GURU di negeri kita dikenal sebagai profesi yang kurang menjanjikan. Padahal jasanya sangat besar.
Akibatnya kesejahteraan para guru kita terbilang lebih rendah dibandingkan para guru di negara-negara lain. Tak aneh kita sesekali masih bisa menemukan berita adanya guru yang harus bekerja di luar waktu mengajar demi menutupi kebutuhan hidup dan keluarga. Apalagi jika guru itu masih berstatus honorer.
Kalau ditanya kenapa kesejahteraan guru harus ditingkatkan lagi (baca: tidak cuma gaji tetapi juga pengembangan karier dan kesempatan memperbarui keterampilan dan pengetahuan), alasannya bisa jadi ada banyak sekali.
Namun, di sini saya ingin mengemukakan beberapa alasan yang didukung dengan hasil studi ilmiah yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian kredibel yang tersebar di beberapa negara.
Karena Guru Harus Beradaptasi dengan Kemajuan Teknologi
Dengan gaji yang pas-pasan, guru akan terjebak pada rutinitas hariannya. Mana sempat mereka fokus untuk meningkatkan keterampilan mengajar mereka agar bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi di abad ke 21 sementara di pikiran mereka masih memikirkan soal perut anak-anak yang kelaparan di rumah?
Berdasarkan hasil studi Academy of Finland (2016) mengenai peran guru dalam abad teknologi informasi, metode pembelajaran tradisional sudah usang dan peran guru sebagai penyedia pengetahuan bagi murid juga harus segera diubah.Â
Mana bisa guru-guru menyediakan informasi dan pengetahuan sebanyak Internet? Maka dari itu, anak-anak kita menganggap guru-guru mereka yang bergaya mengajar lama membosankan dan belajar sendiri di Internet jauh lebih menyenangkan.
Di sini, para guru harus belajar keras menyelami peran sebagai FASILITATOR yang memandu para murid dan terlibat aktif dalam proses pemecahan masalah dengan mereka, bukan semata-mata PENGGELONTOR informasi untuk dijejalkan ke murid-murid.
Karena Guru Harus Berjuang Memperbaiki Kelemahan Bawaan Murid
Bagi sejumlah orangtua, menyekolahkan anak mirip menitipkan mereka ke guru sehingga mereka tinggal menerima "hasil bersihnya". Pokoknya sudah membayar uang SPP, iuran ini itu, hasilnya anak mereka mestinya bisa dididik dengan baik dan hasil akademisnya memuaskan.
Namun, kadang orangtua belum tahu bahwa dalam sebagian kasus di mana anak-anak tidak bisa mencapai hasil optimal di sekolah bukan karena kinerja guru yang kurang maksimal tetapi lebih pada karakter bawaan, genetis yang diturunkan dari orangtua pada anak-anak mereka.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Association for Psychological Science (2010) menghasilkan kesimpulan bahwa murid-murid yang bermasalah di sekolah menyedot waktu guru-guru mereka lebih banyak. Dan ditemukan bahwa perbedaan antara anak-anak yang mudah diajar dan sulit diajar bersifat genetis.
Di sini, kita diajak memahami bahwa proses belajar mengajar bukan cuma soal guru mentransfer pengetahuan dan nilai-nilai ke siswa tetapi juga para siswa itu bisa memengaruhi guru-guru mereka sebab belajar mengajar adalah sebuah interaksi sosial dua arah.Â
Jadi jika hasilnya dianggap kurang memuaskan, introspeksi semestinya tak cuma dilakukan pihak guru tetapi juga murid dan orang tua mereka. Dengan demikian, jika diketahui memang yang harus diperbaiki ialah karakter murid hasil didikan di rumah, hendaknya guru tak sepenuhnya disalahkan.
Dan yang patut diperhatikan ialah jika karakter atau sifat yang kurang baik terus berkembang dalam diri murid, guru-guru di tingkat selanjutnya akan menanggung beban yang makin besar.Â
Misalnya jika di tingkat SD sudah terlihat ada karakter yang kurang baik dalam diri seorang murid, para guru anak tersebut di SMP dan SMA akan harus bekerja lebih keras mendisiplinkannya dan membuatnya lebih baik.Â
Di sinilah kita diajak memahami peran penting guru-guru di tingkat prasekolah maupun SD, yang ternyata tugasnya tidak sesederhana bayang kita.
Karena Guru yang Stres Bisa Membuat Muridnya Stres Juga
Sebuah penelitian dari Michigan State University tahun 2017 menyatakan fenomena burnout atau stres berkepanjangan yang ditemukan di antara para guru baru tampaknya bersifat menular. Dan stres berkepanjangan ini diakibatkan karena mereka harus menyesuaikan diri dengan budaya organisasi di sekolah mereka.Â
Guru-guru yang diteliti di sini mengaku bekerja siang malam bahkan hingga akhir pekan demi menyesuaikan diri mereka di sekolah baru. Begitu banyak target dan ekspektasi dari pihak sekolah, orang tua dan pemerintah yang harus mereka penuhi dalam waktu bersamaan.
Tingkat stres guru bisa dikurangi dengan mengubah budaya organisasi di sekolah-sekolah. Ini harus dipahami benar oleh para pembuat kebijakan dan administrator sekolah dan pendidikan. Karena jika guru-guru makin stres, kualitas belajar mengajar tentu akan turut terkena dampaknya.Â
Karena Guru yang Kompeten di Bidangnya Menaikkan Peluang Siswa Mengenyam Pendidikan Tinggi
Menurut penelitian University of Missouri-Columbia (2018), para siswa SMA yang diajar oleh guru-guru yang dulunya lulusan disiplin ilmu tertentu yang mereka ajarkan (daripada guru-guru yang memegang gelar pendidikan secara umum) tercatat berpeluang lebih tinggi untuk mengenyam pendidikan tinggi (S1) dibandingkan siswa yang tidak diajar guru sejenis itu.
Jadi, jika Anda memiliki anak yang ingin lolos ke bangku perguruan tinggi, amati dulu latar belakang pendidikan guru-guru mereka di SMA.Â
Apakah guru-guru ini dahulu kuliah di jurusan yang ilmunya sekarang mereka ajarkan pada anak Anda atau tidak. Misalnya, apakah guru bahasa Indonesia anak Anda seorang lulusan jurusan Sastra Indonesia/ Pendidikan Bahasa Indonesia sebelumnya?
Kenapa ini penting? Karena guru-guru yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang di bawah standar kurang bisa melejitkan potensi akademik anak-anak didik mereka. Sebaliknya, para guru dengan kualifikasi akademik yang mumpuni bisa berpeluang membantu siswa meningkatkan pencapaian akademik secara lebih optimal.
Lalu bagaimana dengan guru-guru yang memegang gelar mengajar secara general/ umum, tidak spesifik? Bukan berarti mereka harus diberhentikan begitu saja. Di sinilah perlunya guru diberikan waktu dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi akademik mereka sehingga pada gilirannya akan bisa membantu para siswa lebih sukses di masa depan.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Menambah Beban Hidup Guru
Jangan kira ini terjadi cuma di Indonesia. Di banyak negara, hal serupa juga melanda. Dikutip dari penelitian University at Buffalo (November 2020), proses pembelajaran jarak jauh yang ditambah dengan setumpuk tanggung jawab di luar pekerjaan membuat para guru terutama yang juga menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga menjadi terbebani berkali-kali lipat.
Bayangkan jika Anda seorang guru dan pada saat yang sama harus mengasuh anak kecil (bayi atau balita) yang memerlukan perhatian ekstra sepanjang waktu. Jika gaji Anda terlalu kecil, mana bisa membayar upah pengasuh untuk meringankan beban?
Dan gilanya, di saat yang sama ekspektasi juga meningkat. Studi ini mensurvei 12 ibu yang juga bekerja sebagai guru di AS baik sebagai guru SD, SMP, dan SMA. Mereka mengemukakan di masa pandemi ini ekspektasi dari sejumlah pihak terhadap diri dan peran yang mereka jalankan makin membubung. (*/Twitter: @akhliswrites)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H