Tingkat pendidikan bukan indikator yang akurat untuk mengukur kinerja seseorang dalam pekerjaannya
Persyaratan gelar akademik tertentu (misalnya kandidat harus mengantongi gelar S2 atau S3 dari universitas yang 'mentereng') turut mengurangi mobilitas sosial. Generasi muda dengan latar belakang finansial yang kurang akan lebih sulit memperbaiki kualitas hidup mereka.
Banyak universitas yang belum mampu dalam mengajarkan soft skills yang dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan (terutama yang bersifat strategis di zaman Industri 4.0) sehingga setinggi apapun gelarnya tetap 'percuma' jika tidak disertai soft skills yang memadai. Soft skills (keterampilan-keterampilan yang tidak diajarkan di ruang kelas sebagaimana hard skills) misalnya adalah kemampuan memecahkan masalah, kolaborasi, pelayanan konsumen, komunikasi, dan sebagainya. Justru soft skills inilah yang lebih tinggi nilainya daripada hard skills karena lebih sulit ditiru mesin. Sebagaimana kita ketahui Artificial Intelligence (AI) sekarang sudah mulai merebak di berbagai lini industri dan mulai mengubah lansekap dunia kerja dan mengambil alih pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bersifat keterampilan 'kasar'. Dengan mesin yang makin cerdas, pekerjaan-pekerjaan yang bersifat hard skills akan sirna dan digantikan mesin. Tenaga kerja manusia hanya akan bisa bertahan jika mereka mengadopsi soft skills.Â
Solusinya ialah seluruh universitas harus meningkatkan nilai tambah bagi mahasiswa mereka dengan tidak hanya memberikan gelar - entah itu sarjana, magister atau doktor - Â tetapi juga soft skills. Dengan demikian, dunia korporasi juga akan sedikit demi sedikit mengubah cara pandang mereka dengan tidak cuma menitikberatkan pada pendidikan tinggi sebagai tolok ukur potensi kerja dan dapat memulai untuk merekrut tenaga kerja dengan perspektif yang lebih terbuka dan fleksibel.
Dari situ, kita mulai bertanya: Di Indonesia, sudah adakah universitas yang bisa menjawab tantangan baru untuk menyuguhkan gelar sekaligus soft skills?
Jawabannya: SUDAH ADA.
Namanya SAMPOERNA UNIVERSITY.
Yang membuat Sampoerna University berbeda ialah cara pandang dan pendekatannya yang segar dan baru terhadap pendidikan tinggi di Indonesia yang selama ini masih berorientasi pada gelar akademik semata. Itulah kenapa sebagian masyarakat kita menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan gelar, dari yang kecil-kecilan seperti menyediakan jasa joki dalam ujian masuk perguruan tinggi, mencontek, sampai mendaftar ke universitas yang abal-abal alias palsu. Indonesia sudah menjadi ladang subur bagi jaringan perdagangan ijazah dan gelar palsu (sumber: Liputan6.com).
Sampoerna University mengambil langkah yang berbeda dalam mendidik para mahasiswa dan mahasiswinya dengan menyuguhkan semua program studinya dalam bahasa internasional, bahasa Inggris, dengan tujuan agar lulusannya kelak akan dapat bersaing tidak hanya di lingkup nasional tetapi juga internasional. Ini sangat penting karena banyak anak muda Indonesia yang 'jago kandang'.Â
Mereka biasa menjadi juara di lingkup mereka sendiri tetapi begitu dinaikkan ke level yang lebih luas, mereka kurang percaya diri karena terkendala kemampuan komunikasi dalam bahasa Inggris. Tentu hal ini sangat disayangkan sebab banyak potensi generasi muda kita yang terhambat dan terpendam tanpa sempat dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa, negara dan dunia karena kemampuan berbahasa Inggris yang kurang memadai.