Sebelum Maja berkembang sepesat sekarang, sawah dan ladang masih ada di mana-mana. Begitu pembebasan tanah dilakukan untuk pembangunan perumahan kota penyangga Jakarta, sawah pun berangsur-angsur makin langka, kata Ano.
Orang tuanya dulu juga punya sawah seluas 2200 meter persegi di lahan perumahan baru ini. Di tahun 1990-an harga lahan di Maja tadi seharga cuma sekitar Rp300 per meter persegi. Lahan orang tuanya cuma dihargai kurang lebih Rp2.200.000.
"Lalu bagaimana uang 2,2 juta itu? Apakah ditabung, dibelikan tanah lagi, atau dibelikan emas?" Saya bertanya pada Pak Ano. Jawabnya: "Uang itu sudah tak bersisa sebab sudah dibagikan ke anak-anak sebagai warisan." Dan anak-anaknya membelanjakan uang itu entah untuk apa. Pak Ano yang juga menerima saja sudah lupa.
Ia berbagi cerita soal kesibukannya di hari itu. "Tadi saya seharian capek habis membantu seorang pemilik sawah memanen padi," ungkapnya. Si pemilik sawah ini masih saudara jauh kata pria yang kulitnya legam diterpa terik matahari itu. Sistem pembagian hasil dari pekerjaan memanen padi di sawah siang tadi begini: 80 persen jadi hak si empunya sawah, sisanya 20 persen dari total hasil panen jadi milik orang yang bantu memanen. Jadi jika totalnya 10 karung, pak Ano bakal dapat 2 karung beras. Lumayan, katanya. Tentu saja lebih dari lumayan apalagi di kondisi ekonomi begini, saya mengamini.
Sebagai petani kecil serabutan, Ano kini hanya bisa membantu petani-petani pemilik sawah dalam musim panen. Salah satu petani yang ia baru bantu memanen padinya ialah saudara jauh Ano yang memiliki lahan sawah di samping perumahan baru di Maja. Namun, itu saja tak cukup. Saking sempitnya lahan sawah di Maja akhir-akhir ini, Ano juga tak segan untuk bekerja serabutan di sawah-sawah di wilayah Citeras.
'Getah' Gentrifikasi
Kini Ano tinggal di sebuah rumah di perkampungan di luar perumahan Kota Baru ini. Rumahnya dikelilingi halaman dengan beberapa pohon. Di antaranya adalah pohon-pohon rambutan yang rajin berbuah. "Kalau berbuah, apa rambutannya dibagi-bagi ke tetangga?" tanya saya. "Tidak, sayang. Mending saya jual ke pengepul aja," tukasnya. Â
Ano mengakui bahwa kini kondisi masyarakat Maja mirip orang pribumi di kota besar seperti orang Betawi di Jakarta. Lahir dan besar di wilayah itu tapi tak lagi punya rumah dan tanah serta sawah. Perlahan tersingkir karena tanah dan rumah makin mahal begitu orang kota berdatangan. Sebuah ironi adalah ditemuinya sejumlah warga asli yang dulunya masih punya kebun dan sawah kemudian menjual tanahnya pada pengembang dan kini tak bisa lagi bekerja sebagai petani kecil di Maja kemudian beralih menjadi pemulung sampah yang membawa karung dan gancu ke mana-mana.
"Sebelum dibangun perumahan dulu juga emang udah ada warga yang punya tanah dan kaya. Ada yang memang udah miskin tapi punya tanah sawah lalu dijual. Pas punya duit, dibuat beli mobil. Pas mobilnya rusak, nggak bisa dibetulin," ungkapnya.
Ruralisasi yang ingin memeratakan populasi dan kesejahteraan ekonomi ternyata punya efek yang tak sesederhana kalkulasi di atas kertas yang disusun para ekonom dan teknokrat berdasi.
"Zaman dulu pada jual-jualin (tanah -pen) ama nenek moyangnya, giliran anak cucunya, jangankan beli (tanah -pen), belajar aja nggak bisa," celetuk Ano yang membuat trenyuh.
Fenomena gentrifikasi (pengubahan karakter sebuah lingkungan, dari yang bersifat agraris menjadi industrialis) yang terjadi di depan mata kita ini di satu sisi menggembirakan karena bisa menaikkan potensi ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan warga. Namun, juga jangan sampai kita lupa dengan dampak negatifnya: tersingkirnya warga asli yang kebanyakan petani gurem.