Mohon tunggu...
Catur Alfath Satriya
Catur Alfath Satriya Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Memberikan keadilan untuk yang membutuhkan

Barangsiapa yang tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka harus siap menerima perihnya kebodohan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahkamah Konstitusi Harus Responsif

3 Oktober 2016   15:05 Diperbarui: 3 Oktober 2016   15:12 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan konstitusionalitas mengenai Pasal 284, 285, dan 292 KUHP tentang Perzinahan, Perkosaan, dan Pencabulan di persidangan Mahkamah Konstitusi semakin menarik banyak pihak. Banyak pihak yang merasa berkepentingan dalam isu ini. Secara garis besar, dapat dibagi menjadi dua pihak yaitu pihak yang sepakat bahwa Pasal 284, 285, dan 292 KUHP harus diberikan penafsiran baru oleh Mahkamah Konstitusi namun terdapat juga pihak yang merasa Pasal 284, 285, dan 292 tidak harus diberikan penafsiran baru oleh Mahkamah Konstitusi karena pasal tersebut masih relevan.

Beberapa pihak sudah memberikan keterangan sebagai pihak terkait seperti Komnas Perempuan, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), dan juga DPR sebagai pembuat undang-undang. Argumentasi pihak pemohon yang mengajukan Judicial Review merasa bahwa ketiga pasal tersebut sudah tidak relevan lagi dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di Indonesia.

Seperti halnya Pasal 284 KUHP yang baru bisa dikenakan apabila salah satu pasangan yang melakukan hubungan suami - istri telah menikah, namun apabila hubungan suami-istri tersebut dilakukan oleh pasangan yang belum menikah maka tidak dikenakan pasal perzinahan. Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat di Indonesia –yang mayoritas muslim- yang mendefinisikan perzinahan sebagai aktivitas hubungan suami-istri tanpa didasari oleh pernikahan. 

Pasal 285 KUHP juga dianggap bias gender karena pemerkosaan hanya dapat terjadi apabila wanita yang dipaksa untuk bersetubuh, padahal tidak menutup kemungkinan seorang pria yang dipaksa untuk bersetubuh dengan seorang wanita. Pasal 292 KUHP juga dianggap sebagai pintu masuk maraknya aktivitas homoseksual yang selama ini membuat kita khawatir terhadap pergaulan generasi muda saat ini. Pemohon merasa perlu diberikannya tafsir baru terhadap ketiga pasal ini yang lebih kontekstual dengan kondisi dan paradigma masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. 

Hal ini berbeda dengan argumentasi pihak kontra yang menganggap bahwa Judicial Review ketiga pasal ini dapat berakibat negara terlalu jauh dalam mengurusi urusan privat warga negaranya. Selain itu, tidak menutup kemungkinan terjadinya overkriminalisasi terhadap pelaku perzinahan dan homoseksual yang seyogyanya dapat diatasi dengan pendekatan non-penal. Walaupun, dalam hal ini perbedaan pandangan antara pihak kontra dan pro lebih tertuju pada Pasal 284 KUHP dan 292 KUHP yaitu tentang perzinahan dan pencabulan.

Perdebatan konstitusionalitas ini sebenarnya menimbulkan pertanyaan bagaimana seharusnya sikap Mahkamah Konstitusi?. Sebagai Guardian of Constitution Mahkamah Konstitusi harus bersikap responsif terhadap permasalahan ini. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nonet-Selznick bahwa secara garis besar hukum terbagi menjadi 3 yaitu hukum yang represif, otonom, dan responsif. Hukum yang represif yaitu hukum yang digunakan semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa. 

Hukum ini menafikan aspirasi publik, dibuat secara satu arah, dan bersifat sewenang-wenang. Hukum ini bersifat otoritarian dan tidak demokratis. Kedua, hukum yang otonom. Hukum yang otonom yaitu hukum yang semata-mata pendekatannya hanya prosedural saja tanpa mempedulikan substansi. Hukum otonom ini sangat dipengaruhi oleh ajaran formalism hukum yang mana hukum hanya dilihat sebagai kesatuan sistem-logis tanpa mempedulikan fakta empiris yang ada.

Sifat hukum yang seperti ini tidak berpijak pada realita. Ketiga, hukum yang responsif. Hukum responsif- yang didefinisikan oleh Nonet-Selznick- memposisikan hukum sebagai respon dari ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sifat dari hukum ini terbuka dan berpijak pada fakta empiris yang ada di masyarakat. Dengan memposisikan hukum sebagai respon dari ketentuan sosial dan aspirasi publik maka hukum tidak akan lagi ketinggalan zaman dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Dalam konteks permasalahan ini, penulis merasa seharusnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Judicial Review Pasal 284, 285, dan 292 KUHP. Mayoritas penduduk di Indonesia beragama islam dan di dalam ajaran islam yang dimaksud dengan perzinahan adalah suatu hubungan suami-istri yang dilakukan tanpa didahului dengan pernikahan. 

Definisi perzinahan yang terdapat di dalam KUHP menurut penulis tidak sesuai dengan ajaran islam yang merupakan agama mayoritas penduduk di Indonesia sehingga harus mengalami penyesuaian. Selain itu, di dalam Pasal 28J ayat (2) dijelaskan bahwa dalam menjalankan hak asasi manusia, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dalam hal ini seharusnya Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan nilai-nilai agama dalam memutuskan perkara ini.

Semua agama yang ada di Indonesia tidak ada yang membenarkan homoseksualitas, perzinahan, dan pencabulan. Sehingga apabila masih terdapat hukum yang membuka ruang untuk itu seharusnya dibatalkan. Selain itu, berdasarkan pendapat Von Savigny bahwa hukum harus sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist) yang mana ketiga pasal tersebut dibentuk sesuai dengan semangat pemerintahan kolonial yang sekuler.

Sementara itu, saat ini semangat zamannya sudah berbeda dibandingkan dengan semangat zaman pada waktu itu. Indonesia sekarang sudah merdeka dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang merupakan sumber hukum. Pancasila sendiri di sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan penegasan bahwa Indonesia bukanlah negara yang sekuler yang menjadikan agama sebagai dasar dibentuknya sebuah hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun