Di usia yang jauh lewat masa remaja, terdengar konyol untuk baru memulai berlatih senam artistik. Toh saya masih antusias ke sini. Karena di sinilah saya bisa bertemu dengan si pemilik suara tadi: Jonathan Sianturi, seorang mantan pesenam artistik putra negeri ini yang wajah dan gerakan masih membekas di benak saya. Saya kerap membaca laporan media soal prestasi-prestasinya di kancah senam artistik yang mengutamakan fisik yang prima sehingga bisa mengeksekusi dengan mulus gerakan-gerakan yang manusia awam tak akan bisa lakukan.
Sejurus kemudian, Bang Jo - begitu ia akrab dipanggil oleh para pesenam muda gemblengannya - menyuruh saya beristirahat sejenak. "Recovery bentar...," ucapnya pada saya.
Saya mengikuti kelas senam artistik untuk para pemula dewasa hari itu dan merasa senang bisa bertemu sumber inspirasi saya sejak masa kecil untuk terus berolahraga dari usia muda hingga renta.
Saya sempat kehilangan jejaknya. Sejak 2004, Bang Jo memang sudah berhenti berkompetisi sebagai atlet profesional. Namun, ada pepatah dalam dunia senam: "Sekali menjadi pesenam, akan menjadi pesenam selamanya." Otomatis, berita-berita soal dirinya sudah lenyap di media massa. Dan saya juga larut dalam kegiatan sekolah hingga saya lulus kuliah dan mulai bekerja di Jakarta di tahun 2010. Tahun 2018 takdir mempertemukan saya dengan sumber inspirasi masa kecil saya ini.
Di masa kanak-kanak, saya ingin mencoba senam artistik setelah menyaksikan aksi Bang Jo di perhelatan PON dan SEA Games 1997. Sayang seribu sayang, di kota kelahiran saya, senam artistik kalah pamor dari bulutangkis yang sudah mendapat tempat di hati para penyokong dana dan masyarakat luas. Terpaksa saya mengubur impian saya menekuni senam dan dengan setengah hati mengikuti olahraga-olahraga populer yang saya tak minati sama sekali.
Saya mencoba mencari informasi tentang Bang Jo dengan bantuan Google. Namun, apa daya tidak ada hasil yang memuaskan. Bahkan di Wikipedia, saat saya bisa menemukan profil-profil olahragawan masyhur nusantara, saya tetap tak bisa menemukan jejak prestasinya. Beberapa tulisan tercecer di sana-sini bercerita tentang sepak terjangnya tetapi tidak komprehensif. Sayang sekali, coba ada buku biografinya. Pasti sudah saya beli dan baca.
Saya singkirkan ambisi itu karena bagaimana bisa saya baru bertemu dengannya dan memintanya langsung untuk menjadi subjek tulisan saya? Kalau saya di posisinya pun, saya akan berpikir seribu kali untuk bercerita panjang lebar soal masa lalu dan kehidupan saya pada orang yang baru saya kenal.
Empat hari kemudian, kami bertemu kembali karena saya tahu begitu memulai, saya harus melaju sampai selesai. Kami latihan senam lagi untuk membiasakan otak untuk bekerja mengatur kerja setiap otot dan koordinasi antarotot di badan dalam gerakan-gerakan senam dari yang semudah berguling ke depan (forward roll) hingga berdiri dengan kedua tangan (handstand).
Entah bosan atau tidak, tapi bagi Bang Jo berlatih di sini sudah menjadi rutinitas sehari-hari baginya. Tidak ada unsur paksaan. ia menjalani semuanya dengan sepenuh hati. Padahal ia sudah berlatih senam sejak usia 6 tahun sejak ia diajak mendiang ayahnya berlatih di sebuah gedung senam di Jl. Sabang, belakang Pusat Perbelanjaan Sarinah.
Kini ia sibuk dengan aktivitas sebagai pelatih senam artistik putra Indonesia sekaligus menjalankan klub senam miliknya sendiri yang diberinya nama "Jonathan Gymnastics Club".
Di sela-sela latihan kami, Bang Jo membeberkan banyak hal. Misalnya pengalamannya berlatih sebagai pesenam dulu. "Wah, kalau dibandingkan dengan cara melatih para pelatih zaman dulu, cara melatih saya terkesan masih lembut," ucapnya.