Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

3 Tren TikTok di 2024 dan Bagaimana Penulis Memanfaatkannya untuk Marketing

9 Desember 2023   16:14 Diperbarui: 17 Desember 2023   14:17 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TIKTOK dan dunia penulis bagi sebagian orang terasa sangat bertolak belakang.

Seolah-olah anak-anak muda yang menyukai TikTok pasti membenci atau tidak tahan berlama-lama baca buku.

Tapi tidak semua anak muda pengguna TikTok sekarang ini seperti itu.

Buktinya, di TikTok menjamur juga tren BookTok alias konten TikTok yang membahas soal dunia buku dan industri penerbitan (books and publishing industry).

Jadi sebelum Anda terjebak dalam dikotomi hitam putih seperti itu, lepaskan dulu pemikiran semacam itu dan berpikirlah lebih terbuka.

Karena ternyata kita yang suka baca buku bisa juga menikmati konten TikTok dan menggunakannya sebagai alat untuk menyuburkan industri penerbitan dan perbukuan yang konon digerogoti popularitas media sosial. 

Padahal bisa juga keduanya berjalan selaras, asal kita mau berpikiran tidak ortodoks, tidak biasa agar tidak terkungkung batasan berpikir yang itu-itu melulu.

TikTok sendiri baru-baru ini berilis sebuah laporan mengenai tren terbaru yang mereka susun berdasarkan data pengguna aplikasi mereka. Laporan ini bisa dibaca dalam bahasa Inggris di sini (TikTok's What's Next 2024 Trend Report). 

Bagi Anda yang ingin tahu garis besar laporan tersebut, sebetulnya TikTok ingin menegaskan bahwa platform tersebut di tahun 2024 akan mengutamakan konten yang menarik keingintahuan orang, merangsang imajinasi, membuat orang terbuka dan jujur mengenai apa yang mereka rasakan, dan membangun rasa percaya pada kreator.

Laporan tersebut juga menjelaskan adanya tiga tren utama dalam TikTok, yakni:

  • Rasa keingintahuan orang makin naik: Para pengguna TikTok 1,8 kali lebih lama dalam menghabiskan waktu untuk menjelajahi topik-topik baru yang sama sekali belum pernah mereka ikuti sebelumnya. Jadi bisa dikatakan TikTok saat ini sudah menjadi pengganti Google. Saat orang ingin mengetahui lebih banyak soal sebuah topik baru, mereka mengandalkan TikTok sebagai alat untuk riset atau belajar. 
  • Bercerita secara blak-blakan/ apa adanya: Jika sebelumnya para kreator seolah diharuskan memakai hook atau kalimat pembuka yang menarik perhatian, sekarang mereka tak perlu demikian dan bisa langsung bercerita. Para kreator di TikTok sekarang ini makin banyak yang berkolaborasi untuk menciptakan narasi/ cerita yang lain daripada yang lain. Mereka menggabungkan storytelling dengan tren delulu (kata kerennya "delusional' alias bermimpi/ mengkhayal). Dengan kata lain, kreator-kreator ini menggabungkan fantasi/ khayalan dengan manifestasi dalam kehidupan nyata mereka. Terdengar tidak objektif tapi sekali lagi TikTok bukanlah platform jurnalistik jadi sah-sah saja.
  • Membangun rasa percaya: Boleh setuju atau tidak tapi jenama-jenama (brands) yang sukses membangun rasa percaya dan nilai-nilai positif di dalam benak pengguna TikTok mengalami peningkatan angka penjualan sebanyak 41%. Apalagi jika jenama tersebut ditampilkan dalam konten TikTok yang dihasilkan oleh kreator lainnya dan tidak ditayangkan di akun resmi TikTok jenama tersebut. Namun, syaratnya konten TikTok tersebut tidak boleh bersifat hardselling alias menjual/ mempromosikan produk secara terang-terangan dan agresif layaknya tukang obat koar-koar di tengah pasar dengan janji-janji manis plus bombastis. Tidak demikian! Tapi para KOL (key opinion leaders)/ influencers yang membicarakan jenama-jenama ini dipersilakan untuk membahas atau menampilkan jenama dalam konten TikTok mereka secara apa adanya, alami, tidak mencekoki orang dengan pesan promosi yang memuakkan. Alih-alih demikian, konten tersebut mesti menghibur, tidak menggurui orang, sehingga pesan dari jenama itu bisa masuk secara mulus ke pikiran bawah sadar orang. Dan uniknya, jumlah pengikut bukanlah standar utama level seorang kreator TikTok karena sekarang yang jadi ukuran adalah level engagement dari konten yang dibuat kreator yang bersangkutan, tak peduli jumlah pengikutnya. Bisa jadi ia cuma punya pengikut 20 ribuan tapi jika level engagement atau views videonya mencapai jutaan maka ia lebih berharga daripada kreator yang jumlah pengikutnya 200 ribuan tapi level engagement dan view-nya jauh lebih rendah.

TikTok bisa menggairahkan semangat literasi dan minat baca anak muda jika kita tahu caranya. (Foto: tangkapan layar TikTok)
TikTok bisa menggairahkan semangat literasi dan minat baca anak muda jika kita tahu caranya. (Foto: tangkapan layar TikTok)

Nah, lalu bagaimana kita bisa menerjemahkan semua tren ini ke dalam dunia penulis?

Kita bisa telaah satu contoh konten yang memenuhi 3 tren besar ini.

Video ini adalah konten milik akun TikTok @raniadevina yang menceritakan soal buku "Cantik Itu Luka" tulisan Eka Kurniawan, pujangga kontemporer Indonesia yang karya-karyanya mendunia.

Durasinya tidak panjang. Cuma 1,5 menit tapi sudah bisa menggugah rasa keingintahuan mereka yang menonton untuk segera membeli dan membaca buku tersebut.

Kemudian gaya bertutur Rania sangat antusias, natural, khas anak muda, yang tidak diatur sebagaimana pidato di depan audiens tapi mengalir lancar bak sedang mengobrol bersama teman sekelasnya di kantin sekolah. Tidak pakai bahasa 'canggih' atau rumit apalagi membaca teks yang sudah dipikirkan masak-masak sebelumnya. Semua itu ia ucapkan secara spontan pada saat itu juga. Semuanya simpel dan mudah dipahami semua orang, bahkan anak TK sekalipun.

Di sini Rania juga sukses membangun kredibilitasnya sebagai seorang BookToker (kreator TikTok yang fokus ke buku). Jumlah pengikutnya memang tidak sebanyak akun TikTok artis terkenal atau selebTok yang heboh dengan gimmick 'receh' atau kurang mendidik tapi Anda bisa lihat jumlah likes yang ia terima secara keseluruhan mencapai 4,8 juta. Dan itu sangat tinggi mengingat jumlah pengikutnya cuma 58,2 ribu akun. Jadi, sosok Rania mungkin tidak seterkenal selebriti yang jadi TikToker tapi pengaruhnya di dunia ulasan buku di TikTok tidak bisa diremehkan.

Di konten tersebut, ulasan Rania yang blak-blakan soal buku "Cantik Itu Luka" terasa kredibel sebab ia bukanlah pegawai bisnis penerbit yang merilis novel tersebut. Ia juga bukan seorang buzzer yang diupah Eka Kurniawan atau bisnis penerbitan untuk mau membahas buku tersebut dengan pesan yang sudah dirangkai secara khusus. 

Konten Rania terasa tidak mungkin hasil rekayasa karena bahasanya sangat anak muda dan sangat personal. Rania masih menjadi dirinya sendiri di konten tersebut dan mengutarakan kesannya setelah membaca buku tersebut sehingga orang-orang yang menonton video TokToknya bisa merasakan antusiasme yang sama untuk segera membaca sampai habis.

Akun BookToker lain yang juga menginspirasi dan khas anak muda Gen Z ialah @libraryofthn yang rajin membagikan isi buku yang ia baca.  Di sini gaya kontennya lain dari Rania karena si pemilik akun mungkin lebih introver jadi halaman buku lebih mendominasi daripada wajahnya.

Nah, jadi untuk Anda yang bekerja atau ingin bekerja sebagai penulis buku profesional atau ingin mendapatkan pemasukan dari hobi membaca, cobalah membagikan bahan bacaan itu di media sosial TikTok. Karena selain bisa mendatangkan cuan untuk diri sendiri, konten Anda juga bisa menularkan semangat membaca itu ke anak-anak muda Gen Z dan Alpha yang kerap kita cap tidak suka membaca. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun