VAKSINASI Covid-19 di negara kita terus berlangsung. Para pejabat publik dan tenaga kesehatan menjadi prioritas utama, dan disusul oleh para pekerja pers dan para pengemudi ojek daring. Sebuah langkah yang patut diapresiasi di tengah naik turunnya angka kasus positif di tengah masyarakat Indonesia.
Mengingat banyaknya jumlah populasi Indonesia dan luasnya teritori RI, memang musykil rasanya memvaksinasi semua rakyat kita dalam jangka waktu 1-2 bulan. Bahkan tak cuma setahun, upaya vaksinasi nasional bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun. Sungguh bukan program yang instan.
Ini artinya kita tetap harus mematuhi protokol kesehatan secara ketat setidaknya 2-3 tahun mendatang sampai mayoritas rakyat tervaksinasi dan dari sana terealisasilah kekebalan kelompok (herd immunity).
Saya mencoba menelusuri literatur untuk mengetahui bagaimana strategi vaksinasi Covid-19 yang ideal dan mendapatkannya dari sebuah artikel berjudul "Behaviorally Informed Strategies for a National COVID-19 Vaccine Promotion Program". Artikel ini merupakan hasil penelitian ilmuwan di University of Pennsylvania School of Nursing (Penn Nursing) yang dimuat di  Journal of the American Medical Association. Di dalamnya dibagikan lima (5) strategi utama dan pertimbangan yang digunakan untuk memvaksinasi rakyat sebuah negara besar seperti Amerika Serikat dan juga Indonesia. Artikel itu juga diperkaya dengan sudut pandang behavioral science dan social marketing yang memang penting agar strategi lebih efektif dan 'membumi'. Tidak cuma idealis dan 'mengawang-awang'. Jadi, vaksin tidak cuma harus ampuh mencegah manusia terhindar dari keparahan gejala dan kematian akibat Covid-19 tetapi juga harus bisa diterima secara luas oleh siapa saja yang berhak dan harus menerimanya.  Â
Strategi yang direkomendasikan para peneliti dari Penn Nursing itu adalah berikut ini:
Menggratiskan vaksin Covid-19 dan membuatnya mudah diakses
Perihal poin ini, kita sepakat bahwa pemerintah RI sudah sesuai dengan strategi ini. Vaksin Covid-19 digratiskan tanpa ada embel-embel apapun. Menurut laman Covid19.go.id, semua rakyat Indonesia berhak untuk divaksin tanpa syarat apapun. Bahkan jika orang tersebut belum ikut keanggotaan BPJS Kesehatan. Jadi, itikad pemerintah agar vaksinasi terakses semua orang memang tidak bisa diragukan lagi.
Vaksin juga seharusnya tersedia secara luas di berbagai tempat agar vaksinasi makin mudah. Tidak cuma di rumah sakit besar atau puskesmas di kota-kota besar tetapi juga puskesmas dan RS di perdesaan. Ini pekerjaan rumah bagi Indonesia yang memang secara geografis 'tercerai-berai' oleh lautan. Namun, moda transportasi penerbangan dan pelayaran perintis bisa menjadi jawaban untuk menjangkau pelosok nusantara yang paling terpencil sekalipun.
Pekerjaan rumah lain yang tak kalah besar ialah penyediaan lemari pendingin vaksin karena vaksin tak bisa disimpan di suhu ruang apalagi sepanas di daerah khatulistiwa. Jadi, kita mesti bekerja ekstra keras untuk memecahkan masalah ini.
Membuat vaksin sebagai prasyarat layanan publik yang vital
Tanpa vaksin, idealnya warga tidak diberikan layanan publik atau setidaknya tidak menjadi prioritas. Mereka yang sudah divaksin bisa menunjukkan bukti vaksinasi lalu mendapatkan pelayanan publik misalnya memasuki area sekolah, bepergian dengan moda transportasi umum, bekerja di kawasan perkantoran, makan di restoran, dan sebagainya.
Nah, untuk poin satu ini sepertinya di Indonesia belum dilaksanakan atau setidaknya dibahas secara terbuka. Bisa jadi karena jumlah mereka yang sudah divaksin masih sangat sedikit jadi belum memungkinkan. Namun, nantinya jika makin lama sudah makin banyak, ada baiknya kebijakan dan pendekatan semacam ini juga diterapkan agar mereka yang anti vaksin juga mau divaksin meski setengah hati melakukannya.
Menggunakan dukungan (endorsement) terbuka dari para sosok terkemuka dan tepercaya untuk menggenjot tingkat vaksinasi
Nah, soal ini pemerintah memang sempat agak 'keblinger'. Seperti kita ketahui ada oknum pesohor yang didapuk pemerintah untuk memperkenalkan pentingnya vaksin ke masyarakat malah menggunakan vaksin sebagai 'senjata pamungkas' untuk berpesta ria layaknya sebelum pandemi. Memang jika pun benar mereka yang hadir sudah divaksinasi, virus masih bisa menjangkit dan menular. Plus, ini mencederai rasa keadilan bagi banyak orang di luar sana yang belum mendapatkan hak istimewa divaksinasi padahal mereka harus bekerja setiap hari dan bertaruh nyawa. Bayangkan sakitnya hati mendapati orang ada yang berpesta pora sementara kita masih terbungkam masker setiap harinya dan dihantui hukuman tatkala lengah menjalankan protokol kesehatan. Jadi, terkemuka saja belum cukup tapi juga bijak dalam menggunakan popularitasnya dan tepercaya dalam menyampaikan informasi.Â
Namun, hal yang patut diapresiasi ialah presiden dan jajarannya menunjukkan itikad baik dengan menjalani vaksinasi pertama sebelum rakyat. Ini menunjukkan niat yang baik sekaligus memberikan teladan.Â
Menyediakan akses prioritas bagi mereka yang sudah mendaftar sebelum vaksin tersedia secara luas
Untuk strategi ini, harus diakui memang keterbatasan jumlah vaksin menjadi kendala utama. Jadi, mereka yang mendaftar pun cuma para tenaga kesehatan. Sementara itu, orang yang bekerja di luar sektor kesehatan belum menjadi prioritas utama. Namun, seperti sudah dibahas tadi, para pekerja di sektor-sektor penting lain juga akan divaksinasi.
Sayangnya, pemerintah sempat kecolongan dengan adanya selebgram yang mengaku dirinya tenaga kesehatan padahal 'cuma' pemilik apotek. Bukan mengkerdilkan jasa pemilik apotek di masa pandemi seperti sekarang. Tanpa mereka memang masyarakat tak bisa mendapatkan obat-obatan dengan mudah. Namun, seharusnya mereka tidak menjadi prioritas karena pemilik tak berjibaku dengan para pelanggan. Mereka bisa saja di rumah dan kondisi ekonomi yang baik juga memungkinkan mereka untuk sebetulnya mengisolasi mandiri sebelum akhirnya bisa mendapatkan vaksin. Lagi-lagi, ini sangat mencederai rasa keadilan dan memang harus ditindak tegas.
Mewajibkan vaksinasi melalui undang-undangÂ
Jauh-jauh hari pemerintah sudah menetapkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang tak cuma berlaku untuk pandemi Covid-19 tetapi juga untuk kasus wabah lainnya. Dan di sini, vaksinasi diwajibkan untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi dalam situasi darurat kesehatan publik seperti sekarang.
Hanya saja, seperti kita ketahui bersama tingkat kepatuhan dan disiplin masyarakat Indonesia mematuhi peraturan (apapun itu) belum memenuhi harapan. Tidak usah kita repot-repot harus membahas kepatuhan menjalan protokol kesehatan dalam masa pandemi Covid-19, kita lihat saja tingkat kepatuhan mengenakan helm dan berkendara di jalan raya sejak berdekade-dekade yang lalu. Sampai sekarang tingkat kepatuhan itu juga belum 100% . Padahal kampanye tertib aturan lalu lintas sudah berjalan lama sekali. Perilaku masyarakat kita cuma berubah tatkala ada penegak hukum dilibatkan atau ada CCTV. Ironisnya, memakai helm dan aturan lalu lintas itu ditujukan sebetulnya untuk membuat mereka sendiri nyaman dan aman di jalan raya.Â
Jadi, jangan cepat berpuas diri dengan memiliki peraturan yang sudah ideal dan bagus. Bagaimana penerapannya di lapangan? Dan bagaimana diri kita sendiri juga menyikapinya? Jangan kita mengharap orang lain patuh tapi diri kita malah melanggar sendiri. Karena sudah jamak di negeri ini, penegak aturan kadang melanggar aturan yang seharusnya ia tegakkan sendiri. Ironis! (*/ Twitter: @Akhliswrites)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H