"Makan lagi? Sudah berapa kali kamu makan sehari ini?" tanya dia setengah mengejek. Ia selalu bertanya sudah berapa piring saya makan sejak tahu besarnya nafsu makan saya yang bersemayam dalam tubuh yang alit ini.
"Enak saja. Tadi kan sarapan pagi. Yang ini makan siang!" sergah saya untuk meluruskan tuduhannya. Ia anggap saya black hole alias lubang hitam. Terus menyedot tetapi tak jua mengembang, tetap kempis pis.
Saya baru baca presidennya mundur secara paksa melalui mekanisme resmi bernama "impeachment" atau pemakzulan. Sebab keingintahuan semata, saya ajukan pertanyaan. Tak lupa sesekali menyuap santapan siang yang terhidang tentunya.
"Ya, presiden Park baru mundur, Akhlise," ujarnya. Lidah Koreanya kesulitan melafalkan nama saya dengan sempurna.Â
"Kenapa?" tanya saya polos. Saya sudah baca beberapa artikel tentang itu tapi saya ingin tahu perspektifnya saja. Saya pura-pura bodoh saja.
"Namanya dicatut seorang teman untuk mengumpulkan dana dari chaebol-chaebol (konglomerat)," jelas pria yang sudah satu dasawarsa di rumah kos ini. Ia sebut beberapa perusahaan, termasuk produsen ponsel pintar yang mungkin di genggaman Anda sekarang.
"Lha kan cuma dicatut? Masak iya sampai kudu mundur? Kan itu salah orang tadi, bukan bu presiden," protes saya seolah saya kroni presiden malang yang dulu pernah berkunjung di mall di seberang jalan.
"Tapi di Korea, Akhlise, orang yang dicatut namanya untuk tindakan kurang terpuji semacam itu juga dituntut masyarakat untuk ikut bertanggung jawab," ia menjelaskan latar belakang adat kebiasaan dan watak bangsanya dalam berpolitik.
"Hah apa? Kasihan dong. Padahal kan belum tentu atas kehendak dia juga," saya sok protes lagi atas nama Park. Saya belum sadar saya pakai logika berpolitik orang Indonesia yang tidak tahu malu saat tersangkut perkara hukum untuk menghakimi perkara di tanah asing. Jangankan dicatut, jadi tersangka dan jelas jelas melanggar hukum juga masih bisa melenggang tanpa rasa sesal.
"Sudah seperti itu kebiasaan kami," tegasnya lagi memaklumi. Tidak ada presidennya yang tidak ada masalah. Semuanya bermasalah, ucap teman kos saya itu dengan sendu.
Saya sampaikan kecemasan bahwa kasus Park bisa mempengaruhi ekonomi negerinya. Ia menampik,"Tidak banyak berpengaruh kok."
"Ah masak sih?" saya bersikukuh karena sebuah artikel di Chosun Ilbo yang saya baca membahas kecemasan risiko itu.
"Tidak. Karena pondasi perekonomian kami kokoh jadi bagaimanapun konflik politik tak banyak menghambat pertumbuhan ekonomi," dengan gamblang ia jelaskan.
Saya pikir akan membuat ekonomi negeri Anda limbung, tutur saya. Ia tetap menggeleng.
"Hhh, lain dengan Indonesia ya," saya mulai memancingnya berkomentar. "Di sini selalu ricuh politiknya."
"Ah, masa? Indonesia tenang begini," respon dia kalem.
Saya menangkap sekilas senyum cemoohan dan sebelum ia meneruskan aktingnya, saya sambar saja,"Tenang apanyaaa?!! Pusing semua kita gara-gara politik kok."
Menyaksikan kegusaran saya, ia kembali ke kamarnya. Ia bawa telur rebus dan kacang kedelai hitam. "Mau?"ia menawarkan.
Ia memang tahu titik lemah saya. Sekali hap makanannya tadi sudah berpindah ke rongga mulut saya.
Daripada memakai mulut untuk bicara politik Indonesia, memakainya untuk mengunyah saya pastikan lebih sehat bagi keseimbangan jiwa dan raga saya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H