JOKO PINURBO, Â salah satu penyair terbaik dan terkenal di Indonesia, telah meninggal dunia pada usia 62 tahun di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta pada Sabtu, 27 April 2024 pukul 06.03 WIB. Kabar duka ini dikonfirmasi oleh Editor Senior Sastra GPU, Mirna Yulistianti.
Dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat pada 11 Mei 1962, Joko Pinurbo atau yang akrab disapa Jokpin telah mencintai puisi sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.Â
Kecintaannya pada puisi membuatnya melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sepanjang kariernya, Joko Pinurbo telah menghasilkan banyak karya puisi yang sangat diapresiasi, seperti Celana (1999), Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Haduh, aku di-follow (2013), Surat dari Yogya: Sepilihan Puisi (2015), Srimenanti (2019), dan Tak Ada Asu di Antara Kita: Kumpulan Cerpen (2023).
Selain puisi, Joko Pinurbo juga telah menerbitkan sejumlah antologi, di antaranya Tugu (1986), Tonggak (1987), Sembilu (1991), Ambang (1992), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), dan Utan Kayu Tafsir dalam Permainan (1998).
Gaya Puisi 'Nakal'
 Jokpin dikenal dengan gaya puitis unik dan nyelenehnya. Dilahirkan di Sukabumi pada 11 Mei 1962, Jokpin memulai perjalanan ke dunia kepenyairan sejak duduk di bangku SMA dengan terinspirasi karya Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.
Anda bisa menikmati gaya puisinya yang menggelitik dan unik di salah satu karyanya ini yang menurut saya membuat kita bisa terpingkal-pingkal.
TANPA CELANA AKU DATANG MENJEMPUTMU
untuk Wibi
Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: "Pergilah kau, kembalilah kau!"
Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
"Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru."
Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
"Hore, aku punya celana baru!" kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
(2002)
Dibesarkan dalam keluarga sederhana, Joko Pinurbo merupakan anak sulung dari pasangan Sumardi dan Ngasilah.Â
Ayahnya adalah seorang guru swasta, sementara ibunya ibu rumah tangga. Jokpin mengenyam pendidikan di SD Mardi Yuana Warung Kiara lalu melanjutkan ke SMP Sanjaya Babadan dan lulus tahun 1976.
Setelah lulus SMA dari Seminari Mertoyudan pada 1981, Joko Pinurbo malah tidak mau jadi pastor dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di sinilah ia mulai aktif menulis puisi dan terlibat dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan.
Sempat ditolak penerbit dan membakar puisi-puisinya, Joko Pinurbo akhirnya meraih kesuksesan pada 1999 dengan merilis kumpulan puisi fenomenalnya berjudul "Celana".Â
Karyanya yang menggabungkan unsur ironi, narasi, dan humor ini pun meledak di pasaran berkat keunikannya mengangkat objek sehari-hari seperti celana dan sarung.
Go International
Berkat karya-karyanya yang brilian, Joko Pinurbo meraih berbagai penghargaan bergengsi seperti Sastra Lontar (2011), Buku Puisi Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta (2011), Sih Award (2011), SEA Write Award (2014), dan Anugerah Kebudayaan dari Sri Sultan HB X (2019).
Reputasi Jokpin tak hanya tersohor di Indonesia, tetapi juga mendunia. Penyair kelahiran Sukabumi ini kerap diundang di festival puisi internasional seperti di London, Belanda, dan Jerman.
Dengan segudang prestasi dan karya bermutu, Joko Pinurbo berhasil mengukir namanya sebagai salah satu penyair terbaik dan paling berpengaruh di Indonesia dengan gaya puitis yang unik dan tak terlupakan.
Kepergian Joko Pinurbo merupakan kehilangan besar bagi dunia sastra Indonesia. Ia akan selalu dikenang sebagai salah satu penyair terbaik dan paling berpengaruh di Indonesia dengan karya-karya puitis yang menginspirasi.Â
Bagi saya sendiri, sosok Jokpin bisa disetarakan dengan Pramoedya Ananta Toer yang memiliki kejelian dan kepekaan dengan dunia rakyat jelata, keseharian yang terlihat membosankan namun jika kita mau, bisa diolah menjadi karya puisi yang menyentil ego kita, membebaskan nurani yang sedang kita abaikan, mengilhami kita untuk berubah agar lebih baik lagi, dan mengubah perilaku pembacanya. (*/)
P.S.: Tulisan ini dibuat dengan bantuan AI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H