5 Januari 2013, Sabtu
Pageviews: 198 (Rata-rata)
Retweet: 37 (Memuaskan)
Facebook Likes: 45 (Stagnan)
Shares: 29 (Good news)
Alexa Rank: 272.479 (Positive progress!)
Yang tidak dipahami orang mengenai pekerjaanku ini ialah bahwa kami harus bekerja siang malam - bahkan di akhir pekan - untuk memastikan semuanya berjalan mulus. Di hari Sabtu ini, bahkan kami harus merelakan sejumput waktu berharga kami yang cuma 48 jam cuma untuk memantau apakah artikel kami sudah disebarluaskan sehingga terbaca banyak orang belum, lalu memastikan apakah artikel perlu diedit lagi agar memenuhi selera pembaca belum. Perubahan sedikit pada judul bisa membawa perbedaan signifikan pada jumlah pembaca.Â
Aku tidak percaya mulanya tapi memang ada daya tarik pada judul-judul bombastis dan hiperbolis. Buatlah orang ragu atau tidak percaya dan ingin membuktikan kau salah dan mereka benar. Dan tidak ada cara lain untuk membuktikan itu selain daripada mengklik tautan yang kami sebarluaskan secara massif. Sebagai portal berita yang sama sekali belum bisa disebut besar, situs ini masih memiliki pembaca yang berjumlah terbatas (alias hampir tidak ada). Anna selalu cerewet soal peningkatan jumlah pengunjung:"Jika tahun ini, kalian tidak bisa meningkatkan pageviews harian, lihat saja. Tunjangan hari raya akan ditangguhkan?"
Meh! Aku bertaruh ia tidak akan bisa melakukannya. Manajer payah yang tidak tahu bahwa bawahannya bukan orang-orang dungu tapi sekumpulan wartawan dengan pengetahuan bahwa ada Departemen Ketenagakerjaan di negeri ini, sebuah instansi yang akan menerima laporan kami bahwa THR tidak diterima melebihi batas tanggal yang sudah ditetapkan secara nasional dan kami bisa memperkarakannya.
 Dia pikir dia ratu yang kekuasaannya tanpa batas. Maria Antoinette yang tidak tahu susahnya kehidupan rakyat jelata. Yang aku tunggu hanyalah kapan aku bisa berpartisipasi dalam upacara pemenggalannya di arena publik. Aku akan dengan senang duduk di barisan terdepan atau menggantikan algojo lalu mengganti guillotine yang tajam dengan guillotine berkarat yang membuat eksekusi lebih menyakitkan. Grhh!
Boris hanya bisa tersenyum kecut di depan Anna saat rapat, tetapi di luar saat istirahat, ia berkata,"Oh yeah, coba ia berani lakukan itu pada kita!"
Cukup dengan perempuan itu! Aku selalu tidak percaya aku memiliki atasan yang begini. Ok stop, Aku tidak akan memenuhi catatan harian ini dengannya lagi.
Omong-omong dengan penerbitan, kupikir ada yang salah saat para pelaku dunia penerbitan ikut menentukan kepopuleran seorang penulis di media sosial dan jagat maya sebagai salah satu faktor penentu yang penting apakah karyanya layak diterbitkan atau ditolak. Cukup situs berita online sajalah yang terkena efek ini. Tidak perlu para penulis buku terkena efek ini.
Aku mencoba menulis sebuah artikel dalam bahasa Inggris soal itu. Aku kirimkan artikel opini ini ke WhatsUpJakarta.com, portal berbahasa Inggris di sini. Kuharap akan bisa ditayangkan.
Jonathan Franzen: Literary World (Publishers, Writers, Readers) Now Gets Too Obsessed with Twitter
What? You can't get your work published when you have only a meager number of Twitter followers? Or even worse, you don't tweet at all? Or the worst of all, you have no Twitter account and have got no idea why it matters and why publishers bother when they find a writer has no social media presence?
Jonathan Franzen, as some sites reported, criticizes once again the bad effects of social media on the world of literature. This time he lashed out on BBC Radio 4's Today program.
It's a bitter-sweet, love-hate, ambivalent relationship actually. In terms of marketing, of course Twitter has its own power we can't underestimate. Twitter, along with Facebook, may be seen as a free-of-charge promotion tool any writers these days must not miss. I agree on this, to some extent.
In the country where I live, a writer made money by social media even and it is okay. He is young and hilariously talented at storytelling. So he tweets quite a lot and write a lot too. Though I have to admit, his works are not as 'serious and canonical' as Franzen's but he writes and thus a writer he is.
 Raditya Dika, the author, seems to have a lot more talens than an author. He is recently widely known for his being a witty comic at a standup comedy regularly aired on a national TV station. And he has been followed by more than 1 million Twitterers. He's not pretty, he's just not that tall, not to mention charming but he's funny and chatty and somehow almost all people like him. Dika would be the best example of the harmonious relationship between writing and social media.
Elizabeth Gilbert has another stance regarding this issue. She once said social media is a neutral entity, so it is neither positive nor negative. It's just a powerful resource of modern technology and humans give it meaning: positive and negative. Gilbert told audience of a talkshow how she found social media (she has been recently actively campaigning on YouTube, Facebook and Twitter along with a lovely site of her own). She doesn't try put all the blame on social media. It is just a tool, for God's sake.
She even highllighted how lucky she has been when she can build a sincere and warm interaction through it with many of her readers, something she cannot do after she turned so incredibly famous and filthy rich. Reaching audience suddenly is easier and more effortless though she knew she cannot retain the intimacy level of exchanging Christmas cards and face-to-face talks with each reader like a long time ago when she was 'no one', a hardly famed author. Now, she is so famous she has lost all this. And social media gives her an outlet, to at the very least rehash that past in an instant fashion.
And days ago, I told a fledgling author (with 5 published novels) who happens to be a friend, that he had to gain more followers on Twitter and build a fanbase on Facebook. That said, he must have a fanpage just like a public figure so people can like or just leave. He said no. He cringed upon learning my idea. I work also as a social media admin so I know a little better of this digital marketing matter. He is slightly disgusted by the urge of showing off.
But he in fact keeps a blog, written so informally anyone would be more likely to laugh to tears at the stories than admire his prose. But he admits the temptation of Twitter. He even abandons blogging for Twitter. So when he complains how rusty his writing skills get over time, I know what I have to say: stop being to actively engage on Twitter or any social media services. He quipped his full time work as a management trainee of a retail store does kill the writing skills, instead of Twitter killing them. So are you with Franzen or Gilbert or the indescript writer!
Maybe I understand why Franzen needs to get rid of such social media addiction, because he needs solitude and self contented in his own way. He is a macho American male with much streak of excentricity which is so rare in this modern digital age. (*/ZA)
===
ZA untuk Zaenal Ali, nama lengkapku.Â
Alasanku untuk masih mencoba menulis dalam bahasa Inggris ialah agar sewaktu-waktu bisa menaikkan karierku. Siapa yang mau bekerja seumur hidup di WartaJayakarta.com, portal berita yang selalu membuat orang yang baru kukenal bertanya lagi:"Kau bekerja di mana? Portal apa? Apa itu isinya? Memang ada ya? Kok aku belum pernah dengar (apalagi baca)!"
Kesal!!!
Aku mau bekerja untuk portal yang lebih "substansial". Dengan begitu, pertanyaan-pertanyaan itu akan bisa dihindari dengan sendirinya.Â
Sabtu malam, malam Minggu. Mengenaskan. Bahkan sebelum aku sempat berdandan untuk menonton film, rasanya sudah tidak bersemangat. Padahal masih tanggal muda dan aku sudah depresif. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H