SIANG itu saya berdiri tegak di depan sebuah matras yang lebih tebal dari kasur yang biasa saya tiduri saban malam. Saya tidak tahu apa yang saya harus lakukan. Otak saya beku. Otot-otot di tubuh saya juga tidak tahu-menahu.
Sebuah suara memberikan aba-aba dari samping: "Sekarang bayangkan kamu melempar badan ke matras itu..."
"Baiklah, saya akan melemparkan diri saya ke belakang...," kata saya dalam kepala, mencoba menenangkan diri dalam suatu kondisi yang mencekam. Saya tak bisa menampik bahwa saya takut!
Siang di bulan Maret 2018 itu saya yang terbiasa cuma mengagumi keindahan gerakan back handspring harus mencoba melakukannya sendiri dengan tubuh ini.
Saya mencoba membayangkan diri untuk melemparkan badan ini ke matras di belakang. Kedua lengan saya turunkan setengah di atas lutut, kedua lutut juga agak ditekuk dan dalam kondisi seakan hendak jongkok seperti itu, saya harus melecutkan badan bak cemeti ke belakang. Lengan dan kaki saya bekerja keras menerjemahkan instruksi dari otak sebagai hasil masukan dari suara itu.
Sebuah suara di dalam tempurung kepala memberontak: "Bagaimana kalau leher kamu keseleo? Yakin kamu bisa?"
Saya nekat saja. Bruggg! Dan akhirnya bisa!
"Ya, gerakannya sudah lumayan bagus," puji suara itu dari samping saat saya masih terkapar di matras setelah percobaan yang ke-12. Satu kali lagi mungkin saya akan lebih beruntung. Lucky 13!
Saya bangkit dari matras hitam dengan bubuk magnesium yang bertebaran itu. Di sekeliling saya, terhampar matras raksasa dengan pegas-pegas kukuh yang bersemayam di dalamnya. Lalu ada kuda-kuda pelana di sebelah kiri saya. Permukaannya sedikit berkarat. Lalu di sebelah pojok sana, sepasang tiang menyangga alat gelang-gelang. Dan sebuah palang berdiri terasing jauh di pojok lainnya.
Saya bayangkan diri saya menggenggam gelang-gelang itu dan memanjangkan tubuh ke depan sampai badan sejajar dengan lantai dengan wajah merah padam dan urat-urat leher menegang. Itulah pose 'Maltese' yang saya impikan.
Khayalan saya konyol karena badan saya terlalu ringkih untuk itu. Tapi tidak ada kata mustahil. Dan untuk itulah saya di Gedung Senam, Duren Sawit, Jakarta Timur ini. Saya ingin memulai langkah pertama saya setelah tertunda beberapa dekade.
Di usia yang jauh lewat masa remaja, terdengar konyol untuk baru memulai berlatih senam artistik. Toh saya masih antusias ke sini. Karena di sinilah saya bisa bertemu dengan si pemilik suara tadi: Jonathan Sianturi, seorang mantan pesenam artistik putra negeri ini yang wajah dan gerakan masih membekas di benak saya. Saya kerap membaca laporan media soal prestasi-prestasinya di kancah senam artistik yang mengutamakan fisik yang prima sehingga bisa mengeksekusi dengan mulus gerakan-gerakan yang manusia awam tak akan bisa lakukan.
Sejurus kemudian, Bang Jo - begitu ia akrab dipanggil oleh para pesenam muda gemblengannya - menyuruh saya beristirahat sejenak. "Recovery bentar...," ucapnya pada saya.
Saya mengikuti kelas senam artistik untuk para pemula dewasa hari itu dan merasa senang bisa bertemu sumber inspirasi saya sejak masa kecil untuk terus berolahraga dari usia muda hingga renta.
Saya sempat kehilangan jejaknya. Sejak 2004, Bang Jo memang sudah berhenti berkompetisi sebagai atlet profesional. Namun, ada pepatah dalam dunia senam: "Sekali menjadi pesenam, akan menjadi pesenam selamanya." Otomatis, berita-berita soal dirinya sudah lenyap di media massa. Dan saya juga larut dalam kegiatan sekolah hingga saya lulus kuliah dan mulai bekerja di Jakarta di tahun 2010. Tahun 2018 takdir mempertemukan saya dengan sumber inspirasi masa kecil saya ini.
Di masa kanak-kanak, saya ingin mencoba senam artistik setelah menyaksikan aksi Bang Jo di perhelatan PON dan SEA Games 1997. Sayang seribu sayang, di kota kelahiran saya, senam artistik kalah pamor dari bulutangkis yang sudah mendapat tempat di hati para penyokong dana dan masyarakat luas. Terpaksa saya mengubur impian saya menekuni senam dan dengan setengah hati mengikuti olahraga-olahraga populer yang saya tak minati sama sekali.
Saya mencoba mencari informasi tentang Bang Jo dengan bantuan Google. Namun, apa daya tidak ada hasil yang memuaskan. Bahkan di Wikipedia, saat saya bisa menemukan profil-profil olahragawan masyhur nusantara, saya tetap tak bisa menemukan jejak prestasinya. Beberapa tulisan tercecer di sana-sini bercerita tentang sepak terjangnya tetapi tidak komprehensif. Sayang sekali, coba ada buku biografinya. Pasti sudah saya beli dan baca.
Saya singkirkan ambisi itu karena bagaimana bisa saya baru bertemu dengannya dan memintanya langsung untuk menjadi subjek tulisan saya? Kalau saya di posisinya pun, saya akan berpikir seribu kali untuk bercerita panjang lebar soal masa lalu dan kehidupan saya pada orang yang baru saya kenal.
Empat hari kemudian, kami bertemu kembali karena saya tahu begitu memulai, saya harus melaju sampai selesai. Kami latihan senam lagi untuk membiasakan otak untuk bekerja mengatur kerja setiap otot dan koordinasi antarotot di badan dalam gerakan-gerakan senam dari yang semudah berguling ke depan (forward roll) hingga berdiri dengan kedua tangan (handstand).
Entah bosan atau tidak, tapi bagi Bang Jo berlatih di sini sudah menjadi rutinitas sehari-hari baginya. Tidak ada unsur paksaan. ia menjalani semuanya dengan sepenuh hati. Padahal ia sudah berlatih senam sejak usia 6 tahun sejak ia diajak mendiang ayahnya berlatih di sebuah gedung senam di Jl. Sabang, belakang Pusat Perbelanjaan Sarinah.
Kini ia sibuk dengan aktivitas sebagai pelatih senam artistik putra Indonesia sekaligus menjalankan klub senam miliknya sendiri yang diberinya nama "Jonathan Gymnastics Club".
Di sela-sela latihan kami, Bang Jo membeberkan banyak hal. Misalnya pengalamannya berlatih sebagai pesenam dulu. "Wah, kalau dibandingkan dengan cara melatih para pelatih zaman dulu, cara melatih saya terkesan masih lembut," ucapnya.
Ia mengenang kerasnya masa-masa berlatih di bawah pelatih-pelatih asing. "Cara melatih mereka sangat keras. Pokoknya mengandalkan repetisi dan tak segan memukul atlet binaannya kalau membuat kesalahan."
Bang Jo mengaku beruntung pernah mengecap pengalaman berlatih dengan sejumlah pelatih mancanegara, dari China, Korea, Rusia, hingga Bulgaria.
Setelah berlatih beberapa lama, saya masih juga menghadapi mental block yang besar dalam melakukan back handspring.
Sebenarnya saya sudah tidak ada masalah berarti saat mengeksekusi gerakan ini dengan matras tinggi di belakang saya. Tapi begitu matras setinggi lutut itu disingkirkan, otak saya seolah memberitahukan kecemasan akan ancaman potensial. Seolah-olah saya tidak mempercayai kekuatan kedua telapak tangan saya dalam menopang tubuh agar kepala ini tidak terbentur lantai. Konsekuensinya, saya bisa melenting dengan percaya diri saat masih ada matras setinggi lutut itu. Begitu matras itu tidak ada, keberanian dan kepercayaan diri saya juga sirna seketika.
Padahal secara esensi, gerakannya sama saja. Hanya saja saya harus membangun kepercayaan diri itu dengan imagery, demikian kata Bang Jo.
Saya mencoba meresepi kata-katanya itu. Pertama-tama saya tentu heran. "Apa hubungannya imagery dengan senam?" protes saya dalam hati. Rasa-rasanya kedua bidang ini sama sekali tidak berkaitan, batin saya terus memberontak.
Sebagai mantan mahasiswa sastra, saya pernah belajar mengenai imagery. Menurut Collins Dictionary, imagery merujuk pada bayangan yang kita ciptakan dalam benak/ otak kita berdasarkan pada kata-kata yang biasanya ada dalam karya sastra seperti syair, bait lagu, atau puisi.
Lama-kelamaan saya paham dengan saran Bang Jo untuk menggunakan imagery dalam berlatih gerakan-gerakan yang menantang.
"Kadang dalam melakukan gerakan-gerakan senam, kita harus menggunakan imagery karena apa yang kita pikirkan itu mempengaruhi realitas," tegasnya.
Dengan kata lain, pikiran memiliki pengaruh pada apa yang terjadi dalam kenyataan. Jika Anda hanya berpikir,"Duh, saya akan gagal pasti habis ini" atau "Gerakan ini susah. Pasti saya jatuh deh!", vibrasi pikiran itu seolah akan mengirimkan sebuah sinyal ke alam semesta bahwa Anda memang pantas untuk jatuh. Maka, saran Bang Jo, bangunlah mentalitas positif melalui imagery yang positif juga.
Dan inilah tantangan mengajarkan pada orang yang sudah dewasa, selain tubuh yang sudah lebih kaku dan terbiasa dengan rutinitas lainnya, mental mereka juga lebih sulit dibentuk.
Kenapa? Karena kita sebagai orang dewasa sudah memiliki kemampuan untuk membentuk pendapat dan pemikiran sendiri. Dan kita lebih asertif dan defensif dalam memegang opini itu dibandingkan anak-anak.
Karena itu, saya memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar di aspek ini. Bila saya sudah menaklukkan mental block satu ini, saya akan bisa menaklukkan yang lain juga.
Mental block ini jugalah yang menghantuinya tatkala dirundung cedera dan musibah dalam keluarga seperti wafatnya sang ayah saat hendak berlaga. Namun, sebagai seorang atlet ia telah dilatih sebagai pejuang dengan mental baja. Hingga bahkan saat cedera belum sembuh, ia tetapkan hati untuk tetap berlaga membela negara dan menuai medali.
Perlahan-lahan saya bisa mengikis penghalang ini. Matras tebal itu pelan-pelan disingkirkan dan digantikan matras yang lebih tipis. Hingga akhirnya saya bisa melontarkan diri saya ke belakang tanpa mendarat di kepala. Tapi di kedua telapak tangan. Lalu berdiri kembali! Ah, senangnya.
Dua tahun berselang, kesibukan Bang Jo makin menggunung. Persiapan untuk PON 2020 di Papua menjadi fokusnya hingga kemudian datanglah Coronavirus di Indonesia. Perhelatan nasional itu pun ikut ditunda. Dan latihan kami pun terhenti sementara. Entah kapan saya bisa kembali berlatih, tetapi saya masih akan terus mengingat inspirasi darinya soal pentingnya berlatih meruntuhkan mental block dengan aksi dan imajeri. Suatu pelajaran yang pastinya bisa membuat saya dan Anda bisa bertahan selama pandemi.  (*/)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI