DPR, terutama PDIP.
Berada di dalam pemerintahan bersama Jokowi tidak serta merta akan membesarkan partai Demokrat, sementara itu jika di luar pemerintahan, PD bisa jadi lebih leluasa meraih simpati rakyat sebagaimana sikap politik yang sebelumnya diambil PDIP.
Jokowi bertemu SBY tidak dalam posisi tawar yang seimbang. Sementara itu SBY yang dalam posisi "nothing to loose", tentu tidak akan mengambil inisiatif dan akan memberikan jawaban normatif terhadap setiap permintaan "sulit" yang diajukan Jokowi.
Pertemuan berikutnya yang dijanjikan SBY antara tim transisi dengan kementrian terkait dalam rangka membahas hal teknis dan program pemerintahan sekarang, boleh dikata sebuah basa-basi . Bukankah di kementerian yang berganti hanya menteri, sementara jajaran di bawahnya masih sama. Artinya dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, tanpa bantuan SBY sekalipun, Jokowi bisa mengetahui dan mengevaluasi seluruh program melalui para menteri baru yang beliau pilih.
Apa boleh buat pertemuan di Bali hanyalah seremoni dan sebuah hiburan bagi bangsa ini, bahwa komunikasi dan estafet kepemimpinan kali ini berjalan lebih baik dibanding sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H