Multa non multum, tulis Multatuli dalam Max Havelaar (1860). Artinya "banyak tapi tak banyak". Begitulah gambaran yang tepat untuk para petani gurem di wilayah Maja, Lebak. Jumlah mereka banyak tetapi pengaruh mereka dalam menentukan arah kehidupan mereka sendiri saja sangat sedikit. Apalagi pengaruh mereka untuk menentukan pembangunan wilayah yang telah menjadi rumah mereka hingga banyak generasi.
Salah satu dari warga setempat di Maja yang sekarang masih berkutat di sawah adalah Ano. Itu bukan keinginan dirinya. Ia cuma terpaksa keadaan. Karena itulah ia merasa iri dengan kaum pendatang di Maja.
"Kan enak kalau bisa cari duit modal otak aja. Nggak harus jual tanah atau harta di kampung," celetuknya. Ia berpikir alangkah enaknya kalau bisa meraup rupiah seperti para pekerja urban, yang bisa cari nafkah dengan bermodal otak dan pikiran 'saja'. Tak perlu jual tanah dan bekerja kasar seperti dia dan tetangga-tetangganya.
Sayangnya, itu hal yang hampir mustahil terwujud. Ano cuma menggenggam ijazah SD dan belum menamatkan sekolah menengahnya. Lebak memang masih memprihatinkan soal angka partisipasi pendidikannya.Â
Di tahun 2023, Angka Partisipasi Murni level SMA di Lebak berdasarkan data BPS dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hanya 44,62. Untuk menunjukkan jurang ketimpangan yang menganga lebar, kita bisa tilik data BPS lagi. Di Jakarta yang hanya berjarak 1,5 jam perjalanan kereta kommuter, Angka Partisipasi Murni level SMA sudah 60 lebih.
Seperti mayoritas warga yang sudah lama bermukim di Kecamatan Maja ini, status pekerjaan Ano adalah serabutan. Selain memijat keliling di sekitar perumahan yang digadang-gadang pemerintah bakal jadi Kota Baru ini, ia juga bersedia mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan untuk menghidupi diri dan keluarganya yang tinggal di sebuah perkampungan di sekitar perumahan seluas lebih dari 2.000 hektar ini.
Yang Termarjinalkan di Wilayah Prioritas
Ano adalah salah satu dari 131.785 pekerja bebas (casual workers) di Kabupaten Lebak menurut data yang dihimpun Biro Pusat Statistik dalam laporan bertajuk "Kabupaten Lebak Dalam Angka tahun 2024 Volume 31". Kelompok pekerja bebas ini adalah kelompok ketiga terbesar setelah kelompok buruh (employees) dan berusaha sendiri (self employment).
Meskipun pencanangan Maja sebagai wilayah pengembangan Kota Baru oleh Presiden Joko Widodo baru dituangkan dalam Lampiran I Perpres No.52/2023 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2024, pembangunan di Maja sudah terbilang agresif sejak tahun 1990-an lalu.
Di masa Presiden Suharto, Maja memang sudah pernah dilirik sebagai kota penyangga Jakarta jika penduduknya membludak. Hanya saja, Maja begitu saja dilupakan tatkala kondisi ekonomi dan politik negara sedang porak poranda akibat Krisis Multidimensi dan Reformasi di tahun 1998. Perumahan-perumahan yang mulai dirintis pun terlantar, tak laku, mirip kota hantu.
Namun, sekitar 2015 Maja mulai kembali dilirik. Karena sudah ditetapkan presiden sebagai proyek prioritas, pembangunan infrastruktur di Maja pun mendapat 'restu' lebih mudah untuk masuk dalam Rencana pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selain Maja, ada 3 kota baru lain yang juga jadi prioritas pembangunan yakni Tanjung Selor, Sofifi, dan Sorong.