Setelah membagikan komentar negatif itu, para peneliti meminta peserta menulis pemikiran mereka tentang umpan balik tersebut, dengan fokus pada apa yang memicu emosi mereka. Akhirnya, satu kelompok peserta diminta membuang kertas yang mereka tulis di tempat sampah atau menyimpannya dalam file di meja mereka. Kelompok kedua diminta memusnahkan dokumen dalam penghancur kertas atau menaruhnya dalam kotak plastik.
Para mahasiswa kemudian diminta menilai tingkat amarah mereka setelah dihina dan setelah membuang atau menyimpan kertas tersebut. Seperti yang diharapkan, semua peserta melaporkan peningkatan tingkat amarah setelah menerima komentar yang menghina. Namun, tingkat amarah individu yang membuang kertas mereka di tempat sampah atau menghancurkannya kembali ke keadaan awal setelah membuang kertas. Sementara itu, peserta yang menyimpan salinan keras hinaan hanya mengalami sedikit penurunan amarah secara keseluruhan.
Cocok untuk Anda yang Berada di Lingkungan Toksik
Kawai membayangkan menggunakan penelitiannya untuk membantu para pelaku bisnis yang menemukan diri mereka dalam situasi stres.
"Teknik ini dapat diterapkan saat itu juga dengan menuliskan sumber amarah seperti membuat memo dan kemudian membuangnya saat merasa marah dalam situasi bisnis," jelasnya.
Selain manfaat praktisnya, penemuan ini mungkin dapat menjelaskan asal-usul tradisi budaya Jepang yang dikenal sebagai hakidashisara (hakidashi mengacu pada pembersihan atau pemuntahan sesuatu, dan sara mengacu pada piring) di Kuil Hiyoshi di Kiyosu, Aichi Prefecture, di luar Nagoya.Â
Hakidashisara adalah festival tahunan di mana orang-orang menghancurkan cakram kecil yang mewakili hal-hal yang membuat mereka marah. Temuan ini mungkin menjelaskan perasaan lega yang dilaporkan peserta setelah meninggalkan festival tersebut.
Menurut saya, metode pelampiasan amarah hakidashisara ini sangat sesuai dengan Anda yang introver dan kurang berani untuk membuat 'drama' di pergaulan.
Mereka yang introver, people pleaser, dan kurang bisa menyampaikan ketidaksukaannya secara eksplisit pada orang-orang di sekitarnya bisa menempuh cara ini agar kesehatan fisik dan mental mereka tetap terjaga.
Ditambah lagi, cara ini bakal lebih aman dan lebih minimal untuk menimbulkan efek bumerang yang negatif jika dibandingkan dengan curhat secara terbuka di media sosial lalu memviralkannya.
Mungkin memang emosi bisa terlampiaskan seketika tetapi efeknya bisa terjerat pasal pencemaran nama baik, atau tuntutan hukum yang malah sebenarnya membuat korban makin repot. Apalagi kita tahu, ongkos untuk menempuh dan memenangkan perkara hukum di negara ini tidak bisa dibilang murah. (*/)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H