Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mana yang Lebih Penting, Gelar Akademik atau Soft Skills?

24 Januari 2019   11:11 Diperbarui: 24 Januari 2019   11:30 1771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam artikel Harvard Business Review, dikatakan bahwa hampir separuh dari jumlah total generasi muda yang masuk angkatan kerja (usia 25-34 tahun) di negara-negara maju dan hampir separuhnya di AS telah lulus dari berbagai universitas. Di tengah kondisi ekonomi dunia yang masih belum sepenuhnya stabil dari dampak resesi ekonomi global, tentu hal ini membawa masalah baru. Ternyata memiliki gelar akademik yang gemerlap dari kampus ternama tidak serta merta membuat seseorang langsung bisa mendapatkan pekerjaan idamannya.

Dari sini kita tahu bahwa masalah yang terjadi di Indonesia juga merupakan fenomena global. Di sini kita kerap membaca berita tingginya angka pengangguran nasional yang juga di dalamnya ada jumlah pengangguran terdidik yang bergelar sarjana. Kenyataan itu membuat sebagian masyarakat menjadi mulai pesimis dengan manfaat mengenyam pendidikan tinggi. "Lho, sudah susah-susah kuliah dan dapat titel sarjana kok masih nggak dapet kerjaan?" Begitu cibir orang.

Akar permasalahannya ternyata juga sama persis: Adanya kesenjangan antara apa yang dipelajari generasi muda kita dengan apa yang dibutuhkan oleh para pemberi kerja (atau jika memang mereka ingin menjadi entrepreneur, apa yang mereka butuhkan sehingga bisa menjadi entrepreneur sukses). Kesenjangan ini yang menjadi biang keladi mengapa banyak generasi muda angkatan kerja yang baru lulus tidak serta merta siap untuk bekerja begitu mereka lulus dari kampus masing-masing.

Pertanyaan yang kemudian muncul:Apakah gelar akademik masih berharga untuk dikejar?

Tentu gelar masih berharga. Bahkan jika Anda berencana untuk tidak menjadi seorang pegawai dan hendak menjadi pemilik bisnis/ entrepreneur, Anda masih diharapkan untuk memiliki pengetahuan yang lebih superior dibandingkan mereka yang akan Anda pimpin dalam perusahaan Anda nanti, bukan?

Hanya saja, meskipun gelar akademik masih harus dikejar, ternyata hal itu sekarang tidak bisa menjadi satu-satunya jaminan kesuksesan seseorang di dunia kerja yang makin kompetitif.

Dari pernyataan Tomas Chamorro-Premuvic dan Becky Frankiewicz sebagaimana dikutip laman HBR, gelar memang penting tetapi tantangan yang harus dijawab angkatan kerja di masa sekarang ini jauh lebih rumit daripada generasi sebelumnya. 

Ini karena para pemberi kerja juga memiliki 'standar ganda'. Mereka mengatakan gelar tidak menjamin bahwa lulusan universitas langsung siap kerja TETAPI di saat yang bersamaan mereka juga masih menggunakan gelar sebagai salah satu instrumen untuk menyaring kandidat karyawan. Gelar masih dibutuhkan sekali bagi generasi muda untuk bisa lolos di tahap pertama dalam proses lamaran pekerjaan, dan juga dalam persaingan kerja dan mendapatkan kompensasi finansial yang lebih baik dan pantas.

Di sini, kita menyaksikan bahwa dunia korporasi masih kebingungan. Di satu sisi, mereka mengakui kualitas sejumlah orang yang tidak memiliki gelar akademik (lihat saja Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Bill Gates, Jack Ma) tetapi dalam kenyataannya mereka bisa sukses sekali. 

Di sisi lain, mereka juga masih tidak yakin bahwa orang-orang tanpa gelar tetapi berpengalaman dan memiliki keberanian bisa membawa bisnis mereka menuju kesuksesan sebagaimana sosok-sosok luar biasa tadi. Kalau tidak memakai gelar, standar apa yang bisa dipakai lagi dalam menentukan kelayakan seseorang masuk atau tidak ke dalam sebuah perusahaan/ organisasi?

Akan tetapi, masalah-masalah baru juga muncul dengan penggunaan gelar akademik sebagai standar. Menurut HBR, tiga masalah utama masih akan terus 'menghantui' kita:

  1. Tingkat pendidikan bukan indikator yang akurat untuk mengukur kinerja seseorang dalam pekerjaannya

  2. Persyaratan gelar akademik tertentu (misalnya kandidat harus mengantongi gelar S2 atau S3 dari universitas yang 'mentereng') turut mengurangi mobilitas sosial. Generasi muda dengan latar belakang finansial yang kurang akan lebih sulit memperbaiki kualitas hidup mereka.

  3. Banyak universitas yang belum mampu dalam mengajarkan soft skills yang dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan (terutama yang bersifat strategis di zaman Industri 4.0) sehingga setinggi apapun gelarnya tetap 'percuma' jika tidak disertai soft skills yang memadai. Soft skills (keterampilan-keterampilan yang tidak diajarkan di ruang kelas sebagaimana hard skills) misalnya adalah kemampuan memecahkan masalah, kolaborasi, pelayanan konsumen, komunikasi, dan sebagainya. Justru soft skills inilah yang lebih tinggi nilainya daripada hard skills karena lebih sulit ditiru mesin. Sebagaimana kita ketahui Artificial Intelligence (AI) sekarang sudah mulai merebak di berbagai lini industri dan mulai mengubah lansekap dunia kerja dan mengambil alih pekerjaan-pekerjaan tertentu yang bersifat keterampilan 'kasar'. Dengan mesin yang makin cerdas, pekerjaan-pekerjaan yang bersifat hard skills akan sirna dan digantikan mesin. Tenaga kerja manusia hanya akan bisa bertahan jika mereka mengadopsi soft skills. 

Foto Arsip
Foto Arsip
Jadi, apa yang harus dilakukan oleh pihak akademisi di berbagai universitas di seluruh dunia? Karena sudah jelas meluluskan pemuda-pemudi dengan gelar dan hard skills saja setelah lulus masih belum menuntaskan masalah. 

Solusinya ialah seluruh universitas harus meningkatkan nilai tambah bagi mahasiswa mereka dengan tidak hanya memberikan gelar - entah itu sarjana, magister atau doktor -  tetapi juga soft skills. Dengan demikian, dunia korporasi juga akan sedikit demi sedikit mengubah cara pandang mereka dengan tidak cuma menitikberatkan pada pendidikan tinggi sebagai tolok ukur potensi kerja dan dapat memulai untuk merekrut tenaga kerja dengan perspektif yang lebih terbuka dan fleksibel.

Dari situ, kita mulai bertanya: Di Indonesia, sudah adakah universitas yang bisa menjawab tantangan baru untuk menyuguhkan gelar sekaligus soft skills?

Jawabannya: SUDAH ADA.

Namanya SAMPOERNA UNIVERSITY.

Yang membuat Sampoerna University berbeda ialah cara pandang dan pendekatannya yang segar dan baru terhadap pendidikan tinggi di Indonesia yang selama ini masih berorientasi pada gelar akademik semata. Itulah kenapa sebagian masyarakat kita menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan gelar, dari yang kecil-kecilan seperti menyediakan jasa joki dalam ujian masuk perguruan tinggi, mencontek, sampai mendaftar ke universitas yang abal-abal alias palsu. Indonesia sudah menjadi ladang subur bagi jaringan perdagangan ijazah dan gelar palsu (sumber: Liputan6.com).

Sampoerna University mengambil langkah yang berbeda dalam mendidik para mahasiswa dan mahasiswinya dengan menyuguhkan semua program studinya dalam bahasa internasional, bahasa Inggris, dengan tujuan agar lulusannya kelak akan dapat bersaing tidak hanya di lingkup nasional tetapi juga internasional. Ini sangat penting karena banyak anak muda Indonesia yang 'jago kandang'. 

Mereka biasa menjadi juara di lingkup mereka sendiri tetapi begitu dinaikkan ke level yang lebih luas, mereka kurang percaya diri karena terkendala kemampuan komunikasi dalam bahasa Inggris. Tentu hal ini sangat disayangkan sebab banyak potensi generasi muda kita yang terhambat dan terpendam tanpa sempat dimanfaatkan bagi kepentingan bangsa, negara dan dunia karena kemampuan berbahasa Inggris yang kurang memadai.

Dosen-dosen yang mengajar juga bukan akademisi sembarangan. Dengan tenaga pengajar yang komposisinya sangat beragam dan lebih dari 75% sudah memiliki gelar doktor, Sampoerna University sudah berada di atas rata-rata. 

Mayoritas juga semua pengajarnya ialah lulusan luar negeri. Ini bukan sekadar gengsi dan prestise karena memiliki tenaga pengajar yang memiliki almamater dari luar negeri mempermudah universitas ini untuk membuka beragam jalur kerjasama dengan kampus-kampus mancanegara dalam pertukaran pengetahuan dan pengalaman. 

Jaringan akademisi internasional juga bisa diraih melalui koneksi para dosen yang lulusan luar negeri ini. Tak jarang, ilmuwan dan akademisi asing diundang untuk membagikan pengetahuan dan penelitian mereka di Sampoerna University agar para mahasiswa dan dosen juga terus mengetahui perkembangan dunia pendidikan di disiplin mereka masing-masing.

Dalam aspek hard skills, kualitas pendidikan di Sampoerna University juga dipastikan sangat prima karena kurikulum yang diterapkan di sini adalah kurikulum yang juga diterapkan dalam sistem pendidikan tinggi di Amerika Serikat. 

Sampoerna University bekerjasama dengan Broward College dan The University of Arizona dalam rangka penerapan kurikulumnya. Dengan kurikulum yang sama dengan kampus-kampus di AS, mutu lulusan didorong untuk setara dengan lulusan mancanegara. 

Yang menarik, Sampoerna University juga memberikan alternatif untuk transfer ke universitas di AS, dan karena kesamaan kurikulum ini, jumlah mata kuliah/ kredit yang sudah didapatkan tidak akan sia-sia karena sepenuhnya bisa diterima di Amerika Serikat sana. Namun, jika mahasiswa atau orang tuanya menginginkan biaya pendidikan yang lebih terjangkau dan tetap bisa kuliah di Jakarta agar tetap dekat dengan keluarga, Sampoerna University pun bisa memfasilitasi.

Hal lain yang juga membuat Sampoerna University berbeda ialah kerjasama yang erat dengan pihak pelaku industri yang nantinya berkepentingan dalam merekrut anak-anak muda kita. 

Dengan memiliki jalinan yang kuat seperti ini, Sampoerna University mampu membuat kualitas para lulusannya lebih baik dari yang lain. "Lebih baik" di sini maksudnya tidak cuma mengantongi IPK yang tinggi dan ijazah yang sebenarnya cuma selembar kertas untuk menunjukkan kualitas intelejensia mereka. 

Para lulusan Sampoerna University juga dibekali dengan beragam soft skills yang dibutuhkan dunia industri saat ini dan masa datang.  Maka tidak heran para lulusannya memiliki daya saing tinggi sehingga industri dengan lebih mudah menyerapnya. 

Sebanyak 94% alumninya bahkan sudah mendapatkan pekerjaan dalam 3 bulan sejak kelulusan di berbagai sektor bisnis baik di dalam dan luar negeri berkat kombinasi yang sempurna antara hard skills dan soft skills. Sementara itu, ada juga yang sudah bekerja bahkan sebelum lulus seperti Jalu Kawiworo yang lulusan dari Faculty of Business. Kenyataan ini menunjukkan betapa 'hausnya' industri dengan lulusan-lulusan perguruan tinggi yang selain memiliki gelar akademik juga memiliki soft skills yang sangat berguna di lapangan. 

Sampoerna University juga turut memberikan kesempatan bagi Anda yang ingin mendapatkan pendidikan tinggi berkualitas dunia dengan biaya yang terjangkau melalui skema MERIT SCHOLARSHIP senilai sampai Rp500 juta. (*/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun