Gen Z memang sejauh ini terkesan dipojokkan karena dianggap lemah dan mudah gentar oleh tantangan. Bahkan seorang akademisi menyebut mereka generasi stroberi, sebuah sebutan yang peyoratif alias merendahkan menurut saya.
Betul, mungkin saja Gen Z ini dibesarkan dengan segala kemudahan dan fasilitas yang kemudian membuat mereka manja dan cepat mengeluh dan lekas menyerah.
Namun, kita tak bisa memungkiri juga bahwa tingkat persaingan di dunia akademik dan pasar tenaga kerja global juga semakin sengit. Bisa dipahami karena jumlah manusia makin banyak tapi sumber daya (alam dan sebagainya) tak bertambah.
Sebagai gambaran, populasi dunia saat ini (menurut data tahun 2023) sudah menembus angka 8 miliar jiwa dengan tingkat kepadatan 54 jiwa per km persegi.
Sebagai perbandingan, di tahun 1953 populasi dunia cuma 2,6 miliar jiwa dan kepadatannya hanya 18 jiwa per km persegi. Demikian dikutip dari wikipedia.
Sementara itu, luas permukaan daratan yang bisa dieksploitasi manusia tak berubah bahkan menciut akibat pemanasan global.
Dengan demikian, jika mereka merasa depresif dan hidup makin berat di usia yang begitu belia, saya pikir mereka punya alasan kuat untuk itu.
Sebagai gen Millennial, saya juga paham bahwa untuk masuk PTN sekarang persaingannya lebih ganas dan biayanya lebih 'gila' daripada dulu saat tahun 2000-an saya kuliah.
Jadi jika saya dengar ada anak Gen Z yang tak lolos SBNMPTN, saya pikir itu bukan serta-merta karena mereka tak belajar rajin atau bodoh.
Bisa jadi karena makin banyak lulusan SMA yang membidik kursi di PTN tetapi kursinya tak bertambah signifikan sesuai laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebagaimana tidak siapnya jalan-jalan raya kita menampung ledakan jumlah kendaraan bermotor.
Remeh-Temeh yang Menenangkan
Di media sosial Instagram dan TikTok, tren merayakan kehidupan biasa-biasa saja di antara Gen Z seperti ini juga mulai naik.