Saya baca di media, tema besar hari antikorupsi 9 Desember 2020 ialah "Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Antikorupsi". Tema itu konon dimuat dalam sebuah surat edaran tentang bla bla bla.
Saya tertawa.
Saya baca lagi. Di berita itu, juga dicantumkan tautan untuk mengunduh logo peringatan hari antikorupsi sedunia yang diperingati hari ini. Lalu ada keterangan bahwa upacara peringatan akan diadakan di Gedung Merah Putih dan dipimpin Presiden Jokowi.
Sungguh saya ingin tertawa sekeras-kerasnya.
Saya tidak bisa membayangkan betapa malunya petinggi-petinggi negeri ini terus menggaungkan semangat antikorupsi sementara di dalam hati mereka sendiri menjerit tak berdaya menaklukkan hantu korupsi di instansi yang mereka pimpin atau berdoa agar tak tergelincir masuk dalam operasi tangkap tangan KPK.
Kapan kita sadar bahwa semua seremoni penghabis dana rakyat ini harus dihentikan atau setidaknya dikurangi dan lebih fokus pada kerja nyata memberantas korupsi?
Memang bisa korupsi diberantas dengan upacara-upacara, spanduk-spanduk, logo-logo, rilis pers-rilis pers, dan segala remeh temehnya? Entah Anda, tapi saya gagal menemukan esensi dan relevansinya dengan pemberantasan korupsi yang sebenar-benarnya.
Saya ingin menegaskan bahwa jika pemerintah memang memiliki tekad dan keinginan memberantas korupsi, segera terapkan hukuman mati bagi para pelakunya. Titik.
Ada dua alasan kuat yang membuktikan bahwa hukuman mati bagi koruptor akan menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.
Pertama, sebuah negara dengan tingkat korupsi yang tinggi akan berpeluang mengalami jumlah kematian yang lebih tinggi juga dalam bencana alam gempa bumi.
Lho kok bisa?
Sebuah penelitian oleh University of Colorado at Boulder yang dirilis hasilnya Januari tahun 2011 menyatakan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi mencatatkan jumlah korban tewas yang juga lebih banyak pasca musibah gempa bumi yang menimpa. Ini terjadi karena 83% jumlah kematian itu disebabkan oleh runtuhnya gedung-gedung dan bangunan selama gempa akibat konstruksi yang buruk karena dana pembangunannya 'disunat'.
Selama ini kita tahu, praktik pembangunan infrastruktur yang korup juga melanda Indonesia. Akibatnya, mutu bangunan buruk, materi bangunan yang dipakai di bawah standar, metode pembangunan juga menyedihkan, dan faktor-faktor konstruksi lain yang diabaikan tetapi sebenarnya bisa diperhitungkan jika dananya tidak disunat koruptor.
Studi ini tidak bisa dianggap sebelah mata karena memperhitungkan data selama 3 dekade (sejak 1980 hingga 2010) tentang jumlah korban tewas akibat gempa di berbagai negara. Tercatat sekitar 18.300 kematian disebabkan oleh tidak adanya kegiatan rekayasa antisipasi gempa bumi yang efektif.
Dan ini sangat relevan di Indonesia sebab negara ini berada di area "Ring of Fire" yang dilewati jalur gunung api yang memicu banyak gempa setiap saat tanpa diduga-duga.
Dengan kata lain, jika satu koruptor menyunat dana konstruksi proyek rakyat demi keuntungan pribadi, tak cuma 1 orang rakyat kecil yang mati. Bisa dikatakan korupsi adalah pembunuhan massal secara tak langsung.
Dengan lembeknya sikap pemerintah terhadap koruptor, secara tak langsung pemerintah juga membiarkan pembunuhan terhadap rakyat terjadi. Jadi, jika ada yang berkata menghukum mati seorang koruptor terlalu kejam, ia sangat perlu tahu fakta ini.
Kedua, koruptor harus dihukum mati karena tindak korupsi memperlambat pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Sebagaimana kita ketahui, Presiden Jokowi sangat menaruh perhatian dalam hal pertumbuhan ekonomi, bahkan harus diakui porsi perhatiannya pada pertumbuhan ekonomi lebih besar dari penanganan pandemi. Itulah kenapa beliau tidak pernah menyarankan tindakan 'lockdown' secara menyeluruh. Ya karena bisa mematikan kegiatan ekonomi rakyat!
Di satu sisi, kita patut mengapresiasi sikap Presiden Jokowi untuk membantu ekonomi terus maju. Hanya saja, tampaknya beliau lupa bahwa sekeras apapun usaha rakyat dan pemerintah memajukan perekonomian, hasilnya akan menyusut juga karena digembosi koruptor-koruptor di dalam jajaran birokrasi.
Perkenankan saya mengutip hasil penelitian dari University of Greenwich yang dipublikasikan hasilnya tahun 2011. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kasus korupsi  di sebuah negara merongrong dampak positif liberalisasi ekonomi, terutama berlaku pada negara-negara yang pendapatannya rendah.
Apakah Indonesia termasuk negara berpendapatan rendah? Menurut data World Bank, Indonesia memang sudah naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas (US$4.046-US$12.535 per tahun). Bappenas memprediksi RI akan merangsek ke jajaran lima negara dengan pendapatan tertinggi di dunia tahun 2045 nanti.
Apakah impian itu akan terwujud? Bisa ya, bisa tidak. Karena pemberantasan korupsi sangat diperlukan dalam pertumbuhan ekonomi yang stabil. Catat, stabil! Kalau cuma tumbuh secara sporadis dan tidak berkesinambungan, mungkin RI bisa tapi secara stabil dan kokoh agar cepat pulih setelah dihantam perlambatan ekonomi seperti sekarang, RI masih punya banyak pekerjaan rumah.
Dikatakan oleh peneliti Dr Mehmet Ugur dari the Business School, University of Greenwich dan Dr Nandini Dasgupta dari the School of Humanities di universitas yang sama (2011), tindak pemberantasan korupsi mesti dileburkan dengan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan transparan dan manajemen investasi dan belanja publik agar bisa menghasilkan angka pertumbuhan ekonomi yang spektakuler.
Akhirnya, saya hanya ingin mengucapkan selamat memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Semoga peringatan tahun ini tidak mirip peringatan-peringatan sebelumya, yang cuma sekadar peringatan hambar dan hampa. Salam antikorupsi! (*/ Twitter: @akhliswrites)
Daftar Referensi:Â
colorado.edu
katadata.co.id
gre.ac.uk
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI