Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tren Merayakan Hidup yang Biasa Saja di Media Sosial

31 Januari 2024   16:03 Diperbarui: 1 Februari 2024   15:10 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu akun Instagram yang bertema merayakan kehidupan biasa. (Foto: Tangkapan layar akun @normalifeat30)

MERAYAKAN hal-hal besar dan luar biasa sudah menjadi tradisi bagi manusia.

Momen-momen besar seperti ulang tahun, pernikahan, dan kematian anggota keluarga atau orang yang dikasihi adalah beberapa yang pantas dirayakan.

Tapi bagaimana jika sedikit-sedikit kita ingin merayakan sesuatu padahal hal itu terkesan biasa saja atau tak seistimewa itu?

Mas-Mas Biasa dan Jelata

Di sebuah kesempatan di tempat kerja saya dulu yang dipenuhi dengan generasi Z, saya sempat menangkap basah seorang kolega yang membaca dengan tekun sebuah artikel kolom di whiteboardjournal.com.

Judul tulisan itu cukup menarik: "Tak Mengapa Menjadi Mas-Mas Biasa". Penulisnya adalah Fajar Shabana Hafiiz. Tulisan ini tayang 27 Mei 2021.

Gagasan utama artikel itu sederhana sebetulnya. Fajar ingin anak-anak muda Gen Z yang dibebani segala ekspektasi dari orang tua dan masyarakat untuk memaklumi situasi jika mereka belum bisa menjadi luar biasa sebagaimana harapan orang lain.

Fajar menuliskan:

"Jangan malu hanya menjadi mas-mas biasa, kamu hanya memakai motor supra dan  memiliki mobil ketinggalan zaman yang kamu beli dari hasil tabungan jaga shift malam."

Intinya ia mengajak kita untuk tidak malu jika kehidupan kita saat ini terkesan biasa saja.

Kita tak perlu malu bahkan justru harus bangga melakoni kehidupan yang biasa saja sebagaimana dijalani begitu banyak orang karena di balik kehidupan yang terkesan biasa saja itu juga sebetulnya ada banyak makna di baliknya bagi kita yang mau bersyukur dan berpikir.

Dan rupanya tulisannya ini bisa membuat pembaca muda Gen Z yang sudah lelah dengan beban berat di pundak mereka merasa dirangkul dan diterima.

Gen Stroberi

Gen Z memang sejauh ini terkesan dipojokkan karena dianggap lemah dan mudah gentar oleh tantangan. Bahkan seorang akademisi menyebut mereka generasi stroberi, sebuah sebutan yang peyoratif alias merendahkan menurut saya.

Betul, mungkin saja Gen Z ini dibesarkan dengan segala kemudahan dan fasilitas yang kemudian membuat mereka manja dan cepat mengeluh dan lekas menyerah.

Namun, kita tak bisa memungkiri juga bahwa tingkat persaingan di dunia akademik dan pasar tenaga kerja global juga semakin sengit. Bisa dipahami karena jumlah manusia makin banyak tapi sumber daya (alam dan sebagainya) tak bertambah.

Sebagai gambaran, populasi dunia saat ini (menurut data tahun 2023) sudah menembus angka 8 miliar jiwa dengan tingkat kepadatan 54 jiwa per km persegi.

Sebagai perbandingan, di tahun 1953 populasi dunia cuma 2,6 miliar jiwa dan kepadatannya hanya 18 jiwa per km persegi. Demikian dikutip dari wikipedia.

Sementara itu, luas permukaan daratan yang bisa dieksploitasi manusia tak berubah bahkan menciut akibat pemanasan global.

Dengan demikian, jika mereka merasa depresif dan hidup makin berat di usia yang begitu belia, saya pikir mereka punya alasan kuat untuk itu.

Sebagai gen Millennial, saya juga paham bahwa untuk masuk PTN sekarang persaingannya lebih ganas dan biayanya lebih 'gila' daripada dulu saat tahun 2000-an saya kuliah.

Jadi jika saya dengar ada anak Gen Z yang tak lolos SBNMPTN, saya pikir itu bukan serta-merta karena mereka tak belajar rajin atau bodoh.

Bisa jadi karena makin banyak lulusan SMA yang membidik kursi di PTN tetapi kursinya tak bertambah signifikan sesuai laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebagaimana tidak siapnya jalan-jalan raya kita menampung ledakan jumlah kendaraan bermotor.

Salah satu akun Instagram yang bertema merayakan kehidupan biasa. (Foto: Tangkapan layar akun @normalifeat30)
Salah satu akun Instagram yang bertema merayakan kehidupan biasa. (Foto: Tangkapan layar akun @normalifeat30)
Remeh-Temeh yang Menenangkan

Di media sosial Instagram dan TikTok, tren merayakan kehidupan biasa-biasa saja di antara Gen Z seperti ini juga mulai naik.

Saya sempat menemukan beberapa akun TikTok dan Instagram yang mengglorifikasi dan meromantisasi kehidupan biasa-biasa saja.

Satu contohnya ialah akun yang bernama @normalifeat30 yang isinya menceritakan kegiatan sehari-hari seorang pria Chindo usia 30-an bernama Ivan yang sudah menikah tanpa anak dengan profesi bekerja di toko.

Sekilas hidup Ivan tidak ada yang istimewa dan mewah. Ia bukan ingin pamer kekayaan atau hal-hal yang tak terjangkau di media sosial.

Di video reel Instagramnya ia menunjukkan kegiatan buang sampah, memasak makanan bekal ke toko tempatnya bekerja, mandi, olahraga ringan, mengemudi mobil ke tempat kerja, rekreasi di sela kesibukan, dan sebagainya.

Barang-barang dan latar belakang pengambilan semua video reel Instagramnya pun tidak dikurasi sedemikian rupa agar tampak estetik, minimalistik atau elegan sebagaimana yang dilakukan sejumlah influencers yang memamerkan gaya hidup mewah.

Ivan sendiri mengaku bahwa ia memang merasa jenuh dengan hidup yang biasa saja tapi ia sudah berdamai dengan rasa jenuh tersebut, demikian ia katakan saat menjawab komentar pengikutnya.

Di TikTok, ada juga akun matahawii yang mengisahkan aktivitas harian seorang pria lajang umur 30-an dengan profesi pekerja kantoran Jakarta yang dengan bangga menggunakan tagar #CherishTheOrdinary dan #RoutineGratitude dalam video Tiktoknya.

Mirip dengan Ivan, Matahari sang pemilik akun juga seakan ingin merayakan kehidupan monoton dan datar yang ia jalani 24 jam sehari 7 hari seminggu.

Ia tidak ingin menunjukkan hobi yang mungkin lebih menyenangkan atau eksplorasi lainnya yang lebih menarik bagi pengguna media sosial karena mungkin ia merasa memang begitulah dirinya apa adanya. Dan ia merasa itu bukan masalah besar dan tidak seharusnya mencegahnya menjadi sosok nanoinfluencer di media sosial karena media sosial bukan cuma untuk orang-orang yang menurut standar masyarakat memiliki bakat atau sesuatu yang luar biasa tetapi juga bisa digunakan oleh orang-orang dengan kehidupan yang datar dan biasa saja seperti kebanyakan orang.

Membuat Media Sosial Lebih Realistis?

Jika saya harus menerka motif mereka muncul di media sosial meski kehidupan mereka terkesan biasa dan datar, itu karena mereka (Gen Z dengan hidup biasa saja) ingin memberikan kesan 'relateable' atau relevan bagi orang-orang yang menemukan konten mereka.

Karena sebagaimana kita ketahui, media sosial sering membuat kita merasa ketinggalan atau merasa lebih buruk dari orang lain karena konten yang viral atau digemari banyak orang adalah konten-konten bertema pamer. 

Entah itu pamer badan hasil olahraga rutin dan diet ketat, pamer busana terbaru, pamer harta dan aset, pamer prestasi terkini, pamer pengetahuan dan skills, dan sebagainya. Itulah kenapa otak kita merasa takut ketinggalan (FOMO) setelah menelan konten-konten media sosial. Kita seolah terus dikata-katai: "Kamu tuh nggak ada apa-apanya.. Lihat kita dong!"

Tapi dengan kemunculan akun-akun media sosial yang bertema perayaan kehidupan yang biasa-biasa saja, kita menjadi paham bahwa apa yang kita alami dan lakukan juga dilakukan oleh orang lain dan tidak ada yang nista atau hina soal itu. Kita tak perlu malu, bahkan harus bangga karena bagaimanapun juga pasti masih ada hal yang bisa disyukuri dari hidup yang biasa sekalipun.

Bagaimana dengan Anda sendiri? Percaya dirikah Anda untuk mengunggah rutinitas sehari-hari yang terkesan tidak istimewa dan menjemukan untuk pengikut Anda di media sosial? Atau lebih baik menjadi penonton saja? (*/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun