Nah, soal ini pemerintah memang sempat agak 'keblinger'. Seperti kita ketahui ada oknum pesohor yang didapuk pemerintah untuk memperkenalkan pentingnya vaksin ke masyarakat malah menggunakan vaksin sebagai 'senjata pamungkas' untuk berpesta ria layaknya sebelum pandemi. Memang jika pun benar mereka yang hadir sudah divaksinasi, virus masih bisa menjangkit dan menular. Plus, ini mencederai rasa keadilan bagi banyak orang di luar sana yang belum mendapatkan hak istimewa divaksinasi padahal mereka harus bekerja setiap hari dan bertaruh nyawa. Bayangkan sakitnya hati mendapati orang ada yang berpesta pora sementara kita masih terbungkam masker setiap harinya dan dihantui hukuman tatkala lengah menjalankan protokol kesehatan. Jadi, terkemuka saja belum cukup tapi juga bijak dalam menggunakan popularitasnya dan tepercaya dalam menyampaikan informasi.Â
Namun, hal yang patut diapresiasi ialah presiden dan jajarannya menunjukkan itikad baik dengan menjalani vaksinasi pertama sebelum rakyat. Ini menunjukkan niat yang baik sekaligus memberikan teladan.Â
Menyediakan akses prioritas bagi mereka yang sudah mendaftar sebelum vaksin tersedia secara luas
Untuk strategi ini, harus diakui memang keterbatasan jumlah vaksin menjadi kendala utama. Jadi, mereka yang mendaftar pun cuma para tenaga kesehatan. Sementara itu, orang yang bekerja di luar sektor kesehatan belum menjadi prioritas utama. Namun, seperti sudah dibahas tadi, para pekerja di sektor-sektor penting lain juga akan divaksinasi.
Sayangnya, pemerintah sempat kecolongan dengan adanya selebgram yang mengaku dirinya tenaga kesehatan padahal 'cuma' pemilik apotek. Bukan mengkerdilkan jasa pemilik apotek di masa pandemi seperti sekarang. Tanpa mereka memang masyarakat tak bisa mendapatkan obat-obatan dengan mudah. Namun, seharusnya mereka tidak menjadi prioritas karena pemilik tak berjibaku dengan para pelanggan. Mereka bisa saja di rumah dan kondisi ekonomi yang baik juga memungkinkan mereka untuk sebetulnya mengisolasi mandiri sebelum akhirnya bisa mendapatkan vaksin. Lagi-lagi, ini sangat mencederai rasa keadilan dan memang harus ditindak tegas.
Mewajibkan vaksinasi melalui undang-undangÂ
Jauh-jauh hari pemerintah sudah menetapkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang tak cuma berlaku untuk pandemi Covid-19 tetapi juga untuk kasus wabah lainnya. Dan di sini, vaksinasi diwajibkan untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi dalam situasi darurat kesehatan publik seperti sekarang.
Hanya saja, seperti kita ketahui bersama tingkat kepatuhan dan disiplin masyarakat Indonesia mematuhi peraturan (apapun itu) belum memenuhi harapan. Tidak usah kita repot-repot harus membahas kepatuhan menjalan protokol kesehatan dalam masa pandemi Covid-19, kita lihat saja tingkat kepatuhan mengenakan helm dan berkendara di jalan raya sejak berdekade-dekade yang lalu. Sampai sekarang tingkat kepatuhan itu juga belum 100% . Padahal kampanye tertib aturan lalu lintas sudah berjalan lama sekali. Perilaku masyarakat kita cuma berubah tatkala ada penegak hukum dilibatkan atau ada CCTV. Ironisnya, memakai helm dan aturan lalu lintas itu ditujukan sebetulnya untuk membuat mereka sendiri nyaman dan aman di jalan raya.Â
Jadi, jangan cepat berpuas diri dengan memiliki peraturan yang sudah ideal dan bagus. Bagaimana penerapannya di lapangan? Dan bagaimana diri kita sendiri juga menyikapinya? Jangan kita mengharap orang lain patuh tapi diri kita malah melanggar sendiri. Karena sudah jamak di negeri ini, penegak aturan kadang melanggar aturan yang seharusnya ia tegakkan sendiri. Ironis! (*/ Twitter: @Akhliswrites)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H