Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Studi: Makin Sedikit Orang Kuliah Bisa Turunkan Efisiensi Ekonomi Negara

18 Mei 2024   20:27 Diperbarui: 18 Mei 2024   20:36 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

AKHIR-akhir ini muncul di media massa sebuah polemik terkait kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN). 

UKT merupakan biaya kuliah wajib yang dibayar mahasiswa setiap semester. 

Salah satu PTN yang menaikkan UKT adalah Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto untuk tahun akademik 2024/2025. 

Kenaikan tersebut mendapat protes dari calon mahasiswa baru karena dianggap tidak masuk akal, sehingga Unsoed akhirnya membatalkan kenaikan biaya UKT.

Komersialisasi Pendidikan

Menanggapi polemik ini, Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Tjitjik Tjahjandarie menyatakan bahwa kenaikan UKT di PTN adalah hal yang lumrah. 

Beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan UKT antara lain peningkatan mutu pendidikan, peningkatan biaya ekonomi, dan penerapan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Prof. Tjitjik menjelaskan bahwa proses belajar di perguruan tinggi saat ini lebih kolaboratif, melibatkan dosen praktisi, magang, ujian, dan penyelesaian proyek yang membutuhkan biaya lebih besar. 

Oleh karena itu, diperlukan gotong royong dengan masyarakat agar pelaksanaan belajar di PTN tetap berkualitas.

Meski demikian, Prof. Tjitjik menegaskan bahwa biaya UKT yang ditetapkan tidak boleh bersifat komersialisasi dan harus tetap dapat diakses oleh semua kalangan. 

PTN diwajibkan menerapkan UKT paling kecil sebesar Rp 500.000 dan membuat kelompok biaya UKT mulai dari yang terkecil hingga terbesar. 

Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang agar PTN bersifat inklusif dan dapat diakses oleh masyarakat dari berbagai latar belakang ekonomi dengan kemampuan akademik tinggi.

Namun, menurut kompas.com faktanya sekarang Berbagai kebijakan politik pendidikan tinggi di Indonesia memicu kenaikan biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN). 

Semua ini bermuara pada menyempitnya kesempatan masyarakat Indonesia untuk mengenyam bangku kuliah.

Di saat yang sama, otonomi perguruan tinggi malah menjelma menjadi jalan pintas mengkomersilkan pendidikan, bukan menjadi alat tata kelola perguruan tinggi agar menjadi lebih baik.

Persempit Akses Pendidikan Tinggi 

Sebuah penelitian yang didanai oleh National Science Foundation di AS menghasilkan sebuah temuan bahwa para pelajar yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah mengalami kesulitan mendapatkan dana guna membayar biaya pendidikan kuliah dibandingkan dengan pelajar dari latar belakang ekonomi serupa pada tahun 1980-an, menurut Alexander Monge-Naranjo, asisten profesor ekonomi di Penn State University.

"Pada tahun 1980-an, konsensusnya adalah bahwa kendala kredit tidak terlalu berpengaruh bagi mereka yang kuliah," kata Monge-Naranjo. "Tetapi berdasarkan data terbaru, kami melihat pendapatan keluarga dan kekayaan orangtua menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan siapa yang dapat mengenyam bangku kuliah."

Monge-Naranjo mengatakan ada beberapa alasan mengapa biaya kuliah menjadi semakin tidak terjangkau. Selama dua dekade terakhir, semakin banyak pekerjaan bergaji tinggi yang mensyaratkan gelar sarjana. Permintaan tinggi untuk pendidikan universitas menyebabkan universitas menaikkan biaya kuliah, menurut Monge-Naranjo.

Pada saat yang sama, dana yang tersedia melalui program pinjaman pemerintah tetap atau bahkan menurun setelah memperhitungkan inflasi. Selama tahun 1990-an, persentase mahasiswa sarjana yang meminjam dari program pinjaman pemerintah meningkat secara signifikan. Dari mahasiswa tersebut, yang meminjam hingga batas maksimum meningkat tiga kali lipat menjadi 52 persen. Banyak mahasiswa yang juga bergantung pada pinjaman dari lembaga keuangan swasta, kata Monge-Naranjo.

Pada tahun 1980-an, kendala kredit -- faktor yang membatasi akses pendanaan kuliah seperti batasan bantuan keuangan dan pendapatan keluarga -- tidak secara signifikan menghalangi siswa untuk berkuliah, setelah peneliti mengontrol faktor lain seperti nilai SAT, usia, dan ras. Bahkan siswa miskin yang sumber keuangannya terbatas untuk biaya kuliah, namun cerdas, dapat mengakses kredit untuk melanjutkan pendidikan, kata Monge-Naranjo.

Ekonomi Terhambat

Para peneliti, yang melaporkan temuan mereka dalam edisi terbaru American Economic Review, mengatakan terjadi pergeseran pada 1990-an karena lebih banyak siswa berpenghasilan rendah mulai kesulitan mengakses kredit untuk membiayai kuliah. Selama 1990-an, remaja dari keluarga berpenghasilan tinggi 16 persen lebih mungkin untuk berkuliah dibandingkan remaja dari keluarga berpenghasilan rendah.

Monge-Naranjo, yang bekerja sama dengan Lance Lochner dari Universitas Western Ontario, menggunakan data terbaru dari National Longitudinal Surveys of Youth dan Armed Forces Qualifying Test untuk meneliti hubungan antara kecerdasan, pendapatan keluarga, dan kehadiran di universitas.

Menurut Monge-Naranjo, kendala pada bantuan keuangan bisa berdampak luas bagi perekonomian. Ketika pekerja miskin namun cerdas tidak dapat menempuh gelar sarjana, pilihan karir mereka menjadi terbatas. Artinya, kemungkinan besar posisi tersebut akan diisi oleh pekerja yang kurang kompeten dan kurang produktif.

"Ini masalah efisiensi ekonomi," kata Monge-Naranjo. "Apakah kita memilih individu terbaik untuk pekerjaan tersebut, atau hanya individu yang orangtuanya kaya? Dalam jangka panjang, hal itu bisa berdampak bagi perekonomian, meskipun mungkin membutuhkan beberapa generasi untuk melihat dampaknya dan bahkan saat itu dampaknya sulit untuk dikuantifikasi."

Dengan kata lain, bila kita biarkan kenaikan UKT ini terjadi secara ugal-ugalan tanpa kontrol dari pihak yang berwenang dan para pemegang kepentingan, jangan heran jika nantinya di dunia kerja kita bakal makin sering menemukan pekerja yang kurang profesional atau kompeten di bidangnya, yang pada gilirannya bisa membuat pertumbuhan ekonomi bangsa yang sudah berat ini menjadi makin terseret-seret. (*/)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun