Secepat kilat pikiran saya teringat kembali dengan kalimat-kalimat Nh. Dini itu. Kalimat-kalimat yang mengingatkan saya bahwa memang nyawa saya masih dilindungi-Nya.Â
Meski susah untuk mengucapkan syukur saya karena telinga pekak dengan teriakan ibu tadi, akhirnya malam ini saya bisa mengucapkannya juga. Ternyata perlu ketenangan untuk bisa bersyukur dengan lebih nikmat.Â
Dan tentu, kalau cuma doa, kurang afdol rasanya jadi manusia yang konon bisa membentuk masa depannya sendiri sampai-sampai ingin menggantikan peran Tuhan YME, sebagaimana sabda Noah Hariri di bukunya "Homo Deus". Harusnya ada usaha juga agar kejadian semacam ini bisa dicegah di kemudian hari.Â
Atau mungkin insiden ini akan terlupakan begitu saja, dan kehidupan akan berjalan sebagaimana biasa. Toh juga belum ada korban jiwa, kan?
Tapi karena lagi-lagi saya warga proletar Jakarta yang (memilih secara sadar untuk) tidak punya kemewahan berkendaraan pribadi, apa yang saya bisa perbuat kecuali dengan setia menunggu perbaikan mutu pelayanan transportasi publik ini dan menuliskan ini di sini?
Entah dengan Anda, tetapi bagi saya yang sudah memasrahkan mobilitas saya pada transportasi publik dan menuruti imbauan para otoritas untuk menekan polusi dengan naik moda transportasi umum, apakah saya masih harus juga mempertaruhkan keselamatan saya sekali lagi? (*/akhlis.net)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H