SIAPA yang pernah merasa marah terhadap seseorang yang kita anggap sudah menghina/ menyinggung harga diri kita tetapi tidak bisa meluapkan emosi kita pada orang tersebut?
Mungkin Anda adalah salah satu dari banyak orang yang sekarang menyimpan kemarahan dalam hati dan pikiran Anda.
Bisa jadi Anda menemukan orang yang menghina Anda ini dalam lingkungan kerja, sekolah/ kuliah, pergaulan antartetangga, atau juga hubungan dalam keluarga sendiri.
Akibat Menahan AmarahÂ
Menahan kemarahan sendiri bisa memicu dampak buruk pada kesehatan kita. Menurut hasil sebuah studi ilmiah oleh Mayo Clinic tahun 2008, memiliki dendam yang dipicu oleh kemarahan di masa lalu yang belum dilupakan sampai bertahun-tahun lamanya bisa menurunkan kesehatan secara umum, baik kesehatan fisik maupun mental.
Memaafkan seseorang bisa memberikan efek positif bagi tubuh dan pikiran terutama pada kondisi jantung dan sistem syaraf.Â
Pada orang-orang yang memiliki dendam atau amarah yang tertahan, tekanan darah dan detak jantung mereka relatif lebih tinggi.
Tak cuma itu, otot-otot tubuh mereka juga lebih tegang dan mereka merasa lebih lemah dalam mengendalikan hal-hal dalam hidup ini.
Namun, hal itu berubah setelah mereka diinstruksikan untuk membayangkan bahwa mereka memaafkan orang yang telah menyakiti mereka.
Setelahnya, mereka ini merasa lebih rileks dan positif. Akhirnya perubahan itu pun terjadi. Tubuh lebih sehat karena tekanan darah dan detak jantung kembali ke normal.
Memaafkan juga membuat kondisi psikologis kita lebih baik, menurut ilmuwan.
Cara Melampiaskan Amarah Tanpa Berkonfrontasi
Masalahnya tidak semua orang bisa menggunakan cara memvisualisasikan atau membayangkan dirinya memaafkan orang lain yang dianggap menyakiti.
Nah, di sinilah harus dilakukan sebuah pelampiasan emosi marah ini secara konstruktif dan aman. Jangan sampai destruktif dan mengarah ke tindak kriminal yang nekat dan nantinya bakal disesali seumur hidup.
Sebagian orang memilih berolahraga untuk melampiaskan emosi amarah yang terpendam. Yang lain ada yang memilih untuk menulis.
Tapi agar aktivitas menulis ini tidka sekadar menulis diary ala anak-anak remaja, kita harus menerapkan sebuah metode menulis yang lebih efektif untuk melepaskan amarah secara sehat.
Perkenalkan HakidashisaraÂ
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa tradisi Jepang yang disebut hakidashisara - yakni menulis perasaan setelah dihina, lalu membuang tulisan tersebut - terbukti dapat mengurangi amarah secara signifikan.Â
"Kami mengharapkan metode ini akan menekan amarah sampai batas tertentu," ujar peneliti utama Nobuyuki Kawai. "Namun, kami terkejut karena amarah nyaris hilang sepenuhnya."
Penelitian ini penting karena mengendalikan amarah di rumah dan tempat kerja dapat mengurangi konsekuensi negatif dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi.Â
Sayangnya, banyak teknik manajemen amarah yang diusulkan para ahli kurang didukung penelitian empiris. Teknik-teknik itu juga sulit diingat saat seseorang sedang marah.
Hasil penelitian ini, yang diterbitkan dalam Scientific Reports, merupakan puncak dari tahun-tahun penelitian sebelumnya tentang hubungan antara tulisan dan pengurangan amarah. Penelitian ini juga dibangun di atas temuan bahwa interaksi dengan benda fisik dapat mengontrol suasana hati seseorang.
Tulis Amarah lalu Buang!
Dalam proyek mereka, Kawai dan mahasiswa pascasarjana Yuta Kanaya dari Sekolah Pascasarjana Informatika Universitas Nagoya meminta peserta menuliskan pendapat singkat tentang masalah sosial penting, seperti apakah merokok di tempat umum harus dilarang. Mereka kemudian mengatakan bahwa mahasiswa doktor di Universitas Nagoya akan mengevaluasi tulisan mereka.
Namun, mahasiswa doktor yang mengevaluasi sebenarnya adalah orang bayaran. Terlepas dari apa yang ditulis peserta, penilai memberikan skor rendah pada kecerdasan, minat, keramahan, logika, dan rasionalitas mereka. Untuk mempertegas poin itu, mahasiswa doktor juga menulis komentar yang sama: "Saya tidak percaya orang berpendidikan berpikir seperti ini. Semoga orang ini belajar sesuatu saat di universitas."
Setelah membagikan komentar negatif itu, para peneliti meminta peserta menulis pemikiran mereka tentang umpan balik tersebut, dengan fokus pada apa yang memicu emosi mereka. Akhirnya, satu kelompok peserta diminta membuang kertas yang mereka tulis di tempat sampah atau menyimpannya dalam file di meja mereka. Kelompok kedua diminta memusnahkan dokumen dalam penghancur kertas atau menaruhnya dalam kotak plastik.
Para mahasiswa kemudian diminta menilai tingkat amarah mereka setelah dihina dan setelah membuang atau menyimpan kertas tersebut. Seperti yang diharapkan, semua peserta melaporkan peningkatan tingkat amarah setelah menerima komentar yang menghina. Namun, tingkat amarah individu yang membuang kertas mereka di tempat sampah atau menghancurkannya kembali ke keadaan awal setelah membuang kertas. Sementara itu, peserta yang menyimpan salinan keras hinaan hanya mengalami sedikit penurunan amarah secara keseluruhan.
Cocok untuk Anda yang Berada di Lingkungan Toksik
Kawai membayangkan menggunakan penelitiannya untuk membantu para pelaku bisnis yang menemukan diri mereka dalam situasi stres.
"Teknik ini dapat diterapkan saat itu juga dengan menuliskan sumber amarah seperti membuat memo dan kemudian membuangnya saat merasa marah dalam situasi bisnis," jelasnya.
Selain manfaat praktisnya, penemuan ini mungkin dapat menjelaskan asal-usul tradisi budaya Jepang yang dikenal sebagai hakidashisara (hakidashi mengacu pada pembersihan atau pemuntahan sesuatu, dan sara mengacu pada piring) di Kuil Hiyoshi di Kiyosu, Aichi Prefecture, di luar Nagoya.Â
Hakidashisara adalah festival tahunan di mana orang-orang menghancurkan cakram kecil yang mewakili hal-hal yang membuat mereka marah. Temuan ini mungkin menjelaskan perasaan lega yang dilaporkan peserta setelah meninggalkan festival tersebut.
Menurut saya, metode pelampiasan amarah hakidashisara ini sangat sesuai dengan Anda yang introver dan kurang berani untuk membuat 'drama' di pergaulan.
Mereka yang introver, people pleaser, dan kurang bisa menyampaikan ketidaksukaannya secara eksplisit pada orang-orang di sekitarnya bisa menempuh cara ini agar kesehatan fisik dan mental mereka tetap terjaga.
Ditambah lagi, cara ini bakal lebih aman dan lebih minimal untuk menimbulkan efek bumerang yang negatif jika dibandingkan dengan curhat secara terbuka di media sosial lalu memviralkannya.
Mungkin memang emosi bisa terlampiaskan seketika tetapi efeknya bisa terjerat pasal pencemaran nama baik, atau tuntutan hukum yang malah sebenarnya membuat korban makin repot. Apalagi kita tahu, ongkos untuk menempuh dan memenangkan perkara hukum di negara ini tidak bisa dibilang murah. (*/)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H