Budi menyambut baik tawaran itu dan menganggap bahwa keacuhannya pada karya miliknya itu bukan teladan yang baik bagi para sastrawan yang lebih muda. Ia ingin agar sastrawan-sastrawan sekarang tak semalas dirinya dalam menerbitkan. "Generasi muda harus lebih agresif, lebih aktif dalam mencari pemasaran, penerbitan, dan sebagainya."
Kesalahan lain Budi Darma sebagai pengarang ialah dirinya tidak menulis secara rutin. Jika ia tidak sedang bersemangat, ia tidak menulis sama sekali seperti sekarang. Justru memlihat anak-anak muda saat ini yang menggebu-gebu dalam menulis, ia merasa optimis dan bangga.
Mendengar alasan pemberian anugerah penghormatan baginya dari Okky yang mengklaim Budi Darma memiliki pengaruh bagi generasi selanjutnya, Budi sendiri menampiknya. "... (B)ahwa karya saya memiliki pengaruh atau inspirasi pada generasi-generasi lebih muda, saya terus terang meragukannya," sang pengarang berterus terang. Kata-katanya begitu penuh 'unggah ungguh', merendahkan dirinya sedemikian rupa yang sangat khas Jawa, yakni selalu merasa belum sempurna dan masih memiliki banyak cela yang tidak bisa dibanggakan.
Dengan penuh optimisme, Budi memiliki pengharapan sederhana bahwa generasi muda akan lebih baik daripada generasi sebelumnya. Ini bukan tanpa alasan karena menurut pengamatannya selama ini terhadap perkembangan sastra Indonesia, ada karya-karya sastra yang baik yang dihasilkan oleh anak-anak muda.
Lebih lanjut Budi menyoroti pentingnya bagi para seniman kata untuk menjaga keseimbangan antara privasi saat berkarya dan bersosialisasi seperti yang dilakukan dalam sebuah festival sastra.Â
agi Budi, pengarang harus menulis dengan konsentrasi penuh tanpa gangguan. Akan tetapi, di samping itu mereka juga harus "bertatap muka, mengenal dan saling mempelajari", sabda sang pengarang.
Budi memberikan saran agar dalam meninjau dan mengulas sastra Indonesia, kita sebaiknya tidak hanya berpatokan pada Jakarta sebagai pusat sastra Indonesia. Dengan kata lain, jangan mempersempit cakupan sastra Indonesia menjadi hanya Jakarta.
Jakarta bukan kiblat satu-satunya. Sebuah karya sastra hendaknya masih dianggap karya sastra Indonesia yang patut diulas dan diapresiasi meskipun tidak dikirim ke Jakarta.
Bagaimana dengan karya-karya sastra yang tidak sampai ke Jakarta, tidak dipublikasikan di media-media cetak ibukota? Apakah semua karya itu serta merta dibuang dari khasanah sastra kita? Budi berharap tidak demikian.
"Semua pengarang di daerah yang tidak mengirimkan karyanya ke Jakarta, yang tidak mengirimkan karya-karyanya ke majalah-majalah asuhan bapak H. B. Jassin, itu tidak masuk ke dalam sejarah sama sekali. Padahal kalau kita mau menelusur, karya mereka ada juga yang baik," Budi menegaskan sikap kontranya terhadap pemikiran sentralisasi dalam sastra Indonesia yang ia rasakan masih ada meskipun zaman sudah semodern sekarang dan otonomi sudah merasuk ke berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia. (*/ @akhliswrites)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H