Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Well Being Economy: Saat Pertumbuhan Ekonomi Tak Lagi Jadi Tolok Ukur Kemajuan Bangsa

6 Maret 2024   15:00 Diperbarui: 6 Maret 2024   15:45 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memang bisa sebuah bangsa maju tanpa fokus pada pertumbuhan ekonomi? (Foto: Pexels.com)

KEMARIN (5/3) Menteri Pertahanan yang juga kandidat presiden 2024 Prabowo Subianto menyatakan dengan lantang bahwa selama lima tahun mendatang (baca: selama masa kepemimpinannya nanti) ia akan mendorong bangsa ini untuk bisa mencetak angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8% bahkan lebih. Demikian dilaporkan oleh antaranews.com.

Target pertumbuhan tersebut terbilang cukup ambisius, mengingat tahun ini saja pemerintah hanya berani mematok target 5,1-5,7% sebagaimana dinyatakan di situs resmi pemerintah indonesia.go.id. Cukup realistis mengingat kondisi ekonomi global masih resesi dan perang genosida Palestina dan agresi Rusia ke Ukraina masih membayangi.

Indonesia (G)Emas 

Presiden Joko Widodo juga terus menggaungkan ambisi besarnya untuk merengkuh visi Indonesia Emas 2045. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang disebut "Indonesia Emas", disebutkan bahwa ada tiga unsur pokok dalam mencapai Indonesia Emas 2045: stabilitas bangsa dan negara, keberlanjutan dan kesinambungan dalam kepemimpinan, dan kualitas SDM Indonesia.

Lalu tolok ukur pencapaiannya, sebagaimana dijelaskan di website resmi pemerintah, adalah pendapatan perkapita, pendapatan nasional bruto, dan angka kemiskinan. Dengan kata lain, Indonesia Emas 2045 sangat menitikberatkan pada pencapaian ekonomi bangsa ini. 

Apakah salah untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi? Tentu tidak. Aspek ekonomi bangsa memang sangat penting. Ekonomi bak urat nadi kehidupan kita sebagai bangsa dan negara. Jangankan berpikir soal investasi ini itu, banyak rakyat kita yang masih terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka sebagai manusia (sandang, pangan, papan) saat ini.

Masalahnya, kita sendiri sudah gemas dengan penetapan target-target seperti ini. Di era Presiden Suharto tepatnya tahun 1996, penetapan target Indonesia Emas juga sudah pernah diangkat ke permukaan. 

Negara kita juga digadang-gadang sebagai "Macan Asia" yang bakal jadi negara maju berkat pencapaian ekonomi masa Orba yang menurut observasi orang luar termasuk mencengangkan. 

Tapi sejarah mencatat, kita tersandung Krisis Multidimensi 1998 yang legendaris tersebut dan hingga detik ini masih terperangkap di kelompok negara menengah. 

Kalau soal jumlah populasi sih tak usah dikomentari, kita salah satu negara besar. Dan karena jumlah populasi yang raksasa ini, ukuran ekonomi kita juga besar. 

Tapi masalahnya ekonomi kita ditopang lebih banyak oleh kegiatan konsumsi rakyat. Saat rakyat mengerem konsumsi atau berhemat sedikit saja, pertumbuhan ekonomi keok. Akhirnya rakyat terus menerus didorong untuk konsumtif.

Namun, saya memiliki pertanyaan: "Apakah benar kemajuan ekonomi bakal menjamin bangsa ini makin sejahtera?"

Selamat Tinggal Kapitalisme Kuno

Beberapa waktu lalu saya menemukan informasi menarik di TikTok. Sebuah akun milik Michael Mezz (@michaelmezz) menjelaskan bahwa tradisi mengukur kemajuan bangsa dengan pencapaian ekonomi sebagai indikator utama sebenarnya sudah usang alias kuno.

Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan Mezz tersebut, antara lain yang paling utama ialah karena planet bumi ini sudah hampir di ambang kehancuran karena eksploitasi sumber daya alamnya.  Dan sebagaimana kita tahu, esensi pertumbuhan ekonomi (yang menganut sistem kapitalis, yang mendominasi dunia dalam beberapa abad terakhir) adalah eksploitasi sumber daya alam dan manusia.  

Kita sendiri sudah menjadi saksi hidup bagaimana alam (bumi) sudah menderita dan kita juga yang kena batunya. Misalnya, saat tambang batubara dibuka, listrik murah memang bisa tersedia tetapi konsekuensinya paru-paru kita yang menderita. Dan ternyata kemajuan atas nama pembangunan itu juga kita harus tebus sama mahalnya atau bahkan lebih mahal dari yang kita kira.

Kita mungkin tak lagi mengalami kelaparan atau kesusahan untuk membeli makanan, baju atau sekadar mendapatkan tempat bernaung tetapi ada kebutuhan-kebutuhan mendasar yang tak kalah penting lainnya yang juga kita makin sulit dapatkan saat ekonomi makin maju: hak menghirup udara bersih, hak menikmati air bersih secara gratis (bukan beli), dan hak-hak lain yang mungkin untuk sekarang kita belum terlintas karena kita remehkan (take for granted) tetapi ternyata kita tidak bisa hidup tanpanya.

Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kapitalisme menambah lebar tingkat kesenjangan ekonomi di antara penduduk dunia. Memang betul ada orang yang naik tingkat kesejahteraannya berkat kapitalisme tetapi ternyata yang tidak bisa menikmati hidup sejahtera juga makin banyak. 

Michael Mezz menyatakan bahwa kapitalisme memang berhasil menaikkan tingkat harapan hidup dan GDP perkapita bangsa-bangsa di dunia selama beberapa dekade ini tetapi ada satu titik saat kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak bisa membuat manusia-manusia di dalamnya sejahtera dan bahagia. 

Setelah melewati titik GDP perkapita 20 ribu dollar AS, kaitan erat antara angka harapan hidup dan kemajuan ekonomi mulai terlepas dan jalan sendiri-sendiri. Terlihat bahwa negara kaya raya seperti Amerika Serikat saja malah mengalami penurunan angka harapan hidup karena obesitas yang merajalela meski secara ekonomi mereka adalah raja.

Karena kapitalisme membabi buta inilah, banyak pekerja modern hanya tahu soal kerja, kerja, dan kerja tetapi jiwa mereka terasa kosong. Kesehatan mental mereka memburuk. 

Sebagai manusia, mereka lebih mirip zombie yang menjalani hidup sebagai mesin penggerak roda ekonomi kapitalis. Ironisnya, keuntungan yang mereka hasilkan dinikmati lebih banyak oleh pemilik modal yang makin kaya. 

Untuk itulah, kita perlu mulai mengubah paradigma kapitalistik ini agar kita tidak hancur. Sudah seharusnya kita beranjak dari fase eksploitatif demi perkembangan peradaban yang lebih berkelanjutan. Tidak cuma memikirkan enaknya sekarang.

Selamat Datang "Well Being Economy"

Menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kemajuan bangsa sama saja mengakui sistem ekonomi kapitalisme yang sudah terbukti tidak sustainable dalam jangka panjang.

Untuk itu alih-alih menerapkan terus-menerus kapitalisme yang mengharuskan kita menghamba pada para pemilik modal, kita perlu perlahan mengubah orientasi ke sebuah model ekonomi baru yang memberikan harapan akan perubahan.

Well being economy dapat didefinisikan sebagai ekonomi yang dirancang untuk memprioritaskan kesejahteraan manusia dan kelestarian planet bumi. Hal ini berlawanan dari saat ini, karena manusia dan bumi seolah menjadi alat pemuas syahwat para pemilik modal.

Masih menurut Mezz, sudah ada beberapa negara yang mulai mengadopsi well being economy ini. Negara-negara itu adalah Islandia, Selandia Baru, dan Welsh di Britania Raya.

@michael_mezz new economic system alert data shows the correlation between GDP and wellbeing goes away after $20K per capita. soooo what if we made wellbeing the goal of the economy? #wellbeingeconomy #wellbeing #economy #economics #GDP #systemchange #betterfuture #weall  original sound - Michael Mezz

Untuk mendorong penerapan ekonomi baru ini, telah didirikan di tahun 2018 Well Being Economy Alliance, sebuah organisasi yang menjadi wadah kerja sama antara sejumlah organisasi, aliansi, gerakan, dan para individu yang meyakini urgensi transisi ke well being economy.

Di Indonesia, istilah well being economy sendiri masih asing sekali. Ditambah lagi belum ada elemen masyarakat kita yang mendorong urgensi well being economy di Indonesia. 

Bentuk-bentuk upaya penerapan well being economy di beberapa negara bisa dibilang sangat menarik. Sebut saja pemberian status hukum pada dua sungai besar di Selandia Baru dan India. Sebagai konsuekuensinya, ditunjuk sebuah pihak sebagai pelindung hak-hak hukum sungai. Tujuannya adalah untuk melindungi sungai-sungai tersbeut agar tetap lestari dan bersih. 

Sementara itu, di Amsterdam dicanangkan sebuah program untuk menjaga kualitas air di lingkungan perkotaan. Itu karena mutu udara Amsterdam yang lebih buruk dari kota-kota lain di Belanda sehingga angka harapan hidup warganya 1 tahun lebih pendek dari warga kota lain. 

Di sini, kita mulai disadarkan bahwa kemajuan bangsa tak selalu harus soal ekonomi dan mengorbankan kesehatan dan kelestarian planet yang menjadi rumah kita.

Menurut Anda sendiri, apakah well being economy bisa mengubah masa depan bangsa ini menjadi lebih baik? (*/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun