Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Lulusan Sastra Bisa Sejahtera di Era AI, Asal...

17 Mei 2024   16:19 Diperbarui: 19 Mei 2024   12:31 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anda lulusan sastra yang lelah digaji 'miring'? Saatnya bersinar di era AI. (Foto: Unsplash)

Sebagai lulusan jurusan Sastra Inggris, saya adalah salah satu orang yang selalu mengernyitkan alis tiap kali seseorang mengatakan: "Masa depan adalah milik para lulusan jurusan STEM (Science, Technology, Engineering, dan Mathematics)."

Saya kesal. Seolah tidak hanya 6 tahun kuliah saya yang dianggap tidak berharga, tapi juga passion seumur hidup saya dalam hal bahasa yang dipandang bernilai lebih rendah.

Dampaknya sangat terasa di banyak hal. Terutama kesejahteraan. Bahasa kasarnya, gaji. Gaji lulusan Sastra Inggris sepertinya kalah dari para lulusan STEM yang lebih dihargai pasar tenaga kerja global.

Tapi fenomena tech winter dan oversuplai lulusan STEM dari tahun ke tahun pada gilirannya membuat keadaan menjadi sama kembali.

Mengingat kondisi getir kesejahteraan lulusan Sastra Inggris inilah, rasanya begitu optimis dan gembira luar biasa tatkala Connor Grennan mengatakan di video TikToknya yang mampir ke FYP saya bahwa para lulusan Bahasa/ Sastra Inggris bakal menjadi pemimpin di era Kecerdasan Buatan.

Saya tak percaya awalnya tentu saja. Kemudian saya baca secara rinci di tulisan lengkap milik Conor Grennan, yang ternyata adalah Dekan di New York University Stern School of Business dan paham mengapa ia berani mengklaim demikian berani.

Unggul Soal Bercerita

Menurut Conor, lulusan sastra Inggris dan lulusan jurusan bidang kreatif lainnya memiliki keunggulan dalam menggunakan AI generatif.

Poin plus lulusan Sastra Inggris adalah kemampuan mereka dalam menyusun sebuah cerita yang menarik dan mengomunikasikan cerita atau gagasan apapun dengan bahasa yang mudah diserap orang lain menjadi lebih berharga daripada kemampuan teknis seperti coding.

AI generatif digerakkan oleh permintaan dalam bahasa alami manusia, jadi kemampuan menerjemahkan kebutuhan bisnis ke dalam permintaan yang jelas sangat penting.

Hal ini membuat para penulis, pakar strategi, dan direktur kreatif berpotensi lebih berharga di pasar tenaga kerja dibanding para pengembang perangkat lunak di era AI ke depan.

Terus Belajar dan Bereksperimen

Meskipun kesadaran dan penggunaan AI generatif sudah tinggi, Conor memperkirakan pemanfaatan yang benar-benar transformatif hanya sekitar 5% di sebagian besar organisasi/perusahaan.

Kebanyakan perusahaan saat ini sudah mencoba aplikasi AI dasar seperti pembuatan konten, tetapi sedikit yang secara strategis mengubah alur kerja, operasi, atau model bisnis.

Untuk mencapai level tersebut diperlukan perubahan pola pikir dan perilaku yang didorong oleh kepemimpinan.

Di era AI, kemauan untuk terus belajar dan kemampuan beradaptasi menjadi kunci penting.

Keterbukaan untuk bereksperimen, kesiapan menerima kegagalan sebagai peluang belajar, dan kemampuan berpikir lateral sangat penting untuk pemanfaatan AI yang transformatif.

Dengan pencapaian baru industri AI nyaris setiap minggu, komitmen untuk terus belajar dapat membantu kita mengidentifikasi peluang baru.  

Orang-orang yang lebih adaptif dan tidak kaku dalam menerima berbagai hasil dari alat AI cenderung tidak merasa terancam, bahkan mungkin memanfaatkan peluang sekecil apapun.

Kreator Konten Super = AI + Manusia Kreatif

Conor juga menyatakan bahwa masa depan akan dimiliki oleh para kreator konten yang mampu memanfaatkan potensi AI dalam membuat konten berkualitas premium dengan sentuhan kreatif manusia.

Seperti kita ketahui, kemunculan Sora dan alat teks-ke-video lain hampir pasti akan mengacaukan Hollywood dan alur kerja produksi saat ini.

Seperti Uber mengungkap permintaan transportasi yang terpendam, Sora berpotensi mengungkap permintaan konten yang dipersonalisasi yang selama ini terkendala oleh masalah produksi.

Kita mungkin menyaksikan ledakan media indie dari para kreator super yang dapat mewujudkan visi kreatif mereka dengan bantuan AI tanpa terhalang oleh pihak-pihak penegak aturan.

Di sinilah kreator konten yang unggul dapat menonjol dan mengalahkan raksasa industri konten seperti Hollywood.  

Kemampuan menulis, berempati, membangun narasi, dan melibatkan emosi memungkinkan penulis, komunikator, dan perancang kreatif menggunakan AI untuk mengoptimalkan visi kreatif mereka meskipun kurang memiliki keahlian teknis.

Menerapkan AI secara transformatif membutuhkan perubahan pola pikir dan perilaku yang difasilitasi oleh pimpinan. Dan pimpinan ini tidak boleh berpikiran kolot, menolak belajar terus-menerus dan beradaptasi dengan perubahan zaman.

Kunci untuk memenangkan sebagai kreator konten di era AI adalah kemauan untuk terus belajar, stamina tinggi untuk terus beradaptasi, pola pikir terbuka pada eksperimen, dan keberanian menghadapi kegagalan sebagai peluang, demikian kata Conor.  

Jika Anda lulusan sastra Inggris seperti saya, bukankah penjelasan Conor di atas membangkitkan rasa percaya diri Anda?

Tetapi tentu saja, jangan lupa untuk mau terus belajar dan terbuka pada hal-hal baru! (*/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun